Mu'adz bin Jabal, Syahid di Usia Muda Karena Wabah Tho’un

Rabu, 25 Maret 2020 - 11:08 WIB
Muadz bin Jabal, Syahid di Usia Muda Karena Wabah Tho’un
Mu'adz bin Jabal, Syahid di Usia Muda Karena Wabah Tho’un
A A A
Wilayah Islam makin meluas pada masa kekuasaan Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu. Satu persatu negeri di sekitar Hijaz terbuka. Irak dan Persia di timur serta Mesir dan Syam di Barat semua tunduk di bawah satu kekhalifahan Islam.

Di negeri-negeri Islam yang baru tersebut, Umar mengutus beberapa sahabat Nabi guna memimpin sekaligus mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat yang belum lama memeluk Islam. Di antara mereka adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhuma.

Akan tetapi pada 17 Hijriyah (sekitar 639 M) di negeri baru tersebut, muncul satu wabah penyakit ( tho’un ) di Amwas, satu daerah di Palestina (Syam). Para sejarawan muslim klasik hampir tidak ada yang melewatkan peristiwa wabah dahsyat ini ketika menulis kepemimpinan Khalifah Umar.

Wabah tho’un yang menyebar di Amwas merupakan penyakit kulit mematikan. Sejenis penyakit kusta atau lepra. Ia berasal dari virus yang awalnya menyerang hewan ternak. Orang yang terjangkit akan muncul borok pada kulitnya.

Wabah sangat cepat menyebar di seluruh negeri Syam. Banyak manusia terjangkit sehingga dalam tempo singkat puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Di antara mereka yang menjadi korban adalah Abu Ubaidah dan Mu’adz bin Jabar, dua sahabat Nabi yang masyhur. (Baca: Abu Ubaidah Panglima Perang yang Syahid karena Wabah Tho’un ). Lalu, siapa Mu’adz bin Jabar?

Nama panjangnya adalah Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, sedangkan nama julukannya adalah “Abu Abdurahman”. Ia dilahirkan di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun. Fisiknya gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan bergigi putih mengkilat.

Muadz termasuk dalam rombongan berjumlah sekitar 72 orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah . Ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Setelah itu ia kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di dalam masyarakat Madinah.

Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat terkemuka misalnya Amru bin al-Jamuh. Rasulullah mempersaudarakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib. Rasulullah mengirimnya ke negeri Yaman untuk mengajar. Beliau mengantarnya dengan berjalan kaki sedangkan Mu’adz berkendaraan, dan Nabi bersabda kepadanya: ” Sungguh, aku mencintaimu“.

Mu’adz bin Jabal wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah hebat di Urdun tempat ia mengajar sebagai utusan khalifah Umar bin Khattab, waktu itu usianya masih relatif muda, 33 tahun.

Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan."

Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun menghadap Allah.

Sahabat yang Paling Mengerti

Mu'adz terkenal sebagai cendekiawan dengan wawasannya yang luas dan pemahaman yang mendalam dalam ilmu fiqh. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu'adz bin Jabal."

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?"

"Kitabullah," jawab Mu'adz.

"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.

"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."

"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"

"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.

Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".

Dan Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa, ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"

Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-seluk Agama.

Selanjutnya Mu'adz pindah ke Syria (Suriah). Ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria.

Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri. (Baca Juga: Sahabat Nabi yang Wafat karena Wabah Penyakit(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3056 seconds (0.1#10.140)