Hakikat Puasa dalam Pandangan Imam Al-Qusyairi

Jum'at, 17 Mei 2019 - 15:20 WIB
Hakikat Puasa dalam Pandangan Imam Al-Qusyairi
Hakikat Puasa dalam Pandangan Imam Al-Qusyairi
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Lulusan Institute of Arab Studies Cairo-Mesir


Tafsir sufi, atau lebih dikenal dengan istilah tafsir isyari merupakan salah satu metode penafsiran yang dilakukan oleh kaum sufi. Selain menampilkan makna literer dan normatif (riwayah dan dirayah), mereka berusaha menggali makna terdalam dari Alquran.

Seperti tafsir isyari karya Imam Abul Qasim Al-Qusyairi, seorang sufi sekaligus ahli hadis, yang berjudul Lathaifal-Isyarat (isyarat-isyarat halus), sebuah ungkapan simbolik dan idiomatik yang mengilustrasikan kelembutan isyarat Tuhan dan kehalusan pesan-Nya.

Sebuah pesan yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang benar-benar membuka mata batinnya. Mempersilakan cakrawala makrifat Allah menerobos kalbunya untuk membuka tabir hakikat-Nya. (Baca Juga: Hakikat Puasa Ramadhan dalam Pandangan Imam Al-Ghozali)

Dalam penafsirannya, Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa puasa itu ada dua: puasa lahir dan puasa batin. Puasa lahir sebatas menahan (dari lapar dan dahaga) dari segala sesuatu yang membatalkan disertai dengan niat. Sementara puasa batin adalah puasanya hati (qalb) dari segala penyakitnya; puasa jiwa (ruh) dari semua bentuk kenyamanan dan ketenangan; puasa sirr dari segala bentuk pengawasan.

Imam Al-Qusyairi juga menjelaskan dengan sangat apik. Bagi siapa yang sekadar menahan sesuatu yang membatalkan, maka akhir dari puasanya ketika tersingkapnya malam. Dan siapa yang puasa menahan diri beragam kecemburuan (aghyar), maka puncak puasanya dengan menyaksikan al-Haqq.

Ini seperti isyarat hadis Nabi SAW, "Shumu wa afthiru li ruyatihi." Penggalan hadis ini dalam pandangan kaum sufi memiliki makna yang berbeda dari makna lahiriahnya. Huruf ha dhamir di akhir kalimat ini merujuk kepada Allah SWT. (Baca Juga: Hakikat Puasa Ramadhan dalam Pandangan Ahli Sufi)

Demikian pula pernyataan terakhir di atas secara lahir diartikan dengan: "Berpuasalah kalian ketika melihat hilal (bulan) Ramadhan, dan berbukalah tatkala melihat hilal bulan Syawal." Sementara itu, bagi kaum khawas (khusus), maka puasa mereka benar-benar untuk Allah SWT. Karena mereka menyaksikan Allah, berbuka bersama-Nya, penerimaan mereka karena Allah, dan mereka senantiasa diliputi Allah.

Pada ayat berikutnya, penafsiran Imam al-Qusyairi pun beranjak pada penentuan masa atau waktu (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Dalam hal ini, imam Al-Qusyairi membagi tipologi puasa beserta karakteristiknya masing-masing:

Pertama, siapa yang melihat bulan (Ramadhan), maka dia akan berpuasa karena Allah, dan dia pun berhak mendapatkan pahala. Puasa karena Allah itu juga menegaskan penghambaan kepada-Nya. Dia menjadi sifat setiap hamba. Puasa lahiriah ini sekadar menegakkan aspek-aspek lahiriah semata, seperti syarat dan rukunnya.

Kedua, puasa bathiniah berarti menyaksikan pencipta bulan. Dia akan berpuasa bersama Allah, dan akan diberi balasan berupa kedekatan (al-qurbah) bersama Allah SWT. Maka dari itu, puasa bersama Allah berarti dia sedang meluruskan kehendaknya, sekaligus menjadi karakter bagi orang yang berkemauan kuat. Dia tidak sekadar mengikuti aspek-aspek lahiriah, namun lebih dari itu, puasa bersama Allah berarti menahan diri melalui isyarat-isyarat hakikat.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4552 seconds (0.1#10.140)