Hikmah Mengembalakan Kambing dan Kecaman Bagi yang Menghina Para Nabi

Selasa, 03 Desember 2019 - 15:05 WIB
Hikmah Mengembalakan Kambing dan Kecaman Bagi yang Menghina Para Nabi
Hikmah Mengembalakan Kambing dan Kecaman Bagi yang Menghina Para Nabi
A A A
Ustaz Miftahur Rahman el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Alqur'an

Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah diutus seorang Nabi, terkecuali mereka pernah mengembalakan kambing." Lantas para sahabat bertanya, "Apakah engkau juga demikian, wahai Rasullah?" Nabi SAW menjawab: "Ya, aku juga mengembalakan kambing dengan bayaran beberapa qirath milik penduduk Makkah."

Bukan hanya Nabi Muhammad SAW saja yang pernah berprofesi mengembalakan kambing, Nabi Musa pun juga pernah mengembalakan kambing milik mertuanya, Nabi Syu'aib di Madyan. Bahkan, hampir seluruh Nabi dan Rasul pernah menjalani profesi yang sama. Lantas apa hikmah dibalik itu?

Para pemimpin besar tidak dilahirkan dari ruang kosong nan hampa. Berbagai ujian dan cobaan mereka jalani. Sebelum itu, mereka telah tertempa dan terbentuk oleh lingkungannya yang penuh dengan rintangan dan kesulitan yang mendera. Dari sanalah potensi-potensi terbaik itu akan melejit dan bermunculan. Pedang berkilauan berasal dari lempengan besi berkarat yang dibakar hingga membara, dipukul ratusan kali, ditempa dan dibentuk, serta diasah sedemikian rupa.

Begitu pula para Nnabi dan Rasul yang kelak memang telah dipersiapkan oleh Allah sebagai cahaya penerang bagi umatnya, petunjuk jalan keselamatan bagi manusia di zamannya, bahkan umat sesudahnya. Tentu, mereka lebih dahulu dilatih dalam tanggungjawab besar dalam kepemimpinannya.

Salah satunya adalah mengembalakan kambing. Kambing merupakan hewan peliharaan yang tidak mudah diatur, terlebih dalam jumlah yang banyak, puluhan hingga ratusan ekor. Perlu ada ketelitian, keseriusan, kejelian, serta tanggung jawab menjaga amanah agar tak ada kambing yang melepaskan diri dari kelompoknya atau hilang atau bahkan dimangsa binatang lainnya.

Jika kemudian ada orang yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad pada masa kecilnya pernah mengembalakan kambing di tengah gurun pasir yang gersang itu kotor, dekil dan tidak terurus, tidak ada sesuatu yang istimewa pada masa anak-anaknya, bahkan masa kelahirannya dianggap biasa-biasa saja. Ini tentu pendapat orang yang akal nalarnya tidak mampu masuk dalam tahap interteks yang lebih cerdas dalam memahami teks "Mafhuman Nash" dari Sirah Nabawiyyah.

Dalam banyak literatur Sirah Nabawiyyah dikisahkan bahwasanya Muhammad SAW semasa kecilnya selalu terjaga kebersihannya. Ia merupakan cucu kesayangan dari kakeknya, Abdul Muthalib.

Diriwayatkan dalam sebuah literatur sirah nabawiyyah klasik bahwasanya Muhammad kecil senantiasa ditempatkan di atas kasur yang empuk di dekat kakeknya, Abdul Muthalib, sementara putra-putranya dan cucu-cucu yang lain tidak mendapat perlakuan sekhusus itu. Manakala diantara para pamannya ada yang menarik Muhammad kecil dari kasur itu, kakeknya mengatakan, "Biarkan lah dia berada di sisiku. Aku melihatnya kelak dia akan menjadi seorang yang mulia!"

Kakek dan para pamannya tidak makan, terkecuali bersama Muhammad kecil. Ia dimuliakan dan dikasihi sedemikian rupa, sebab kakeknya telah melihat banyak pertanda besar bahwa kelak cucunya itu akan tumbuh menjadi seorang yang memiliki kemuliaan serta kebesaran sebagi pemimpin yang agung.

Perlakuan itu pun tetap berlanjut hingga paman-pamannya. Diriwayatkan bahwa tidak ada seseorang yang lebih bersih dan wangi dibandingkam aroma tubuh Muhammad semenjak kecilnya. Jadi, untuk bisa memahami semua fakta sejarah itu, perlu pembacaan sejarah yang lebih mendalam lagi disertai kejernihan nalar serta kebersihan jiwa dan hati.

Justru, keadaan getir dan memprihatinkan Muhammad kecil manakala mengembalakan kambing itulah, ujian dan didikan Allah terhadap calon pemimpin terbaik sepanjang zaman agar jiwa beliau terbentuk dan terbiasa mengurusi, mengatur dan membersihkan kekotoran jiwa umatnya kelak. Bukankah Rasulullah pernah mengakui sendiri pendidikan yang ia terima langsung dari Allah. "Addabany Rabby. Tuhanku yang mendidikku secara langsung."

Kondisi kemiskinan dan keyatiman yang diterjadi menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW, tidak ujug-ujug terjadi, semua ada hikmah dan skenario dari sang Maha Pengatur. Asal tahu saja, kakek Rasulullah, Abdul Muthalib itu saudagar terkaya di kota Makkah, pemimpin suku Quraisy yang mengurusi Ka'bah, posisinya sama dengan pemimpin kerajaan Arab Saudi saat ini, jika mau dibandingkan kurang lebihnya seperti demikian.

Kakek Rasulullah, Abdul Muthalib, konon pernah berkurban 200 ekor unta, mungkin jumlahnya lebih, dalam mengganti nazarnya terhadap putranya, Abdullah, ayah Rasulullah semasa kecilnya. Berapa nilai 200 ekor unta jika dikonversikan kepada rupiah saat ini? Kalau saya coba konversikan kurang lebih senilai Rp14 miliar. Masya Allah!

Lantas kemudian, mengapa Rasulullah hidup mengembalakan kambing penduduk kota Makkah dengan bayaran hanya beberapa butir kurma atau beberapa sen saja? Semua itu kembali pada skenario dan aturan sang Mahapengatur. Di sanalah tarbiyyah Allah secara langsung pada kekasih-Nya.

Bayangkan jika Rasulullah semasa kecilnya hidup dalam kondisi berkecukupan, kaya raya, dimanja dengan fasilitas bak seorang pangeran, bagaimana mungkin tanpa pengalaman dan kegetiran hidup itu, beliau kelak bisa bicara tentang kepedulian dan kasih sayang pada orang-orang fakir miskin dan anak yatim?

Jadi, kembali lagi, siapa pun yang berpendapat bahwa mengembalakan kambing itu terkesan hina dan dekil, tentu saja orang itu belum cukup mampu masuk dalam pembacaan 'bathin' sirah nabawiyyah secara intertekstual, hanya sebatas permukaan zhahir saja. Bathinnya masih kosong memaknai pribadi mulia Rasulullah.

Ketika ada orang yang berpendapat atau memiliki pandangan yang kotor terhadap Rasulullah, baik itu komentarnya atau pikirannya yang terlintas, atau bahkan pernah bermimpi Rasulullah dalam bentuk yang tidak bersih atau buruk tampilannya. Jelas pandangan para ulama di banyak literatur menyatakan bahwa sesungguhnya Allah sedang menampakkan sisi keburukan serta kekotoran batin orang itu. Wal 'ieyazbillah.

Di Mesir, kami menjumpai banyak orang-orang yang berpenampilan kotor, kumuh, dekil secara zhahirnya, namun mereka orang-orang shalih yang bersih hatinya, tinggi martabatnya di sisi Allah. Sebab, penampilan fisik seringkali menipu pandangan hakikat yang sesungguhnya.

Jika dengan ucapan itu dia menghinakan Rasulullah, maka seperti demikian tidak perlu kita balas dengan hinaan dan bully-an yang serupa, sebab sudah cukup Allah menunjukkan kepada para hamba-Nya kekotoran terselubung dari batin orang itu.

Meskipun seringkali pelaku penghinaan atau pelecehan terhadap Rasulullah seringkali hanya berujung pada permintaan maf saja, namun para ulama sepakat melakukan penindakan tegas. Di antaranya: Al-Imam Taqiyuddin as-Subki, tokoh ulama dari kalangan mazhab Syafi'iyyah yang pernah hidup di kurun abad ke-8 H pernah menulis sebuah kitab berjudul "As-Saif al-Maslul 'ala Man Sabb ar-Rasul"; (Pedang yang Terhunus atas Orang yang Mencela Rasul).

Kitab itu berisi tentang fatwa serta pandangan ulama terhadap para pelaku yang menghinakan Rasulullah dengan menegakkan hukum dan sanksi penindakan yang tegas berdasarkan firman Allah SWT: "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat serta menyediakan mereka azab yang menghinakan." (QS. Al-Ahzab: 57). Semoga menjadi peringatan dan pembelajaran bagi kita semua. Wallahu A'lam.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3064 seconds (0.1#10.140)