Menunaikan hak Allah

Jum'at, 12 Juli 2013 - 14:26 WIB
Menunaikan hak Allah
Menunaikan hak Allah
A A A
Beruntunglah umat Islam yang dianugerahi bulan mulia Ramadan tiap tahunnya. Sedemikian banyak kemuliaan yang ada pada Ramadan, sehingga seolah tidak ada kebaikan yang tak berpotensi menjadi keberkahan bagi diri sendiri, bagi sesama manusia, dan bagi sesama makhluk Allah.

Ibadah puasa, sebagaimana ibadah wajib lainnya, tiada lain merupakan upaya hamba untuk memenuhi hak Tuhannya. Bukan berarti Allah membutuhkan puasa makhluk-Nya. Kebesaran Allah tak akan susut sedikit pun andai seluruh makhluk-Nya durhaka. Nalar seorang mukmin rasa-rasanya mustahil mengingkari keterlibatan Allah yang nyaris total dalam gerak semesta dan seisinya.

Disebut nyaris karena memang ada sedikit peran yang disisakan pada manusia untuk menjalankan fungsi kekhalifahannya. Allah menciptakan api, manusia berinovasi membuat kompor. Allah menyediakan udara, manusia merancang tabung oksigen. Allah menjadikan air, manusia mendesain mesin uap, dan seterusnya. Jika saham Allah dalam kehidupan kita begitu menyeluruh, manusia mestinya tahu diri. Dalam orientasi dan proyeksi macam apa seluruh aktivitasnya dilakukan.

Hanya, barangkali karena memang manusia tempat paling subur bagi penyakit lupa, rasa tahu diri itu perlu diingatkan dalam berbagai perintah. Selama 24 jam dalam sehari, misalnya, manusia “Cuma” ditagih sekian menit untuk benar-benar ingat pada Tuhannya secara wajib. Pelajaran berharga macam ini antara lain ada pada ibadah puasa pada Ramadan yang juga bersifat wajib. Kewajiban itu melekat pada diri manusia, sementara hak menerima puasa ada di haribaan Allah SWT.

“Tiap amal seorang anak Adam,” firman Allah dalam hadis qudsi. “Untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” Bahwa ada begitu banyak keterangan yang menjelaskan Ramadan sebagai gudang raksasa berisi pahala, tetap tak ada jaminan mutlak bagi manusia untuk bisa mendapatkannya. Di hadapan Allah, manusia tak punya secuil pun hak, karena sesungguhnya yang ada hanya kewajiban.

Paling jauh –dan ini dianjurkan– manusia menjalani hidup segiat mungkin dengan semata mengharap Allah berkenan memberikan rida-Nya. Nah, hak dan kewajiban senantiasa mengandaikan hubungan dua pihak. Kewajiban di satu pihak dengan sendirinya merupakan hak di pihak lain. Relasi ini muncul seturut pada kadar kemampuan dan posisi masing-masing pihak. Kekacauan biasanya muncul ketika suatu pihak tak mengerti benar kadar kemampuan dan posisinya.

Sampai batas tertentu, runyamnya hubungan sosial berakar dari salah kaprah antara hak dan kewajiban. Ada saja orang yang gemar mendahulukan hak dan mengakhirkan kewajiban. Semakin ke sini, semakin banyak pula yang justru memutlakkan hak dan melupakan kewajiban. Ramadan hadir mengingatkan adanya relasi hak dan kewajiban. Relasi itu penting karena pada awal dan akhirnya manusia tak pernah bisa hidup dari, oleh, dan untuk dirinya sendiri.

Semoga Ramadan kali ini menjadi peluang untuk meningkatkan kepekaan. Sebagai khalifah di bumi, kepekaan itu hari-hari ini dibutuhkan agar kita bisa naik kelas. Dari sekadar memperjuangkan “hak asasi manusia” menuju “kewajiban asasi manusia”. Wallahu a’lam bisshawab.

KH SAID AQIL SIRADJ
Ketua Umum PBNU
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4474 seconds (0.1#10.140)