Sabar dalam Kondisi Mampu Menurut Pandangan Ibnu Taimiyah

Rabu, 16 September 2020 - 14:40 WIB
loading...
Sabar dalam Kondisi Mampu Menurut Pandangan Ibnu Taimiyah
Tatkala manusia diperintahkan untuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, serta menerima apa yang ditakdirkan kepadanya, maka manusia harus: pertama adalah bertakwa (takut kepada Allah) dan yang kedua adalah bersabar. Foto ilustrasi/i
A A A
Ketika kita menghadapi berbagai kondisi , terutama saat mengalami kesulitan kita dianjurkan untuk banyak bersabar dan takwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Secara arti, sabar berasal dari kata “sobaro-yasbiru” yang artinya menahan. Dan menurut istilah, sabar adalah menahan diri dari kesusahan dan menyikapinya sesuai syariah dan akal, menjaga lisan dari celaan, dan menahan anggota badan dari berbuat dosa dan sebagainya.

Lantas bagaimana sikap sabar dalam kondisi sebaliknya dari kesulitan, atau dalam kondisi mampu ? Dikutip dari kitab 'Tazkiyatun Nafs', Syaikul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskannya sebagai berikut, bahwa sabar dalam kondisi mampu adalah jihad, bahkan lebih utama dan lebih sempurna daripada jihad .

(Baca juga : Sifat Malu Adalah Kunci dari Semua Kebaikan )

Menurut Ibnu Taimiyah, ada tiga alasannya, yakni :

1. Sesungguhnya sabar dari hal-hal yang diharamkan lebih utama daripada sabar atas kesusahan.
2. Meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam kondisi mampu melakukannya dan nafsu juga menuntunnya, maka lebih utama dari menginggalkannya dalam kondisi selain itu.
3. Sesungguhnya tuntunan nafsu terhadapnya jika karena dengan sebab agama -seperti orang yang keluar untuk salat, menuntut ilmu atau jihad lalu dia mendapat cobaan dengan keinginannya tersebut-- maka kesabarannya dari hal tersebut mencakup melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, berbeda jika jiwanya cenderung kepada hal tersebut tanpa amal saleh.

Maka suatu hari Yunus bin Ubaid mewasiatkan tiga perkara:

1. Janganlah engkau masuk menemui seorang penguasa meskipun engkau mengatakan saya mengajaknya untuk taat kepada Allah
2. Janganlah engkau masuk menemui seorang perempuan meskipun engkau mengatakan saya akan mengajarinya kitab Allah
3. Dan janganlah engkau mendengarkan Ahlul Bid'ah meskipun engkau mengatakan saya akan membantahnya

(Baca juga : Hemat dalam Hidup, Ternyata Sifat Istri Berkarakter Surgawi )

Sesungguhnya Allah Ta'ala memerintahkan Nabi-Nya untuk menolak, memaafkan dan bersabar dengan cara yang baik. Menolak dengan cara yang baik adalah tidak menyakitkan. Memaafkan dengan cara yang baik adalah memaafkan tanpa celaan. Sabar yang baik adalah sabar tanpa keluhan.

Seperti ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala :

قَالَ إِنَّمَآ أَشْكُوا۟ بَثِّى وَحُزْنِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

"Ya'qub Alaihissalam berkata, "Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku." [QS Yusuf: 86]

dan firman Allah Ta'ala :
"... maka hanya bersabar itulah yang baik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-NYa terhadapapa yang kamu ceritakan." [QS Yusuf: 18]

)

Mengadu kepada Allah tidak bertentangan dengan sabar yang baik. Diriwayatkan dari Musa Alaihissalam bahwa beliau pernah berkata, "Ya Allah, milik-Mu segala pujian, kepada Engkaulah tempat mengadu. Engkaulah yang Maha Pemberi pertolongan, dan kepada-Mulah tempat memohon bantuan dan hanya kepada-Mulah tempat bertawakal."

Dan di antara Doa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:

"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, minimya kemampuanku, kehinaanku di hadapan manusia. Engkau adalah Rabb orang-orang lemah dan Engkau adalah Rabbku, kepada siapakah Engkau menyerahkanku? Spakah kepada orang jauh yang menerimaku? ataukah kepada musuh yang Engkau kuasakan urusanku kepadanya? Jika Engkau tidak marah kepadaku maka aku tidak peduli karena maaf-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung diri dengan cahaya wajah-Mu yang dengannya Engkau menerangi yang gelap, dan padanya akan baik urusan dunia dan akhirat agar murka-Mu tidak turun padaku, atau marah-Ku menimpaku, milik-Mulah segala akibat hingga Engkau ridha." (HR Ath-Thabrani, Ibnu Adi dan Ibnu Asakir)

(Baca juga : Umat Islam Pertanyakan Kehalalan Vaksin COVID-19, China Dekati Arab Saudi )

Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu pernah membaca dalam salat subuh,

"Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusaan san kesedihanku," [QS Yusuf: 86] Lalu beliau menangis hingga isak tangisnya terdengar sampai shaf paling belakang. Pengaduan ini berbeda dengan pengaduan kepada makhluk. Diriwayatkan oleh Thawus bahwa beliau membenci rintihan orang yang sakit, beliau mengatakan bahwa hal tersebut adalah pengaduan. Dan ketika hal tersebut dibacakan kepada Imam Ahmad saat beliau sedang sakit yang menyebabkan kepada kematiannya, maka Imam Ahmad tidak pernah lagi merintih hingga wafat.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1988 seconds (0.1#10.140)