Bolehkah Mencumbui Istri yang Sedang Haid?

Senin, 23 Desember 2019 - 09:01 WIB
Bolehkah Mencumbui Istri yang Sedang Haid?
Bolehkah Mencumbui Istri yang Sedang Haid?
A A A
Bagaimana hukum mencumbui istri yang sedang haid? Berikut penjelasan Ustazah Aini Aryani , salah satu pengajar Rumah Fiqih Indonesia (RFI) berdasarkan empat mazhab.

Seluruh ulama fiqih dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) sepakat bahwa perempuan yang sedang mengalami haid dilarang untuk berjima' atau berhubungan intim. Keharamannya sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Al-Quran:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri...(QS. Al-Baqarah: 222)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) pernah ditanya tentang hukum mencumbui perempuan yang sedang haid, maka Beliau menjawab:
وَعَنْ أَنَسٍ رضيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اليَهُودَ كَانت إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: اصْنَعُوا كُلَّ شَىءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ
"Dari Anas RA bahwa orang Yahudi bila para wanita mereka sedang mendapat haidh, mereka tidak memberikan makanan pada para wanita itu. Rasulullah SAW bersabda: "Lakukan segala yang kau mau kecuali nikah (hubungan badan)." (HR Muslim).

Batasan mengenai larangan hubungan badan yang disepakati para ulama di atas adalah apabila terjadi jima' dalam arti yang sesungguhnya, yakni terjadinya dukhul atau penetrasi. Mereka juga membolehkan cumbuan dengan isterinya pada anggota tubuh selain yang ada di antara pusar dan lutut istri.Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah RA:
وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
"Dari Aisyah RA beliau berkata: Rasulullah SAW menyuruhku untuk memakai sarung, kemudian beliau mencumbuiku dalam keadaan haid." (Muttafaq 'Alaih)

Dalam hadis lain dari Aisyah RA: "Jika salah satu dari kami (istri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya, maka beliau SAW menyuruh istrinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau mencumbuinya." (HR. Bukhari)

Dalam hadits dari Ummul Mukminin Maimunah RA: "Rasulullah SAW mencumbui istrinya dalam keadaan haid, apabila istrinya itu memakai sarung". (HR. An-Nasa'i)

Batasan Mencumbui Bagian Antara Pusar dan Lutut Istri

Ketika para ulama membolehkan cumbuan dengan selain yang ada di antara pusar dan lutut, lalu bagaimana hukumnya mencumbui bagian itu jika tidak sampai terjadi jima'?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat sebagaimana berikut:

1. Mazhab Hanafi.
Ulama dalam mazhab ini membolehkan seorang suami untuk mencumbui anggota tubuh istrinya yang ada di antara lutut dan pusarnya. Dengan syarat, percumbuan itu terjadi dengan adanya penghalang, seperti sarung, kain, atau sejenisnya. Namun suami tidak boleh melihat bagian-bagian tersebut.

Suami boleh memegang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat, selama bagian-bagian itu ditutupi dengan penghalang. Intinya tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung dan tidak boleh melihat.

2. Mazhab Maliki.
Ulama mazhab ini berbeda dengan mazhab Hanafi. Fuqaha' dalam mazhab Maliki mengatakan seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh istri yang ada di antara lutut dan pusarnya saat isterinya itu sedang haid, walaupun itu dibatasi dengan kain penghalang. Namun mereka membolehkannya untuk melihat bagian-bagian itu, walaupun dengan syahwat.

Mazhab ini berpendapat bahwa suami hanya boleh melihat atau memandang bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut istrinya itu, tanpa boleh mencumbuinya lebih jauh.

3. Mazhab Syafi'i.
Ketika seorang istri dalam keadaan haid, suaminya boleh mencumbuinya itu di bagian mana saja yang diinginkan. Hanya saja, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain penghalang, sehingga tidak ada sentuhan kulit secara langsung.

Mazhab ini juga membolehkan suami untuk melihat dan memandang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat. Dalam mazhab Syafi'i, seorang suami boleh mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut dalam batasan: boleh melihatnya, dan boleh mencumbu dengan adanya penghalang, sehingga tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung.

4. Mazhab Hanbali.
Agak berbeda dengan ketiga mazhab di atas. Mazhab Hambali membolehkan suami mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian manapun yang ia inginkan. Syaratnya tidak sampai terjadi jima' yang sesungguhnya, yakni dukhul (penetrasi).

Seorang suami boleh mencumbui istrinya di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut, kecuali organ intim, baik itu dengan melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.

Namun demikian, para ulama mazhab ini menganjurkan istri yang sedang haid untuk menutupi organ intimnya dengan penghalang selama percumbuan dilakukan.

Al-Mardawi (wafat 885 H), salah satu ulama dalam mazhab Hambali mengatakan dalam kitabnya "Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf" bahwa jika seorang suami tidak yakin bisa menahan syahwatnya, dan kuatir akan terjadi jima' apabila mencumbui bagian di antara pusar dan lutut, maka haram baginya mencumbui istrinya di bagian itu. Sebab menghindari itu akan membuat dirinya lebih selamat dan tidak terjerumus dalam perbuatan dosa.

Demikian penjelasan Ustazah Aini berdasarkan empat mazhab besar. Di satu sisi mereka memiliki pandangan yang sama, yakni mengenai haramnya men-jima' istri yang sedang haid. Walaupun mereka tetap berbeda mengenai bolehnya seorang suami mencumbui bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut.

Madzhab Hanafi membolehkan mencumbui istri dengan adanya penghalang. Mazhab Maliki membolehkan percumbuan dalam batasan melihat saja. Madzhab Syafi'i, membolehkan mencumbu istrinya di bagian-bagian itu dengan menggunakan penghalang, serta boleh melihatnya pula.

Sedangkan mazhab Hambali, suami boleh mencumbu isterinya di bagian manapun, asalkan tidak terjadi jima' atau penetrasi. Namun, jika suami itu khawatir tidak bisa menahan syahwatnya, hendaknya ia menghindari bagian-bagian itu, agar tidak sampai terjadi jima'.

Wallahu A'lam Bisshawab
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3392 seconds (0.1#10.140)