Kisah Hasan Al-Bashri dan Karomah Rabi'ah Adawiyah

Jum'at, 10 Mei 2019 - 20:35 WIB
Kisah Hasan Al-Bashri dan Karomah Rabiah Adawiyah
Kisah Hasan Al-Bashri dan Karomah Rabi'ah Adawiyah
A A A
Pertemuan Hasan Al-Bashri dengan sufi perempuan Rabi’ah Adawiyah merupakan kisah menarik yang sarat hikmah dan pelajaran. Kisah yang terjadi pada masa tabiin (generasi setelah sahabat) ini juga mengungkap karomah yang dimiliki Rabi’ah Adawiyah.

Seperti dikutip dari Kitab Syarah ‘Uqudullijain karya Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi dikisahkan ada seorang perempuan yang gemar memamerkan dandanannya di depan kaum lelaki. Kemudian ia mati. Hingga suatu malam di antara saudaranya ada yang bermimpi melihat dirinya dihadirkan ke hadapan Allah dengan mengenakan busana sangat tipis. (Baca Juga: Kisah Perempuan yang Selalu Berbicara dengan Bahasa Alquran)

Saat itu angin bertiup menerpa busananya, tersingkaplah busananya. Allah berpaling tidak sudi memperhatikannya. Allah berfirman: ”Seret dia ke neraka! Sesungguhnya perempuan itu termasuk orang yang suka memamerkan dandanannya sewaktu di dunia.

Ketika suami Rabi’ah Adawiyah wafat, beberapa waktu kemudian Hasan Al-Bashri, ulama besar Iraq yang hidup di awal kekhalifahan Umayyah (generasi tabiin) dan sahabatnya datang menghadap Rabi’ah. Mereka meminta izin diperkenankan masuk.

Rabi’ah pun mengenakan cadarnya dan mengambil tempat duduk di balik tabir. Hasan Al-Bashri mewakili kawan-kawannya mengutarakan maksud kedatangannya. Ia berkata: ”Suamimu telah tiada, sekarang kau sendirian. Kalau kamu menghendaki silakan memilih salah seorang dari kami. Mereka ini orang-orang yang ahli zuhud”.

Kemudian Rabi’ah Adawiyah menjawab: ”Ya, aku suka saja mendapat kemuliaan ini. Namun aku hendak menguji kalian, siapa yang paling ‘alim (pandai) di antara kalian itulah yang menjadi suamiku”.

Hasan Al-Bashri dan kawan-kawannya menyanggupi. Kemudian Rabi’ah Adawiyah bertanya: ”Jawablah empat pertanyaanku ini kalau bisa aku siap diperistri oleh kamu”. Hasan Al-Bashri berkata: ”Silakan bertanya, kalau Allah memberi pertolongan aku mampu menjawab tentu aku jawab”.

“Bagaimana pendapatmu kalau aku mati kelak, kematianku dalam muslim (husnul khatimah) atau dalam keadaan kafir (suul khatimah),” tanya Rabi’ah.

Hasan Al-Bashri menjawab: ”Yang kau tanyakan itu hal yang ghaib, mana aku tahu”.“Bagaimana pendapatmu, kalau nanti aku sudah dimasukkan ke dalam kubur dan Mungkar-Nakir bertanya kepadaku, apakah aku sanggup menjawab atau tidak,” tanya Rabi’ah.

“Itu persoalan ghaib lagi,” jawab Hasan Al-Bashri.

“Kalau seluruh manusia digiring di mauqif (padang mahsyar) pada hari kiamat kelak, dan buku-buku catatan amal yang dilakukan oleh Malaikat Hafazhah beterbangan dari tempat penyimpanannya di bawah ‘arsy. Kemudian buku-buku catatan itu diberikan kepada pemiliknya. Sebagian ada yang melalui tangan kanan saat menerima dan sebagian lagi ada yang lewat tangan kiri dalam menerimanya. Apakah aku termasuk orang yang menerimanya dengan tangan kanan atau tangan kiri? tanya Rabi’ah.

“Lagi lagi yang kau tanyakan hal yang ghaib,” jawab Hasan Al-Bashri.

Rabi’ah bertanya lagi: ”Manakala pada hari kiamat terdengar pengumuman bahwa sebagian manusia masuk surga dan sebagian yang lain masuk neraka, apakah aku termasuk ahli syurga atau ahli neraka?”

“Pertanyaanmu yang ini juga termasuk persoalan yang ghaib,” jawab Hasan Al-Bashri.
Kemudian Rabi’ah berkata: ”Bagaimana orang yang mempunyai perhatian kuat terhadap empat persoalan itu masih sempat mamikirkan nikah?”.
Coba perhatikan kisah dialog tersebut, betapa besar perasaan takut Rabi’ah Adawiyah terhadap persoalan itu. Kendati ia seorang solehah, namun masih diikuti perasaan takut yang luar biasa jika akhir hayatnya tidak baik.

Diceritakan bahwa Rabi’ah Adawiyah itu mempunyai tingkah laku yang berubah-ubah. Suatu ketika perasaan cintanya kepada Allah begitu berat, hingga ia tidak sempat lagi berbuat apa-apa. Pada waktu lain ia kelihatan tenang nampak seperti tidak ada masalah, dan lain waktu ia kelihatan sangat takut dan cemas.

Suaminya pernah menceritakan, suatu hari aku duduk sambil menikmati makanan. Sementara ia duduk di sampingku dalam keadaan termenung lantaran dihantui peristiwa kiamat.

Suaminya berkata: ”Biarkan aku sendirian menikmati makanan ini”. Ia menjawab, “Aku dan dirimu itu bukanlah termasuk orang yang dibuat susah dalam menyantap makanan, lantaran mengingat akhirat”.

Lebih lanjut Rabi’ah berkata: ”Demi Allah, sesungguhnya bukanlah aku mencintaimu seperti kecintaannya orang yang bersuami istri pada umumnya. Hanyalah kecintaanku padamu sebagaimana kecintaan orang yang bersahabat”.

Kalau Rabi’ah Adawiyah memasak makanan, ia berkata: ”Majikanku, makanlah masakan itu. Karena tidak patut bagi badanku kecuali membaca tasbih saja”. (yang dimaksud majikan adalah suami dari Rabi’ah Adawiyah sendiri).

Hingga suatu hari Rabi’ah berkata pada suaminya: ”Tinggalkan diriku, silakan kamu menikah lagi”. Hal itu dikatakan ketika suaminya masih hidup. Maka Aku (suaminya) pun menikah lagi dengan tiga perempuan. Saat itu Rabi’ah masih setia melayani keperluan suaminya, termasuk memasakkan makanan.

Suatu hari Rabi’ah Adawiyah memasakkan daging untuk suaminya, ia berkata: ”Tinggalkanlah diriku dengan membawa kekuatan yang baru menuju istri-istrimu yang lain”.

Dikisahkan bahwa Rabi’ah Adawiyah juga mempunyai sahabat-sahabat lain dari bangsa jin, yang sanggup mendatangkan apa saja yang dikehendakinya. Wali perempuan ini dalam kehidupannya dikenal memiliki berbagai kekeramatan hingga wafatnya.

Di antara kekeramatannya adalah bahwa pada suatu malam ada pencuri masuk menjarahi isi rumahnya. Ia sendiri masih terlelap tidur. Ketika pencuri itu hendak keluar dengan menjinjing barang-barang yang telah dikemasi, mendadak pintu rumahnya hilang semua.
Pencuri itu lalu duduk di samping pintu yang dipandang semula belum lenyap. Tiba-tiba saat itu terdengar suara halus menyapanya: ”Letaakkan barang -barang yang kau kemasi. Keluarlah dari pintu ini”.
Ia pun segera meletakkan barang-barang yang telah dikemasi. Mendadak pintu itu kelihatan lagi. Begitu ia melihat pintu maka ia segera menyambar lagi barang-barang hasil curian tadi. Tiba-tiba pintu itu hilang lagi seketika ia letakkan lagi barang hasil jarahannya. Pintu kelihatan lagi. Ia mengambil kembali barang haasil jarahannya. Pintu hilang lagi. Dan begitu seterusnya.

Tiba-tiba terdengar lagi suara lembut menyapa: ”Kalau Rabi’ah Adawiyah tertidur, tetapi Allah tidak tertidur dan tidak pula terserang rasa kantuk”, maka si pencuri itu pun sadar. Barang-barang yang dikemasinya pun ditinggalkannya, lalu keluar melalui pintu tersebut.Demikian kisah Rabi’ah Adawiyah dan dialog spritualnya dengan ulama besar tabiin Hasan Al-Bashri. Semoga manfaat.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2644 seconds (0.1#10.140)