Perjalanan Cinta Burung-burung dalam Manthiq Al-Thayr

Kamis, 16 Mei 2019 - 16:33 WIB
Perjalanan Cinta Burung-burung dalam Manthiq Al-Thayr
Perjalanan Cinta Burung-burung dalam Manthiq Al-Thayr
A A A
Muhammad Sabri
Direktur Pengkajian Materi BPIP RI

Dan Sulaiman telah menerima warisan dari Daud. Dan dia berkata: ‘Wahai umat manusia! Telah diajarkan kepada kami Bahasa burung (manthiq al-thayr). (QS. 27:16)

Manthiq al-Thayr (percakapan burung) sebuah diksi Qur’ani, tentu. Tapi belakangan menjadi inspirasi alegoris yang penuh pesona dalam tradisi keruhanian Islam. Setidaknya, ada tiga karya kesarjanaan sufi yang coba menganyam narasi perjalanan cinta menunju Tuhan dengan simbolisme Manthiq al-Thayr.

Bermula dari Ibn Sina yang mengulasnya secara genial dalam Risalat al Thayr (Risalah tentang Burung), diikuti oleh Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, pemuka pemikir teologi-sufistik, yang risalahnya, dengan judul serupa kurang masyhur. Sementara karya Farid al-Diin 'Aththar, Manthiq al-Thayr, meski mengangkat tema serupa dengan dua tokoh sufi sebelumnya, merupakan sesuatu yang lain.

Jika Ibnu Sina membicarakan "visi intelektual" yang memungkinkan jiwa kembali ke asal surgawinya dan Al-Ghazali dengan "penderitaan dan perjuangan sungguh-sungguh" merengkuh kasih Tuhan, maka 'Aththar mempercakapkan keutamaan "pengalaman spiritual" dan mistikal dengan Sang Maha Lain.

Meski 'Aththar menggunakan tema "penderitaan" Ghazalian yang dilalui oleh burung-burung sehingga akhirnya mampu memasuki istana Sang Raja surgawi, tapi dia "megembara" melintasi lapis luar tingkat itu melalui tingkatan inisiatik paling puncak yang memungkinkan dirinya lebur dan muncul dalam subsistensi Diri.

Sehingga setiap burung-burung memiliki kesadaran-diri dan akhirnya mengenal Diri-Nya: burung-burung tidak hanya terpesona menikmati keindahan hadirat-Nya, tapi juga melihat diri-mereka sebagaimana adanya, yang terpantul dalam Diri, yang tak lain adalah Diri dari setiap diri. Di titik ini, diri-burung-burung mengalami "ketercelupan ontologis" di dalam Diri-Nya.

‘Aththar, karena itu mendaku: semua yang tidak “berumah” di alam bayang-bayang fana ini, merindukan asal mereka di kediaman primordial-surgawi. Termasuk sekawanan burung-burung karena jiwa mereka memiliki sayap, betapapun rapuhnya untuk terbang menuju Tuhan.
Manthiq al-Thayr adalah sebuah ode (syair pujian) yang digubah untuk "keluarga makhluk bersayap," --keluarga yang dalam spesies manusia dapat diidentikkan dengan para pencari Tuhan-- yang banyak disebut tapi hanya sedikit yang terpilih.Syaikh ‘Aththar sendiri menyebut kuplet-kuplet syairnya yang berjumlah tak kurang dari 4.458 baris sebagai Zaban-i Murghan yang secara hafiah berarti bahasa burung atau Maqamat-i Thuyur, Maqam-maqam Burung, yang merujuk ke narasi quranik tentang manthiq al-thayr. Dan dari judul yang quranik ini karya abadi ‘Aththâr pada urutannya dikenal dunia, hingga kini.
Karya besar Manthiq al-Thayr tersebut, berhimpitan dengan makna esoterik pengetahuan Sulaiman tentang "logos burung," tidak hanya menembus bentuk percakapan yang asing, tapi juga secara spesifik bekelindan dengan jenis dan golongan makhluk dalam pengembangan spiritualnya.

Karena sejatinya maqamât-i Thuyur bukan hanya mempercakapkan bahasa atau logos pelbagai jenis hewan tapi tentang burung-burung yang sayapnya secara langsung menyimbolkan hakikat realitas penerbangan dan pendakian melawan seluruh bentuk kerendahan duniawi, keterbatasan duni-profan menuju puncak infinitum, realitas senyap tak tepermanai.

Keunikan trans-metafisik Manthiq al-Thayr karena ia dimulai dengan alpha (awal) dan sekaligus merengkuh omega (akhir) kehidupan spiritual. Karena dalam pendahuluannya mengisahkan Realitas Ilahi, sebuah kisah yang mengandaikan buah pengamatan keindahan oleh jiwa-burung Simurgh.

Melalui cresendo rapsodis sang penyair besar, berhasil mengekspresikan pujiannya kepada Yang Mahaesa hingga dia mencapai tingkat yang membuatnya mengucapkan: Wahai Engkau yang melalui manifestasimu menjadi tak kasat-mata/Seluruh kosmik adalah Engkau/namun tak seorang pun melihat paras-Mu/Jiwa tersembunyi di dalam tubuh dan Engkau semayam di dalam jiwa/wahai Engkau yang tersembunyi di dalam yang tersembunyi/Wahai Jiwa seluruh jiwa!/Meski Engkau tersembunyi dalam hati dan jiwa/Engkaulah yang nyata bagi hati dan jiwa/Kulihat segenap kosmik nyata karena-Mu/meski kulihat tiada hal-Mu di dunia.

Dengan sajak-sajaknya yang memabukkan ketika memuja Tuhannya, sajak yang mengandung kebenaran 'puncak metafisik terdalam' —dan menghasilkan buah dari pohon makrifat—‘Aththâr lalu mempercakapkan dengan indah perjalanan cinta burung-burung menuju Tuhan: sebuah perjalanan dunia kode, semesta lambang dan simulakrum trans-metafisik yang titik omega-nya terkandung di dalam alpha epik mistiknya.

Di sini, ‘Aththâr sesungguhnya ingin mengeja kembali tentang ajakan pulang (raja’a), sebilah gerak menuju ke asal-usul yang Asali—sebagai idea-moral Alqur’an di mana hakikat pulang mengandaikan, seseorang pengembara selalu tiba pada titik di mana ia berangkat.

Perjalanan 'pulang' burung-burung dalam Manthiq al-Thayr, dilukiskan sebagai sebuah perjalanan penuh rintang dan onak, juga bahaya. Di sana digambarkan, burung-burung itu melintasi tujuh lembah pegunungan kosmik Qaf, yang di puncaknya terletak penguasa puncak kehampaan, Sunyata: pencarian (thalab), cinta (‘isyq), gnosis (ma’rifah), kepuasan jiwa (istighna’), keesaan (tawhid), keterpesonaan (hayrat), kemiskinan (faqr), dan lebur (fana). Tingkatan maqam jalan-cinta ini juga merupakan lembah-ngarai kosmik yang menginteriorisir dalam jiwa inisiasi sang ego.

Peleburan atau ketercelupan ontologis, merupakan puncak-terdalam dari perjalanan cinta Manthiq al-Thayr. Di sana setiap diri menyatu-lenyap di dalam Sang Maha Diri: terlahap oleh cahaya wajah Simurgh ‘tuk menyadari bahwa/aku tak tahu apakah aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku/aku telah lebur di dalam dirimu-Mu/dan kegandaan pun musnah. Dan inilah agaknya, tujuan akhir segenap perjalanan cinta menuju Sang Maha Cinta.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7555 seconds (0.1#10.140)