Guru Abu Hanifah Lintas Ulama, Tak Terbatas kepada Paham Tertentu

Kamis, 28 Oktober 2021 - 23:32 WIB
loading...
Guru Abu Hanifah Lintas Ulama, Tak Terbatas kepada Paham Tertentu
Abu Hanifah belajar kepada banyak kalangan di dalam Dunia Islam. Tak terbatas kepada suatu sekte tertentu. (Foto/Ilustrasi : Ist)
A A A
Numan bin Tsabit bin Zuta (80–150 H/699–767 M), atau lebih dikenal sebagai Abu Hanifah , atau sebagai “Imam Besar” (al-Imam al-Azam), adalah salah satu tokoh intelektual terpenting Islam pada masa awal-awal.

Abu Hanifah belajar kepada banyak kalangan di dalam Dunia Islam. Tak terbatas kepada suatu sekte tertentu. Waktu masih kecil, Abu Hanifah pernah bertemu dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW , utamanya adalah Anas bin Malik, yang diketahui memiliki umur paling panjang dibanding sahabat Nabi lainnya. Karena masih terlalu kecil, Abu Hanifah pada waktu itu belum dapat belajar kepada salah satu sahabat.



Selama 18 tahun Abu Hanifah berada di bawah bimbingan Hammad bin Abi Sulaiman. Namun pada kenyataannya, Hammad bukanlah satu-satunya guru bagi Abu Hanifah.

Muhammad Abu Zahra, seorang ulama Hanafi asal Mesir, pengajar teologi di Universitas al-Azhar, dan juga professor Hukum Islam di Universitas Kairo, menyebut Abu Hanifah juga belajar dari ulama Syiah. "Abu Hanifah semasa hidupnya belajar di bawah orang-orang yang sangat beragam, baik itu dari Sunni maupun Syiah," katanya.

Abu Hanifah dilaporkan telah belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka Syiah, seperti Zaid bin Ali (wafat 122 H / 740 M), cucu dari Husein bin Ali, putra dari Ali Zain al-Abidin (Imam ke-4 Syiah), dan peletak pondasi mazhab Zaidiyah.

Beliau juga belajar dari Muhammad al-Baqir (wafat 114 H / 732 M), Imam ke-5 Syiah; dan Jafar as-Sadiq (wafat 148 H / 765 M), Imam ke-6 Syiah.

Dari mereka semua, Abu Hanifah dilaporkan telah dianggap memenuhi syarat untuk dapat melakukan ijtihad (penalaran hukum secara independen).

Dan memang, menurut Abu Zahra, Abu Hanifah secara mencolok dapat ditemukan di pusat-pusat lingkaran studi Syiah di Kufah.

Dia dilaporkan belajar di lingkaran studi Kaysaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ismailiyah. Di antara semuanya, Abu Hanifah dilaporkan paling menghormati studi hukum Islam yang diajarkan oleh Zaid bin Ali.

Wilferd Madelung, penulis buku The Succession to Muhammad, menyimpulkan, bahwa terdapat banyak kesamaan antara fikih Zaidiyah dan Hanafiyah. Meski demikian, Abu Zahra justru berpendapat, lebih banyak pada fikih Maliki-lah kesamaannya dengan Zaidiyah.

Di luar persoalan hukum Islam, Abu Hanifah memiliki simpati yang besar terhadap gerakan politik Alawi, yakni sebuah gerakan politik yang memiliki pemikiran bahwa yang paling berhak untuk memimpin umat Islam adalah para keturunan Ali bin Abi Thalib. Seluruh sekte di dalam Syiah (Kaysaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ismailiyah) bisa masuk ke dalam kategori ini.



Abu Hanifah dilaporkan sangat menghormati para Imam Syiah Imamiyah, yakni Muhammad al-Baqir dan Jafar as-Sadiq. Namun, seperti yang diamati oleh Abu Zahra, meskipun Abu Hanifah berpihak kepada gerakan politik Alawi di tengah suasana di Kufah yang sangat Syiah, dia tidak merasa dirinya terikat untuk harus mengikuti pendapat hukum para Imam Syiah. Abu Hanifah memandang bahwa pendapat hukum dari para Imam Syiah hanya sebagai suatu produk ijtihad.

Meski demikian, lebih dari segalanya, sikap Abu Hanifah terhadap keluarga Nabi Muhammad, para sahabat, dan pandangan atas legitimasi politik, dia paling dekat terhadap orang-orang Zaidiyah. Dan karena hal inilah kelak dia akan terseret bersama-sama dengan pemberontakan yang diusung oleh Zaid bin Ali terhadap Dinasti Umayyah.

Politik Tangan Besi
Pada masa Abu Hanifah hidup, luka-luka yang dialami oleh Muslim belum cukup pulih setelah terjadinya peristiwa Karbala, yakni dibunuhnya Husein bin Ali, cucu dari Nabi Muhammad SAW, oleh orang-orang dari Bani Umayyah. Politik tangan besi kemudian diadopsi oleh gubernur-gubernur Umayyah, yakni Hajjaj dan Ibnu Ziyad, di Hijaz dan Irak untuk membungkam para kabilah Arab.

Kemudian, karena Bani Umayyah mengakuisisi kekayaan negara dan menggunakannya untuk kepentingan golongan mereka sendiri, masyarakat menjadi memandang negatif kepada mereka. Simpati kepada Bani Umayyah secara perlahan mulai menguap. Terlebih, politik tiran Hajjaj dan Ibnu Ziyad juga terus dilakukan terhadap Bani Hasyim.

Di tengah situasi seperti ini, beberapa keluarga Bani Hasyim mulai menyusun rencana untuk mengambil alih pemerintahan dari Bani Umayyah, yakni Alawi dan Abbasi.

Dua keluarga ini menyusun rencana dalam skala besar untuk melakukan revolusi penggulingan Bani Umayyah. Dari Alawi, Zaid bin Ali, yang merupakan guru dari Abu Hanifah, tampil terdepan untuk memimpin revolusi.

Zaid memperoleh dukungan yang sangat besar di Kufah, sebanyak 15.000 orang berbaiat kepadanya. Pada masa-masa inilah kemudian Abu Hanifah menyatakan dukungannya terhadap Zaid, dia memberikan dukungan moral dan finansial untuk gerakan ini. Tidak berhenti di sana, Abu Hanifah yang sudah menjadi tokoh besar bahkan mengeluarkan fatwa untuk mendukung perjuangan Zaid.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2532 seconds (0.1#10.140)