Umar bin Khattab: Si Kidal Penggembala Unta dengan Ayah yang Pemarah

Selasa, 02 Juni 2020 - 16:05 WIB
loading...
A A A
Dari semua suku Quraisy ketika Nabi diutus hanya tujuh belas orang yang pandai baca-tulis. Umar termasuk istimewa di antara teman-teman sebayanya. Orang-orang Arab masa itu, menurut Haekal, tidak menganggap pandai baca-tulis itu suatu keistimewaan, bahkan mereka malah menghindarinya dan menghindarkan anak-anaknya dari belajar.

Sesudah Umar beranjak remaja ia bekerja sebagai gembala unta ayahnya di Dajnan atau di tempat lain di pinggiran kota Makkah.

Menggembalakan unta sudah merupakan kebiasaan di kalangan anak-anak Quraisy betapapun tingkat kedudukan mereka.

Beranjak dari masa remaja ke masa pemuda sosok tubuh Umar tampak berkembang lebih cepat dibandingkan teman-teman sebayanya, lebih tinggi dan lebih besar. Ketika Auf bin Malik melihat orang banyak berdiri sama tinggi, hanya ada seorang yang tingginya jauh melebihi yang lain sehingga sangat mencolok. Bilamana ia menanyakan siapa orang itu, dijawab: Dia Umar bin Khattab.



Wajahnya putih agak kemerahan, tangannya kidal dengan kaki yang lebar sehingga jalannya cepat sekali. Sejak mudanya ia memang sudah mahir dalam berbagai olahraga: olahraga gulat dan menunggang kuda. Ketika ia sudah masuk Islam ada seorang gembala ditanya orang: Kau tahu si kidal itu sudah masuk Islam?

Gembala itu menjawab: “Yang beradu gulat di Pasar Ukaz?” Setelah dijawab bahwa dia, gembala itu memekik: “Oh, mungkin ia membawa kebaikan buat mereka, mungkin juga bencana”.

Penunggang kuda
Dari antara berbagai macam olahraga, naik kuda itulah yang paling disukainya sepanjang hidupnya. Selama dalam pemerintahannya pernah ia datang dengan memacu kudanya sehingga hampir menabrak orang. Ketika mereka melihatnya, mereka heran. “Apa yang membuat kalian heran?” tanyanya. “Aku merasa cukup segar lalu kukeluarkan seekor kuda dan kupacu,” jelasnya. ( )

Dalam perang, juga dia memegang peranan penting, yang diwarisinya dari pihak saudara-saudara ibunya Banu Makhzum. Ketika dalam sakitnya yang terakhir Abu Bakar sudah berkata: "Tatkala aku mengirim Khalid bin Walid ke Syam aku bermaksud mengirim Umar bin Khattab ke Irak. Ketika itu sudah kubentangkan kedua tanganku demi di jalan Allah."



Di samping kemahirannya dalam olahraga berkuda, adu gulat dan berbagai olahraga lain, apresiasinya terhadap puisi juga tinggi dan suka mengutipnya. la suka mendengarkan para penyair membaca puisi di Ukaz dan di tempat-tempat lain. Banyak syair yang sudah dihafalnya dan membacanya kembali mana-mana yang disenanginya, di samping kemampuannya berbicara panjang mengenai penyair-penyair al-Hutai'ah, Hassan bin Sabit, az-Zibriqan' dan yang lain.



Pengetahuannya yang cukup menonjol mengenai silsilah (genealogi) orang-orang Arab yang dipelajarinya dari ayahnya, sehingga ia menjadi orang paling terkemuka dalam bidang ini. Retorikanya baik sekali dan ia pandai berbicara. Karena semua itu ia sering pergi menjadi utusan Quraisy kepada kabilah-kabilah lain, dan dalam menghadapi perselisihan kepemimpinannya disukai seperti kepemimpinan ayahnya dulu.

Seperti pemuda-pemuda dan laki-laki lain di Makkah, Umar gemar sekali meminum khamar (minuman keras) sampai berlebihan. Bahkan barangkali melebihi yang lain. Juga waktu mudanya itu ia tergila-gila kepada gadis-gadis cantik, sehingga para penulis biografinya sepakat bahwa dia ahli minuman keras dan ahli mencumbu perempuan. Tetapi yang demikian ini memang sudah menjadi kebiasaan masyarakatnya. Penduduk Makkah memang sangat tergila-gila pada minuman keras.



Dalam suasana teler demikian mereka merasa sangat nikmat. Perempuan-perempuan hamba sahaya milik mereka menjadi sasaran kenikmatan mereka, juga mereka yang di luar hamba sahaya. Syair-syair mereka zaman jahiliah pandai sekali berbicara mengenai soal-soal semacam itu.

Sesudah datang Islam, yang terkenal dalam soal ini penyair Umar bin Abi Rabi'ah dan yang semacamnya. Puisi-puisi mereka biasa menggoda gadis-gadis Makkah dengan dorongan cinta berahi yang mereka warisi dari ibu-ibu dan bibi-bibi mereka. Dalam Islam hal ini dipandang perbuatan dosa, sedang sebelum itu dianggap soal biasa.



Pandangan orang mengenai masalah-masalah ekonomi dan sosial di Makkah dan di negeri-negeri Arab lainnya tidak banyak berbeda. Sudah biasa beraneka ragam pendapat mereka mengenai masalah-masalah tersebut, yang memang sudah mereka warisi dari nenek moyang, dan sudah menjadi pegangan hidup mereka. Dengan begitu mereka sudah cukup puas. Tetapi pertentangan yang masih timbul mengenai agama dan peribadatannya.

Soalnya, orang-orang Nasrani dan Yahudi yang tinggal bersama mereka tidak mengakui penyembahan berhala demikian, yang mereka anggap sebagai perbuatan batil. Setiap orang yang berpikiran sehat harus menjauhinya.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2927 seconds (0.1#10.140)