Islam Melarang Pernikahan Beda Agama, Ini Dalilnya
loading...
A
A
A
Pernikahan beda agama saat ini cukup marak terjadi di Indonesia. Di antara kaum muslim bahkan ada yang melakukannya secara diam-diam. Padahal syariat Islam melarang pernikahan beda agama.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Pada Pasal 44 ditegaskan lagi bahwa menikah beda agama itu dilarang: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam."
Berdasarkan syariat Islam, pernikahan beda agama hukumnya haram. Khususnya jika laki-lakinya adalah non muslim, maka para ulama sepakat akan keharamannya. Berikut dalil keharamannya sebagaimana firman Allah:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا جَآءَكُمُ الۡمُؤۡمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامۡتَحِنُوۡهُنَّ ؕ اَللّٰهُ اَعۡلَمُ بِاِيۡمَانِهِنَّ ۚ فَاِنۡ عَلِمۡتُمُوۡهُنَّ مُؤۡمِنٰتٍ فَلَا تَرۡجِعُوۡهُنَّ اِلَى الۡكُفَّارِ ؕ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّوۡنَ لَهُنَّ ۚ وَاٰ تُوۡهُمۡ مَّاۤ اَنۡفَقُوۡا ؕ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ اَنۡ تَنۡكِحُوۡهُنَّ اِذَاۤ اٰ تَيۡتُمُوۡهُنَّ اُجُوۡرَهُنَّ ؕ وَلَا تُمۡسِكُوۡا بِعِصَمِ الۡكَوَافِرِ وَسۡــَٔـلُوۡا مَاۤ اَنۡفَقۡتُمۡ وَلۡيَسۡــَٔـلُوۡا مَاۤ اَنۡفَقُوۡا ؕ ذٰ لِكُمۡ حُكۡمُ اللّٰهِ ؕ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَكِيۡمٌ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS Al-Mumtahanah ayat 10)
Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia, Ustaz Farid Nu'man Hasan dalam satu kajiannya menukil keterangan Imam Al-Qurthubi tentang ayat "Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka (muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka): "Yaitu Allah tidak menghalalkan wanita beriman untuk orang kafir, dan tidak boleh laki-laki beriman menikahi wanita musyrik." (Imam Al-Qurthubi, Jamiul Ahkam, 18/63)
Dikisahkan, Sayyidah Zainab puteri Rasulullah ﷺ menikahi Abu Al-Ash yang masih kafir. Saat itu belum turun ayat larangan pernikahan seperti ini. Ketika turun ayat larangannya, maka beliau meninggalkannya selama enam tahun hingga akhirnya Abu Al-Ash masuk Islam. Akhirnya Nabi mengulangi pernikahan mereka dengan akad yang baru.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: "Nabi shollallahu 'alaihi wasallam mengembalikan putrinya Zainab, kepada Abu Al-Ash bin Ar-Rabi setelah enam tahun lamanya, dengan pernikahan awal." (HR At Tirmidzi 1143, Ibnu Majah 2009, Abu Daud 2240, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2811, 6693, Ahmad 1876)
Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma'. Katanya, telah menjadi ijma' (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir." (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 15/203. Mawqi Al-Islam)
Dalam tafsir ringkas Kemenag, dari ayat di atas ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada suaminya.
Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslimah kawin dengan laki-laki kafir (non muslim).
Anak dari Pernikahan Beda Agama
Muncul pertanyaan, bagaimana anak yang dihasilkan dari pernikahan beda agama? Menurut Ustaz Farid Nu'man, dalam pandangan syariat, anak tersebut tidak sah dinasabkan kepada ayah biologisnya. Sebab syariat memandangnya anak itu lahir dari perzinaan.
Jika anak itu wanita, maka dia boleh menikah dengan berwalikan wali hakim, atau istilah kita: penghulu, yaitu wali yang berasal dari negara. Ini sesuai hadis Nabi berikut:
السلطان ولي من لا ولي لها
Artinya: "Sultan (negara) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali." (HR At Tirmidzi, Abu Daud. Status Hadis: Hasan)
Wallahu A'lam
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Pada Pasal 44 ditegaskan lagi bahwa menikah beda agama itu dilarang: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam."
Berdasarkan syariat Islam, pernikahan beda agama hukumnya haram. Khususnya jika laki-lakinya adalah non muslim, maka para ulama sepakat akan keharamannya. Berikut dalil keharamannya sebagaimana firman Allah:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا جَآءَكُمُ الۡمُؤۡمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامۡتَحِنُوۡهُنَّ ؕ اَللّٰهُ اَعۡلَمُ بِاِيۡمَانِهِنَّ ۚ فَاِنۡ عَلِمۡتُمُوۡهُنَّ مُؤۡمِنٰتٍ فَلَا تَرۡجِعُوۡهُنَّ اِلَى الۡكُفَّارِ ؕ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّوۡنَ لَهُنَّ ۚ وَاٰ تُوۡهُمۡ مَّاۤ اَنۡفَقُوۡا ؕ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ اَنۡ تَنۡكِحُوۡهُنَّ اِذَاۤ اٰ تَيۡتُمُوۡهُنَّ اُجُوۡرَهُنَّ ؕ وَلَا تُمۡسِكُوۡا بِعِصَمِ الۡكَوَافِرِ وَسۡــَٔـلُوۡا مَاۤ اَنۡفَقۡتُمۡ وَلۡيَسۡــَٔـلُوۡا مَاۤ اَنۡفَقُوۡا ؕ ذٰ لِكُمۡ حُكۡمُ اللّٰهِ ؕ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَكِيۡمٌ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS Al-Mumtahanah ayat 10)
Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia, Ustaz Farid Nu'man Hasan dalam satu kajiannya menukil keterangan Imam Al-Qurthubi tentang ayat "Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka (muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka): "Yaitu Allah tidak menghalalkan wanita beriman untuk orang kafir, dan tidak boleh laki-laki beriman menikahi wanita musyrik." (Imam Al-Qurthubi, Jamiul Ahkam, 18/63)
Dikisahkan, Sayyidah Zainab puteri Rasulullah ﷺ menikahi Abu Al-Ash yang masih kafir. Saat itu belum turun ayat larangan pernikahan seperti ini. Ketika turun ayat larangannya, maka beliau meninggalkannya selama enam tahun hingga akhirnya Abu Al-Ash masuk Islam. Akhirnya Nabi mengulangi pernikahan mereka dengan akad yang baru.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: "Nabi shollallahu 'alaihi wasallam mengembalikan putrinya Zainab, kepada Abu Al-Ash bin Ar-Rabi setelah enam tahun lamanya, dengan pernikahan awal." (HR At Tirmidzi 1143, Ibnu Majah 2009, Abu Daud 2240, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2811, 6693, Ahmad 1876)
Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma'. Katanya, telah menjadi ijma' (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir." (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 15/203. Mawqi Al-Islam)
Dalam tafsir ringkas Kemenag, dari ayat di atas ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada suaminya.
Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslimah kawin dengan laki-laki kafir (non muslim).
Anak dari Pernikahan Beda Agama
Muncul pertanyaan, bagaimana anak yang dihasilkan dari pernikahan beda agama? Menurut Ustaz Farid Nu'man, dalam pandangan syariat, anak tersebut tidak sah dinasabkan kepada ayah biologisnya. Sebab syariat memandangnya anak itu lahir dari perzinaan.
Jika anak itu wanita, maka dia boleh menikah dengan berwalikan wali hakim, atau istilah kita: penghulu, yaitu wali yang berasal dari negara. Ini sesuai hadis Nabi berikut:
السلطان ولي من لا ولي لها
Artinya: "Sultan (negara) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali." (HR At Tirmidzi, Abu Daud. Status Hadis: Hasan)
Wallahu A'lam
(rhs)