Masjid Al Osmani, eksistensi legendaris yang masih terawat

Jum'at, 12 Juli 2013 - 13:34 WIB
Masjid Al Osmani, eksistensi legendaris yang masih terawat
Masjid Al Osmani, eksistensi legendaris yang masih terawat
A A A
Sebagian besar wisatawan mungkin hanya mengenal Masjid Raya yang terletak di Jalan Sisingamangaraja sebagai masjid peninggalan sejarah tertua di Kota Medan. Namun, jangan sampai salah menduga.

Sebab, selain Masjid Raya, masih ada masjid peninggalan sejarah tertua yaitu Masjid Raya Labuhan Deli atau juga dikenal dengan nama Masjid Al Osmani. Masjid Raya Al Osmani ini terletak di kawasan Jalan Yos Sudarso KM 17.5 Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Medan. Kemegahan masjid peninggalan sejarah Kesultanan Deli ini begitu terasa dengan arsitektur bangunannya yang khas, serta warna kuning yang mencolok.

Tak hanya sebagai bangunan peninggalan sejarah saja, masjid ini juga masih kerap dijadikan tempat
beribadah bagi masyarakat sekitar ataupun siapa saja yang ingin beribadah di masjid ini. Camat Medan Labuhan Zain Noval mengungkapkan, hingga sampai saat ini Masjid Raya Al Osmani masih menjadi tempat ibadah bagi masyarakat. Bangunan masjid pun selalu dirawat dan dilakukan peremajaan setiap tahunnya.

“Sampai sekarang Masjid Raya tertua di Medan yang terletak di Kecamatan Medan Labuhan ini masih tetap digunakan bagi masyarakat. Bangunan serta corak warnanya pun selalu kita jaga persis seperti bangunan awalnya,” kata Zain. Masjid yang pada awalnya diakui terbuat oleh kayu-kayu pilihan pada zaman dulu ini berdiri pada masa kejayaan Sultan Deli VII Osman Perkasa Alam di Kesultanan Deli.

Masjid tertua yang diberi nama Masjid Al Osmani ini dibangun pada 1854. Hal ini pun tertoreh di prasasti berwarna hitam yang terletak di bagian depan dinding masjid. “Masjid Al Osmani memang diakui sebagai masjid tertua di Kota Medan, ini juga masjid peninggalan Kesultanan Deli Didirikan oleh Sultan Deli VII Osman Perkasa Alam di tahun 1854,” tutur antropolog Universitas Sumatera Utara Agustrisno, MSP.

Lebih lanjut Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP-USU) ini mengatakan, didirikannya masjid sebagai salah satu langkah wujud eksistensi suatu kerajaan pada zaman dulu. Kesultanan Deli yang kental dengan nuansa Islami kerap mendirikan simbol-simbol keislamannya lewat bangunan-bangunan masjid yang megah.

Selain dijadikan sebagai tempat beribadah, masjid juga sebagai tempat penyebaran dakwah serta
penyampaian informasi dari kerajaan. “Kesultanan Deli yang kental nuansa Islamnya pada zaman dulu kerap mendirikan simbol-simbol kerajaannya, salah satunya dengan mendirikan masjid yang megah. Ini sebagai tempat peribadatan, dulu juga digunakan sebagai tempat berdakwah dan penyebaran informasi dari kerajaan ke rakyatnya,” tutur antropolog kelahiran Kota Medan ini.

Zain menambahkan, saat bulan puasa seperti sekarang, masyarakat yang tarawih di masjid tersebut juga selalu ramai. Arsitekturnya merupakan perpaduan arsitektur bangunan Melayu, Timur Tengah, India, China, dan Spanyol ini dapat ditempuh 18 kilometer dari pusat Kota Medan, atau sekitar setengah jam bila ditempuh dengan sepeda motor.

Masjid ini disebutkan masyarakat sekitar sebagai masjid legendaris. Ukiran masjid ini sama persis
dijaga keasliannya seperti sejak keberadaannya zaman dulu kala. “Masjid ini kami sebut legendaris,
karena warna kuningnya mencolok dan kesan zaman dulunya masih sangat terasa dari masih banyaknya ukiran-ukiran khas Melayu di dinding-dinding masjid,” ujar Sahyan, 48, warga Medan Labuhan yang rumahnya tak jauh dari keberadaan masjid.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3212 seconds (0.1#10.140)