Kisah Sedih di Usia 8 Tahun: Ibu dan Kakek Rasulullah Wafat

Kamis, 29 Oktober 2020 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Sedih di Usia 8 Tahun: Ibu dan Kakek Rasulullah Wafat
Ilustrasi/Ist
A A A
TATKALA Nabi Muhammad SAW berumur enam tahun, ibunda Siti Aminah membawanya berziarah ke makam ayahandanya Abdullah di Madinah (Yatsrib). Siti Aminah membawa serta Ummu Aiman untuk mendampinginya. ( )

Siti Aminah tinggal di sana selama satu bulan, kemudian kembali ke Makkah . Tetapi dalam perjalanan pulang itu Siti Aminah jatuh sakit, kemudian meninggal dan dikuburkan di Abwa’ yang berada antara Makkah dan Madinah.

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang berjudul Sejarah Hidup Muhamad menceritakan oleh Umm Aiman, beliau dibawa pulang ke Makkah. Beliau pulang dengan dengan tangis dan hati yang pilu. Beliau merasakan hidup yang makin sunyi. ( )

Kakek Abdul-Muthalib memang sangat mencintainya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu:

اَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيۡمًا فَاٰوٰى
وَوَجَدَكَ ضَآ لًّا فَهَدٰى

"Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Tentu saja Muhammad kecil sangat berduka ditingggal ibunya. Sekarang anak kecil itu menjadi seorang yatim piatu. ( )

Diasuh Abdul Muthalib
Sepeninggal Ibunda Aminah, Muhammad sepenuhnya diasuh oleh kakeknya Abdul Muthallib yang sangat menyayanginya melebihi sayangnya kepada anak-anaknya.

Diceritakan oleh Ibnu Hisyam bahwa ada satu tempat istirahat khusus untuk Abdul Muthalib di bawah naungan Ka’bah . Anak-anaknya biasa duduk mengelilingi tempat itu menungu kedatangan ayah mereka. Pada suatu hari Muhammad datang dan langsung duduk di tempat istirahat khusus untuk Abdul Muthalib tersebut. ( )

Spontan anak-anaknya menarik Muhammad agar mundur dari tempat tersebut. Ketika hal itu diketahui oleh Abdul Muthalib beliau menegur anak-anaknya. “Biarkan cucuku ini, sungguh dia begitu istimewa,” katanya.

Haekal menyebutkan, Abdul-Muthalib mengasuh cucunya itu dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini.

“Biasanya buat orang tua itu -pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Makkah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua,” tutur Haekal. ( )

Tetapi apabila Muhammad yang datang, kata Haekal, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. “Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu,” ujar Haekal lagi.

Sayang, Abdul-Muthalib dua tahun kemudian meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun. Sedangkan Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun.

Haekal melukiskan, sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

“Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun achirnya meninggal,” tulis Haekal. ( )

Abu Thalib mengasuh Muhammad, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, menurut Haekal, tapi dia kikir sekali dengan hartanya.

Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abdul-Muthalib menyerahkan asuhan Sayyidina Muhammad kemudian kepada Abu Thalib.

Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul-Muthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri.

Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1788 seconds (0.1#10.140)