Konsep Maslahah Menurut Najmuddin At-Thufi

Jum'at, 22 Januari 2021 - 21:10 WIB
loading...
Konsep Maslahah Menurut Najmuddin At-Thufi
Salah satu pendapat Al-Thufi yang cukup kontroversial adalah konsep mashlahah. Foto/ilustrasi
A A A
Salah satu tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan, baik kemaslahatan di dunia maupun kemaslahatan di akhirat. Dalil maslahat merupakan salah satu dalil mukhtalif di kalangan para ulama.

Yang menjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) adalah penggunaan metode dalam berijtihad, namun esensinya semua tujuan hukum adalah maslahat. Karena maslahat terkadang menjadi dalil dan metode ijtihad, namun juga terkadang menjadi tujuan hukum atau dua-duanya berjalan sekaligus.

Perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat, dimana persoalan selalu muncul dan berkembang, agama tertantang untuk menyelesaikannya. Slogan Al-ruju' ila Al-Qur'an wa Al-Sunnah tidak cukup. Untuk menyelesaikannya perlu sebuah perangkat metodologi hukum, yang dalam khazanah keilmuan Islam adalah ushul fiqh (Imam Syaukani, 2006).

Pada kenyataannya metodologi ushul fiqih sudah tidak dapat menyelesaikan problem hidup masyarakat. Meminjam ungkapan Al-Turabi, kondisi ilmu ushul fiqh tradisional yang dijadikan sebagai petunjuk sudah tidak relevan lagi dalam memenuhi kebutuhan modern. Sebab, ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika hukum Islam atau fiqh yang menjadi pembahasan hukum Islam masa itu. (Hasan al-Turabi, 2003)

Al-Thufi adalah produk masa kemunduran Islam, hukum Islam yang menuntut usaha pembaruan. Sedangkan secara sosio-politik terjadinya fenomena disintegrasi serta fanatisme mazhab yang berlebihan sehingga tidak jarang satu mazhab menghujat mazhab yang lain. Fenomena absolutisme hukum Islam inilah yang nampaknya lebih memberi inspirasi pendapatnya yang kontroversial. Salah satu pendapat Al-Thufi yang cukup kontroversial adalah konsep mashlahah.

Konsep Maslahah
Pengertian maslahat (Al-Maslahah) secara etimologis, berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata almaslahah dilawankan dengan kata Al-Mafsadah yang artinya kerusakan. Maslahat atau sering disebut maslahat mursalah, atau kerap juga disebut istislah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat disebut juga mashlahat yang mutlak.

Maslahah menurut pertimbangan bukti tekstual.
Pertama, mashlahah mu'tabarah adalah jenis mashlahah yang keberadaannya diakui secara tekstual (ada dalam Al-Qur’an atau Hadis). Kedua, mashlahah mursalah adalah jenis mashlahah yang tidak didukung atau disangkal oleh bukti tekstual. Ketiga adalah mashlahah mulghah adalah jenis mashlahah yang keberadaannya bertentangan dengan bukti tekstual.

Mashlahah dari Sudut Kepentingannya
Pertama, dharuriyyah adalah sejenis mashlahah yang keberadaannya sangat dibutuhkan demi tegaknya kemaslahatan dunia dan akhirat, sehingga kalau tidak hal ini tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan tercapai, bahkan menjadi binasa di dunia dan mendapat siksa di akhirat.

Kedua, hajiyyat adalah jenis mashlahah yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesulitan, sehingga kalau tidak tercapai, manusia hanya akan mendapat kesulitan dan tidak sampai binasa hidupnya.

Ketiga, adalah mashlahah tahsiniyyat adalah jenis mashlahah yang berfungsi untuk menjaga kehormatan dan kesopanan, seperti melindungi perempuan agar tidak melakukan sendiri akad nikahnya.
Dalam hal ini obyek maslahat, ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash (Al-Qur'an dan al-Sunnah) yang dapat dijadikan dasarnya.

Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut mazhab yang ada dalam fiqh, demikian pernyataan Imam Al-Qarafi al Thufi dalam Kitabnya Masalihul Mursalah menerangkan bahwa Masalihul Mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu’amalah dan semacamnya.

Konsep Maslahah Perspektif At-Thufi
Al-Thufi memiliki nama lengkap Najmuddin Al-Baghdadi At-Thufi (wafat 711 H). Beliau seorang yang alim dari kalangan Hanabilah (mazhab Hanbali) yang hidup dua abad pasca-Imam Al-Ghazali (wafat 505 H).

Pandangan Al-Tufi tentang mashlahah berasal dari pembahasan (syarah) Hadis Nomor 32 Hadis Arba'in Nawawi, yang berbunyi La Darara wa La Dirara, yang artinya jangan menyebabkan bahaya atau kerugian pada orang lain, dan jangan membalas suatu kerugian dengan kerugian lainnya. Bahasan al-Thufi mengenai Hadis No 32 itu dikutip secara utuh dan lengkap yang bersumber dari bahasan Syaikh Kamaluddin Al-Qasimi, seorang ulama Damaskus yang telah berupaya memisahkan bahasan al-Tufi dalam hadist tersebut, kemudian menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia juga berperan sebagai pensyarah di dalam risalah tersebut dalam hal-hal yang memang memerlukan ulasan, ia juga memberikan komentar secukupnya.

Kemudian Majalah AlManar No.IX/10, Oktober 1906 memuat risalah berikut syarahnya secara lengkap (Abdul Wahab Khalaf, 1972). Selain hadits la darâra wa lâ dirâra, mashlahah al-Thufi juga didasarkan pada ayat-ayat hukum, seperti ayat tentang qishash, tentang hukuman bagi pezina serta ayat yang berkaitan dengan hukuman potong tangan. (QS. 2:179; QS. Al-Nur (24):2; QS. Al-Maidah (5):38. Dalam ayat-ayat itu tersirat kemaslahatan yang harus tegak bersama dengan tegaknya hukum tersebut. Dalam mengutarakan teori mashalahahnya, al-Thufi menyandarkan pada empat prinsip utama (Musthafa Zaid, 1954):

1. Akal bebas menentukan mashlahah dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adab. Untuk menentukan suatu mashlahah atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian al-Thufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, al-Thufi membatasi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu'amalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash, kepentingan umum atau mafsadat pada kedua bidang tersebut. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun mashlahah dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, kepentingan umum itu harus mendapat justifikasi dari nash atau ijma, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.

2. Al-Thufi berpendapat bahwa mashlahah merupakan dalil Syar’i mandiri yang kehujahannya tidak tergantung pada konfirmasi nash, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian mashlahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu kehujahan mashlahah tidak diperlukan dalil pendukung, karena mashlahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi Al-Thufi, untuk menyatakan sesuatu itu mashlahah atas dasar adat istiadat dan eksperiman, tanpa membutuhkan teks.

3. Mashlahah hanya berlaku dalam bidang mu'amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara', seperti shalat zhuhur empat rakaat, puasa bukan Ramadlan selama sebulan, tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek mashlahah, karena masalahmasalah tersebut merupakan hak Allah semata.

4. At-Thufi menyatakan apabila nash dan ijma bertentangan dengan mashlahat, didahulukan mashlahat dengan cara takhsis dan bayan nash tersebut. Dalam pandangan al-Thufi secara mutlak mashlahah itu merupakan dalil syara' yang terkuat. Bagi Al-Thufi, mashlahah itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nash dan ijma ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan mashlahah atas nash dan ijma tersebut, al-Thufi lakukan dengan cara bayan dan takhsis bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana mendahulukan Sunnah atas Al-Qur’an dengan cara bayân. Hal demikian al-Thufi lakukan karena dalam pandangannya, mashlahah itu bersumber dari sabda Nabi: "La darâra wa la dirara" Pengutamaan dan mendahulukan mashlahah atas nash ini ditempuh baik nash itu qath’i dalam sanad dan matannya atau zhanny keduanya.

Jika mashlahat itu sesuai dengan nash ijma dan dalil-dalil syari’at lainnya, hal tersebut tidak perlu diperselisihkan lagi. Akan tetapi jika ternyata terjadi pertentangan antara mashlahah dengan dalil-dalil syara lainnya, jalan keluarnya dicari kesesuaiannya, seperti dengan bayan dan takhsis melalui mashlahat.

Reportase Yoga Nur Rahmat
Mahasiswa HKI Universitas Muhammadiyah Malang

Baca Juga: Dahulukan Menghilangkan Mafsadah daripada Mengambil Maslahah
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1178 seconds (0.1#10.140)