Biografi dan Silsilah Gus Baha, Nasabnya Sampai kepada Brawijaya V

Rabu, 11 Agustus 2021 - 16:54 WIB
loading...
Biografi dan Silsilah Gus Baha, Nasabnya Sampai kepada Brawijaya V
Gus Baha dikenal sebagai sosok ulama yang mumpuni dalam ilmu agama, nasabnya sampai kepada Brawijaya V. Foto/dok islami.co
A A A
Biografi dan silisilah Gus Baha menarik untuk diketahui mengingat sosok beliau yang unik dan kharismatik. Gaya ceramahnya khas dan selalu mengena hati pendengarnya membuat kajiannya selalu viral di media sosial.

Siapa sebenarnya sosok Gus Baha? Dilansir dari ngajigusbaha.id, Gus Baha bernama asli KH Ahmad Baha'uddin Nursalim lahir pada 29 September 1970 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Nasabnya ternyata sampai kepada Brawijaya V.



Gus Baha merupakan putra dari seorang ulama pakar Qur'an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA bernama KH Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Ayah Gus Baha (KH Nursalim) merupakan murid dari KH Arwani al-Hafizh Kudus dan KH Abdullah Salam Al-Hafizh Kajen Pati, yang nasabnya bersambung kepada para ulama besar. Kiyai kelahiran 1970 ini memilih Yogyakarta sebagai tempatnya memulai pengembaraan ilmiahnya.

Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di Yogya. Kepindahan ini diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji bersamanya.

Pendidikan
Gus Baha kecil memulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan Qur'an di bawah asuhan ayahnya sendiri, KH Nursalim Al-Hafizh. Hingga pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan Al-Qur'an beserta Qiroahnya dengan lisensi yang ketat dari ayah beliau. Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan dalam tajwid dan makhorijul huruf.

Menginjak usia remaja, Kiyai Nursalim menitipkan Gus Baha untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan.

Di Al-Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam fan-fan ilmu Syari’at seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir. Hal ini terbukti dari beberapa amanat prestisius keilmiahan yang diemban oleh beliau selama mondok di Al Anwar, seperti Rois Fathul Mu’in dan Ketua Ma’arif di jajaran kepengurusan Pesantren Al Anwar.

Saat mondok di Al Anwar ini pula beliau mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya. Selain Shohih Muslim beliau juga mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab gramatika arab seperti ‘Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.

Menurut sebuah sumber, dari sekian banyak hafalan beliau tersebut menjadikan beliau sebagai santri pertama Al Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak di era beliau.

Bahkan tiap-tiap musyawarah yang akan beliau ikuti akan serta merta ditolak oleh kawan-kawannya, sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan beliau.

Selain menonjol dalam keilmuannya, beliau juga sosok santri yang dekat dengan kiyainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau Syaikhina Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan mencari ta’bir dan menerima tamu-tamu ulama’-ulama’ besar yang berkunjung ke Al Anwar. Hingga beliau dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina Maimoen Zubair.

Pernah pada suatu ketika beliau dipanggil untuk mencarikan ta'bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina. Karena saking cepatnya ta’bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun terharu dan ngendikan "Iyo Ha'.... Koe pancen cerdas tenan(Iya Baha'... Kamu memang benar-benar cerdas).

Selain itu Gus Baha juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa'izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. "Santri tenan iku yo koyo baha' iku...(Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha itu...) begitu kurang lebih ngendikan Syaikhina.

Dalam riwayat pendidikan beliau, sejak kecil hingga beliau mengasuh pesantren warisan ayahnya sekarang, beliau hanya mengenyam pendidikan dari 2 pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan Pesantren Al Anwar Karangmangu, Rembang.

Pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada beliau untuk mondok di Rushoifah atau Yaman. Namun beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP. Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

Pernikahan
Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang, beliau menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik sehubungan dengan pernikahan beliau. Diriwayatkan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangan beliau hingga kini. Beliau mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor, bahkan sangat sederhana.

Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berfikir ulang atas rencana pernikahan tersebut. Tentu maksud beliau agar mertuanya tidak kecewa di kemudian hari. Mertuanya hanya tersenyum dan menyatakan “klop” alias sami mawon kalih kulo.

Kesederhanaan beliau ini dibuktikan saat beliau berangkat ke pesantren Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya. Beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus regular alias bus biasa kelas ekonomi. Berangkat dari Pandangan menuju Surabaya, selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1101 seconds (0.1#10.140)