Seluruh Bumi Hakikatnya Adalah Masjid

Senin, 06 April 2020 - 07:34 WIB
Seluruh Bumi Hakikatnya Adalah Masjid
Seluruh Bumi Hakikatnya Adalah Masjid
A A A
MASJID-masjid di seluruh dunia, termasuk Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, ditutup karena wabah virus corona atau Covid-19 . Kita tentu saja prihatin. Covid-19 telah mengubah segalanya. Salat jamaah ditiadakan. Salat Jumat juga begitu. Masjid dibuat sepi.

Azan sebagai penanda masuknya waktu salat memang tetap dikumandangkan dari masjid-masjid pada setiap awal waktu salat wajib. Hanya saja, ada perubahan lafal azan. Kalimat hayya alaṣh-ṣhalah (marilah kita salat) diganti dengan shallū fī riḥālikum (salatlah di kendaraan kalian) atau shallu fi buyutikum (salatlah kalian di rumah masing-masing). ( Baca juga: Gara-gara Covid-19, Kalimat Adzan Diubah Shallu fi Rihalikum )

Kini, umat Islam lebih banyak salat berjamaah di rumah mereka. Keramaian di masjid dipindah ke rumah. Tempat tinggal kaum muslimin menjadi semarak dengan alunan suara penghuninya yang membaca Al-Qur'an. Para suami menjadi imam salat bagi istri dan anak-anaknya. Masjid ada di mana-mana.

Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) sudah bersabda,

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ

“Seluruh bumi adalah masjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian” (HR. Tirmidzi no. 317, Ibnu Majah no. 745, Ad Darimi no. 1390, dan Ahmad 3: 83. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Maknanya, kecuali kuburan dan kamar mandi, sujud boleh dilakukan di mana saja di tiap jengkal bumi yang kita pijaki. Apa yang dikatakan Nabi SAW tersebut juga menandakan pesan agung tentang ibadah yang selayaknya tidak dibatasi hanya oleh bentuk dan rupa ruang yang menjadi tempat kita bersujud.

Al-Hallaj dalam sebuah sajaknya pernah menggubah hadist Nabi tersebut melalui keindahan kata-katanya:

الأرض مسجد
فعل الخير فيها صلاة
المسح على رأس اليتيم صلاة
رفع الظلم عند المظلوم صلاة


Al ardhlu masjidun
Fi’lul khoir fiiha sholaatun
Almashu ala ro’si al yatiimi sholaatun
Rof’ul dhulmi ‘inda al madzluumin sholaatun

Bumi ini sejatinya masjid
Berlaku kebaikan merupakan salat
Mengusap-usap kepala anak yatim merupakan salat
Memerangi kezaliman yang dilakukan orang-orang zalim juga merupakan salat

Hadis dan sajak tersebut menjadi pengingat yang cukup tepat dalam situasi genting saat ini agar umat Islam bisa memahami lebih luas sekaligus dalam ketika memaknai konteks ibadah yang sesungguhnya. Sebab ibadah tidak melulu hanya perkara yang jasmani (mahdlah), tetapi ibadah juga mencakup yang ukhrawi (ghoiru mahdlah).

Ibadah tidak sekadar dituntut dilakukan dalam konteks sujud kepada Allah, tetapi berlaku baik kepada siapa-siapa atau apa-apa yang ada di muka bumi juga termasuk bentuk ibadah yang mesti kita hayati dan laksanakan.

Pakar Tafsir Al-Qur’an, Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000), menjelaskan bahwa kata masjid terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an.

Dari segi bahasa, kata masjid terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan ta’dzim. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas.

Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan salat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud." Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat salat kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu Al-Qur’an surat Al-Jin ayat 18, misalnya, menegaskan bahwa:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.” (QS Al-Jin: 18)

Selain itu, Quraish Shihab dalam buku yang sama juga mengemukakan bahwa Rasululullah SAW bersabda, “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.” (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah SAW bersabda,

وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ

“Seluruh bumi dijadikan sebagai tempat salat dan untuk bersuci. Siapa saja dari umatku yang mendapati waktu salat, maka salatlah di tempat tersebut” (HR. Bukhari no. 438 dan Muslim no. 521).

Mengaca Kisah Sufi Ibrahim bin Adham
Ibrahim bin Adham (w. 161 H/778M), kelahiran Balkh, Afghanistan, seperti Budha Gautama, pada awalnya adalah putra seorang bangsawan yang kaya raya. Rumahnya bagai istana raja, luas dan megah. Tetapi ia tak betah tinggal di sana. Ia lebih suka mengembara sambil berpuasa untuk berguru kepada para ulama terkemuka di Irak, Siria dan Hijaz.

Kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Asyfiya’ (Perhiasan para wali dan tingkatan orang-orang suci) karya Al Imam Abu Nu’aim Al Ashfani menceritakan.

Sebelum menjadi sufi dia adalah pangeran di negeri Khurasan yang kaya. Pada suatu malam dia mendengar suara gaduh di atas kamarnya yang mewah.

”Hai, siapa yang di atas itu,” teriak Ibrahim.

”Aku,” jawab orang itu.

”Ada apa malam-malam begini di atas atap?”

”Aku mencari untaku yang hilang.”

”Goblok! Bagaimana mungkin unta di atas atap,” jawab Ibrahim marah.

”Kamu yang goblok. Bagaimana mungkin kamu akan mendapatkan Tuhan di kamar mewah, kasur empuk, dan sajadah sutramu.”

Ibrahim bin Adham terdiam. Sejak itu dia berubah. Meninggalkan kemewahan, mencari Tuhan di tengah kemiskinan rakyatnya.

Ketika ia berada di Kilikiya, seorang hamba sahaya ayahnya datang memberitahukan ayahnya meninggal dunia sambil menyerahkan uang warisan ratusan ribu dirham. Ibrahim kemudian memerdekakan si hamba dan menyerahkan semua uangnya kepadanya. Ia lebih suka memperoleh uang dari bekerja di ladang atau menunggu kebun. Di kemudian hari Ibrahim bin Adham menjadi seorang sufi terkemuka.

Jadi di manakah kita bisa menemui Tuhan? Sebuah hadits qudsi Allah berfirman, ‘Aku ada di antara orang miskin yang lapar, orang sakit yang tidak dikunjungi, orang telanjang yang kedinginan dan orang fakir yang direndahkan.”

Bisa jadi Tuhan ingin mengatakan bahwa Aku ada di antara orang lapar yang perih, orang sakit yang terlunta, orang telanjang yang kedinginan, orang fakir yang renta. Carilah Aku di sana. Aku ada di antara mereka. Apalagi di saat wabah ini. Aku tidak hanya ada pada ritual-ritual yang terus diperdebatkan kesahihannya.

Siapa pun bisa menjumpai Tuhan tanpa antara. Tuhan tidak berada di suatu tempat bahkan ada di rumah kita. Maka temukan Tuhan di rumahmu. Siapa pun bisa mengambil hikmah dari musibah ini. Apakah kebaikan yang didapat atau keburukan dan kesombongan lain yang ditumpuk atas nama ketaatan
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2741 seconds (0.1#10.140)