Ali bin Abi Thalib Khawatir Tak Dapat Berjumpa Rasulullah di Hari Kiamat

Selasa, 23 Februari 2021 - 12:13 WIB
loading...
Ali bin Abi Thalib Khawatir Tak Dapat Berjumpa Rasulullah di Hari Kiamat
Ilustrasi Ali Bin Abi Thalib/Ist/mhy
A A A
SIKAP dan cara hidup Ali bin Abu Thalib r.a . benar-benar telah manunggal dengan kezuhudan dan ketinggian tingkat takwanya kepada Allah s.w.t.

Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan pernah terjadi, ada seorang telah melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyanjung Ali bin Abu Thalib r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk persoalannya, Ali bin Abu Thalib menjawab: "Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa yang ada pada dirimu."

Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping menunjukkan bahwa ia tidak mabuk sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.

Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tempur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Ali bin Abu Thalib r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung.

Sikap Ali bin Abu Thalib yang seperti itu mencerminkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang.

Bada juga: Muawiyah Tinggal di Istana Megah, Ali bin Abu Thalib: Itu Istana Celaka!

Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.

Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan, sering disalahartikan atau disalahgunakan orang untuk mencap Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Benarlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya dengan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam peperangan orang harus mendayagunakan tipu-muslihat."

Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Ali bin Abu Thalib r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: "Bukti keberanian ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya kebohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbicara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu takwa dan patuh kepada Allah SWT."

Di Bawah Sederhana
Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam menghindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya berasal dari cucuran keringat istrinya sendiri, Sitti Fatimah r.a .

Tiap kali istrinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari jemarinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sambil mengerjakan hal itu Ali bin Abu Thalib r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…"

Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?"

"Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasulullah SAW dulu minum susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiamat nanti."



Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai seorang saleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sangat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya.

Abdullah bin Rafi' menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Ali bin Abu Thalib r.a. Ia sedang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku bertanya keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?"

"Aku khawatir," sahut Ali bin Abu Thalib r.a., "kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan."

Tidak jarang pula Ali bin Abu Thalib r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun berwarna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi. Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang.

Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah dengan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja.

Kepada orang lain ia sering berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!"

Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Ali bin Abu Thalib r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-benar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama sekali tidak menggiurkan seleranya. (Bersambung)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1351 seconds (0.1#10.140)