Tradisi Dlugdag, Esensi Bedug dalam Budaya Islam

Rabu, 17 Juni 2015 - 17:02 WIB
Tradisi Dlugdag, Esensi Bedug dalam Budaya Islam
Tradisi Dlugdag, Esensi Bedug dalam Budaya Islam
A A A
CIREBON - Umat Muslim mengenal bedug sebagai salah satu instrumen sakral yang berkaitan dengan ritual mereka.

Bagaimana tidak, tabuhan bedug di antaranya digunakan sebagai pengingat waktu salat wajib lima waktu, hingga tradisi keagamaan seperti Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha.

Belakangan, bedug tak banyak dipakai sebagai penanda waktu salat lima waktu. Saat ini, bedug lebih menjadi simbol tradisi keagamaan yang ditabuh pada waktu-waktu tertentu, terutama yang mengandung keistimewaan, seperti ramadhan maupun lebaran.

Seperti yang dilakukan Kesultanan Kasepuhan Cirebon, sore kemarin. Mengakhiri bulan Sya'ban dan menyambut Ramadan, ditabuhlah bedug di Langgar Agung, di halaman Kemandungan, Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.

Tradisi itu dikenal dengan nama Dlugdag yang dilaksanakan setelah waktu Salat Ashar atau sekitar pukul 15.30 WIB. Sultan Kasepuhan, para wargi keraton, abdi dalem, dan masyarakat Magersari, Keraton Kasepuhan Cirebon, menabuh bedug dalam tradisi itu.

"Tradisi Dlugdag sudah ada sejak zaman Sunan Gunung Jati ratusan tahun lalu, sebagai tanda dimulainya Ramadan," terang Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, seusai menabuh bedug.

Tetabuhan yang meriah itu juga menandai ritual pada Ramadan, seperti salat tarawih di malam hari, sebelum kemudian sahur dan berpuasa keesokan harinya. Dia menuturkan, bedug dahulu merupakan alat komunikasi dan tanda pengumuman kepada khalayak ramai.

"Zaman dulu kan belum ada radio, televisi, speaker, dan sejenisnya," ujarnya.

Bahkan, kala itu bedug digunakan pula membangunkan orang-orang untuk sahur. Bedug ditabuh kaum Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terletak di depan Keraton Kasepuhan Cirebon.

Bedug yang ditabuh saat Dlugdag sempat mengalami penggantian kulit permukaannya satu kali sejak digunakan pada masa Sunan Gunung Jati. Akibat sering ditabuh, kulit permukaan bedug menipis dan berlubang hingga harus diganti.

"Bedug ini tetap dibunyikan setiap waktu salat maupun tradisi keagamaan lain, seperti Dlugdag," tuturnya.

Sebagaimana diketahui, Kesultanan Cirebon didirikan Sunan Gunung Jati Syekh Syarief Hidayatullah pada Abad ke-15. Tak heran, tradisi masyarakat Cirebon bernuansa Islami. Sejak awal tahun 1 Muharam hingga 1 Muharam berikutnya selama satu tahun, banyak adat tradisi pada hari-hari besar Islam, termasuk saat Ramadhan.

"Dalam kesempatan ini pun kami, keluarga besar Keraton Kasepuhan Cirebon, menghaturkan selamat ibadah puasa Ramadan. Marilah memperbanyak salat sunah, zikir, membaca alquran, sedekah, dan zakat," tegasnya.

Sementara, kepada umat non-Muslim pihaknya menghaturkan terima kasih atas dukungan dan penghormatannya. Sultan berharap, Ramadan ini menciptakan kondisi kota yang damai dan nyaman.
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6164 seconds (0.1#10.140)