Sejarah Masuknya Liberalisme di Mesir dan Dunia Arab

Sabtu, 12 Oktober 2019 - 09:01 WIB
Sejarah Masuknya Liberalisme di Mesir dan Dunia Arab
Sejarah Masuknya Liberalisme di Mesir dan Dunia Arab
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Alquran
Alumnus Institute of Arab Studies Kairo-Mesir

Tantangan umat Islam saat ini bukan saja dihadapi dari pengaruh luar westernisasi, modernisasi, globalisasi, kapitalisasi dan ghazwatul fikr lainnya. Lebih dari itu, tantangan yang mengkhawatirkan adalah serangan pemikiran liberalisme dan sekulerisme dari dalam tubuh Islam sendiri.

Mengawali pascaruntuhnya kekhalifahan Turki Utsmani sejak tahun 1924, kekuasaan Islam menjadi terpecah belah dan berada pada wilayah kolonialisasi negara-negara Barat. Ditambah era modernisasi barat yang kian menggeliat membuat umat Islam semakin tertinggal dari kemajuan negara-negara Eropa.

Hal itu membuat 'kesadaran sejarah' bagi sebagian kalangan intelektual muslim untuk melakukan perubahan terhadap sikap pandang kaum muslimin terhadap perubahan dunia, sembari tetap mempertahankan nilai-nilai kulturalistik ke-Araban dan nilai-nilai keislaman mereka.

Namun, lain halnya bagi sebagian kalangan kaum modernis berpendapat bahwa penyebab keterbelakangan peradaban umat Islam adalah stagnasi intelektual dan kekakuan ulama dalam memahami Islam dan dalam menanggapi dinamika kehidupan modern. Karena itu, pemikir modernis menyerukan dibukanya pintu ijtihad, yang dengan revitalisasi Islam dapat ditempuh.

Berdalih atas nama pembaruan serta perlunya modernisasi dalam pemikiran Islam demi menyeimbangi kemajuan dunia Barat, pada awal abad 20 segelintir kaum intelektual yang terkagum-kagum pada kemajuan dunia barat mulai mendengungkan pemikiran-pemikiran ala sekulerisasi dan liberalisasi dalam aspek sudut pandang kehidupan modern.

Lebih dari itu, mereka juga melakukan kritikan terhadap tradisi Arab klasik (Naqd Turats Araby) yang mereka anggap sudah usang dan tidak relevan dengan kondisi masyarakat beragama kekinian dan harus diganti dengan pola kebaharuan modernisasi, termasuk dalam paradigma yang bersifat pemahaman keagamaan.

Gagasan dan ide pembaruan yang mereka tawarkan adalah melakukan reinterpetasi atau pembacaan ulang terhadap tafsiran Alqur'an yang telah dihasilkan oleh para ulama klasik diganti dengan tafsiran kekinian yang menurut mereka bisa disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan zaman.

Jika ingin ditarik lebih awal, munculnya gagasan pembaruan Islam ini bisa diawali dari pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Selanjutnya, masa Ali Abdur Raziq dan Rif'at Tahtawi juga mempunyai pengaruh terhadap ide-ide modernisasi berpikir di Mesir. Berlanjut era Thaha Husien hingga Amin al-Khouli, Nasr Hamid Abu Zaid, hingga Hasan Hanafi.

Ide-ide gagasan pembaharuan sekulerisme dan liberalisme di Mesir dan dunia Arab banyak mendapat pengaruh saat para inteletual Mesir bersentuhan dengan filsafat-filsafat barat serta pengaruh kajian orientalis barat terhadap Islam ketika pulang dari berstudi di Prancis atau pun Amerika.

Ide dan gagasan itu tumbuh dan berkembang subur di era tahun 70-an. Namun, seiring memasuki era 90-an, pemikiran itu sudah mulai usang dan mulai ditinggalkan.

Kini memasuki era tahun 2000-an, dunia Arab khususnya Mesir, pemikiran liberalisme dan sekulerisme sudah tidak terlalu laku dan diminati lagi. Bahkan, sudah dianggap semacam 'sampah' yang tidak mampu dipertahankan dan diambil kemanfaatannya.

Ironisnya di Indonesia, pemikiran itu justru digandrungi oleh para intelektual muda yang banyak berguru dengan Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, dan lainnya yang sejatinya para tokoh ini tidak diterima pemikirannya di negara mereka masing-masing.

Tokoh-tokoh Pengusung Sekulerisme dan Liberalisme di Dunia Arab
Dari sekian banyak penggiat dan pengusung ide dan gagasan liberalisme dan sekulerisme di dunia Arab, penulis hanya memaparkan nama tokoh dan salah satu dari pendapatnya yang memicu polemik. Di antara tokoh-tokoh pengusung pemikiran liberal dan sekuler di dunia Arab, antara lain:

1. Thoha Husien (1989-1973).
Pemikiran kontroversialnya: dia meragukan kebenaran kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Menurutnya tidak ada bukti otentik yang bisa dijadikan sumber kebenaran sejarah, meski Alqur'an telah menyebutkannya.

2. Ali Abdur Razieq.

Pemikiran kontroversialnya: Islam tidak memiliki konsep tentang negara Islam.

3. Amin Al-Khouli.
Pemikiran kontroversialnya: Deskontruksi pemikiran klasik.

4. Mohammed Ahmad Khalfallah.

Pemikiran kontroversialnya: Kisah-kisah di dalam Alqur'an hanya bersifat fiktif.

5. Nasr Hamid Abu Zayd, Mesir.

Pemikiran kontroversialnya: Al-Muntaaj Ats-Saqafi; Al-Qur'an adalah produk budaya.

6. Mohammed Shahrur, Damaskus Syiria.
Pemikiran kontroversialnya: aurat itu hanya sebatas dada dan bagian kemaluan.

7. Fazlur Rahman Pakistan (1919-1988).

Pemikiran kontroversialnya: menolak poligami.

8. Hasan Hanafi, Mesir (1935-2010).

Pemikiran kontroversialnya: Sekularisme adalah dasar wahyu, Ketidaksetujuan pada ayat-ayat pengharaman, Lafaz kata 'Allah' mengandung kontradiksi, Perdamaian (As-Salam) lebih baik daripada Islam, Lafaz-lafaz usul Fikh memperalat manusia, Tidak ada kesucian pada Alquran dan Hadist, Hijab adalah hambatan.

9. Mohammed Arkoun, Al-Jazair (1928-2010).

Pemikiran kontroversialnya: Kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah hanyalah bersifat Tajribatul Madinah (pengalaman Madinah). Lalu sebagai gantinya ia memakai Alqur'an dengan berdasarkan Tajribatul Urubbiyah (pengalaman Eropa).

10. Aminah Wadud, Libya.
Pemikiran kontroversialnya: Wanita boleh memimpin salat Jum'at, menjadi muadzin dan pengisi khutbah.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3379 seconds (0.1#10.140)