Kisah Prof Ali S Asani: Bukan Sekadar Jihad di Harvard
loading...
A
A
A
"Di mana lagi kalau bukan di Amerika, Anda dapat menemukan seorang imam masjid penganut Sunni, belajar agama Islam di sebuah universitas Barat --yang sekular-- dan diajar oleh penganut Syi'ah?"
Begitu Steven Barbosa mengawali tulisannya "Allah di Harvard" yang berkisah tentang sosok Profesor Ali S. Asani. Tulisan itu dihimpun dalam bukunya yang berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" (Mizan, 1995). Sebelum itu, Barbosa mengutip ayat al-Quran: "Kemudian kamu Kami jadikan pengganti di bumi sesudah mereka, untuk Kami buktikan bagaimana kamu bekerja." ( QS 10 :14)
Steven Barbosa menjelaskan Ali S. Asani adalah Profesor di Harvard University , mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menurut perkiraannya, hanya enam atau tujuh profesor Muslim yang mengajar Islam di jurusan agama universitas-universitas terkemuka.
Meski nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, Asani dilahirkan di Kenya (1954). Pada 1973 dia masuk ke Amerika sebagai seorang imigran.
Berikut penuturan Prof. Ali S. Asani dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" tersebut.
Saya mempunyai seorang mahasiswa pasca sarjana yang sedang melakukan riset literatur-literatur pasca-kolonialisme di jurusan sastra Inggris. Suatu ketika dia datang ke kantor saya untuk meminta bantuan menterjemahkan naskah-naskah orientalisme.
Sesudahnya saya ditraktir makan malam. Kami bicara banyak hal dan pembicaraan kami benar-benar menarik. Di tengah-tengah obrolan ketika makan malam itu tiba-tiba dia berkata, "Saya harap Anda tak tersinggung dengan pertanyaan saya yang satu ini."
"Pertanyaan apa itu?", tanya saya penasaran.
"Bagaimana mungkin seorang intelektual seperti Anda, yang tentu amat rasional dan cerdas, memeluk sebuah agama yang menganjurkan jihad , perang suci, dan terorisme ?"
Kalau Anda buka kamus bahasa Arab, Anda tak akan menemukan kata-kata "perang" maupun "suci " di bawah definisi jihad. Istilah itu sendiri terbentuk dari konsonan 'j', 'h', dan 'd'. Dan kalau Anda tengok ke akar katanya, jihad berarti "bekerja keras" atau "berjuang."
Jadi kalau Anda berusaha keras untuk bangun dari tempat tidur di subuh hari, itu adalah jihad. Kalau Anda berjuang keras menerobos badai salju untuk pergi kerja, itu juga merupakan jihad. Jadi, sesungguhnya istilah jihad mempunyai pengertian gramatikal khusus, dan dalam konteks keagamaan mempunyai pengertian tertentu.
Sayangnya, sering kali umat Islam menggunakannya secara salah. Mereka pakai istilah jihad secara gampang dikaitkan dengan kepentingan politik. Akibatnya sebuah konsep relijius yang sangat indah telah disalahartikan.
Beberapa tahun terakhir ini, konsep jihad telah diasosiasikan dengan agama Islam secara negatif. Orang menyebut Perang Teluk berhubungan dengan Islam. Padahal tak ada kaitan apapun antara Perang Teluk dengan agama Islam. Perang Teluk bukan disebabkan persoalan agama, tetapi persoalan politik. Namun semua orang tetap memandangnya seolah-olah ada kepentingan agama di dalamnya. Mereka serta merta mengira bahwa Islamlah yang menyebabkan semua itu.
Pemahaman semacam itu bukan saja sangat naif, tetapi juga amat mencemarkan. Pemahaman itu menggambarkan seolah-olah Muslim tak sama dengan umat manusia lain, yang juga dimotivasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan masalah-masalah sosial. Banyak orang mengira, satu-satunya yang mendorong tindakan mereka adalah agama.
Sebenarnya analisis itu juga bisa dibalik. Tengoklah Hitler yang mengaku dirinya Kristen yang taat. Dia pikir, yang dikerjakannya adalah perbuatan yang dianjurkan oleh agama Kristen. Padahal yang dilakukan adalah perbuatan keji. Memang ada usaha untuk menjaga jarak antara perbuatannya dengan ajaran Kristen, karena tentu saja yang dilakukan Hitler lama sekali bukan tindakan yang dapat diterima oleh nilai-nilai Kristen.
Pada suatu masa, bangsa-bangsa Arab pernah menaklukkan Afrika Utara hingga Spanyol. Mereka memerintah hingga tujuh abad lamanya. Belakangan, Turki muncul dan menjadi ancaman bagi Eropa Timur. Jadi, saya pikir Eropa selalu sadar akan adanya sejumlah kelompok Muslim yang datang dari kiri kanannya. Dan tentu saja, bangsa-bangsa Muslim itu melakukan ekspansi tak lebih karena kepentingan pertumbuhan yang normal saja bagi sebuah kerajaan.
Patut dicatat bahwa penaklukan yang dilakukan oleh negeri-negeri Arab sama sekali bukan perang untuk memaksa rakyat untuk pindah agama, melainkan karena kepentingan politik. Namun banyak orang yang mengaitkannya dengan Islam, seraya menyebut-nyebut istilah "Tentara Islam".
Mereka pikir satu-satunya motivasi orang-orang Arab dan Turki ketika itu adalah agama, tanpa menyadari bahwa mereka juga sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya, yang punya kepentingan politik. Mereka juga ingin kekayaan, sebagaimana kerajaan-kerajaan Eropa menginginkannya. Kalau ada peluang untuk ekspansi, mereka akan melakukannya.
Begitu Steven Barbosa mengawali tulisannya "Allah di Harvard" yang berkisah tentang sosok Profesor Ali S. Asani. Tulisan itu dihimpun dalam bukunya yang berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" (Mizan, 1995). Sebelum itu, Barbosa mengutip ayat al-Quran: "Kemudian kamu Kami jadikan pengganti di bumi sesudah mereka, untuk Kami buktikan bagaimana kamu bekerja." ( QS 10 :14)
Steven Barbosa menjelaskan Ali S. Asani adalah Profesor di Harvard University , mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menurut perkiraannya, hanya enam atau tujuh profesor Muslim yang mengajar Islam di jurusan agama universitas-universitas terkemuka.
Meski nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, Asani dilahirkan di Kenya (1954). Pada 1973 dia masuk ke Amerika sebagai seorang imigran.
Berikut penuturan Prof. Ali S. Asani dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" tersebut.
Saya mempunyai seorang mahasiswa pasca sarjana yang sedang melakukan riset literatur-literatur pasca-kolonialisme di jurusan sastra Inggris. Suatu ketika dia datang ke kantor saya untuk meminta bantuan menterjemahkan naskah-naskah orientalisme.
Sesudahnya saya ditraktir makan malam. Kami bicara banyak hal dan pembicaraan kami benar-benar menarik. Di tengah-tengah obrolan ketika makan malam itu tiba-tiba dia berkata, "Saya harap Anda tak tersinggung dengan pertanyaan saya yang satu ini."
"Pertanyaan apa itu?", tanya saya penasaran.
"Bagaimana mungkin seorang intelektual seperti Anda, yang tentu amat rasional dan cerdas, memeluk sebuah agama yang menganjurkan jihad , perang suci, dan terorisme ?"
Kalau Anda buka kamus bahasa Arab, Anda tak akan menemukan kata-kata "perang" maupun "suci " di bawah definisi jihad. Istilah itu sendiri terbentuk dari konsonan 'j', 'h', dan 'd'. Dan kalau Anda tengok ke akar katanya, jihad berarti "bekerja keras" atau "berjuang."
Jadi kalau Anda berusaha keras untuk bangun dari tempat tidur di subuh hari, itu adalah jihad. Kalau Anda berjuang keras menerobos badai salju untuk pergi kerja, itu juga merupakan jihad. Jadi, sesungguhnya istilah jihad mempunyai pengertian gramatikal khusus, dan dalam konteks keagamaan mempunyai pengertian tertentu.
Sayangnya, sering kali umat Islam menggunakannya secara salah. Mereka pakai istilah jihad secara gampang dikaitkan dengan kepentingan politik. Akibatnya sebuah konsep relijius yang sangat indah telah disalahartikan.
Beberapa tahun terakhir ini, konsep jihad telah diasosiasikan dengan agama Islam secara negatif. Orang menyebut Perang Teluk berhubungan dengan Islam. Padahal tak ada kaitan apapun antara Perang Teluk dengan agama Islam. Perang Teluk bukan disebabkan persoalan agama, tetapi persoalan politik. Namun semua orang tetap memandangnya seolah-olah ada kepentingan agama di dalamnya. Mereka serta merta mengira bahwa Islamlah yang menyebabkan semua itu.
Pemahaman semacam itu bukan saja sangat naif, tetapi juga amat mencemarkan. Pemahaman itu menggambarkan seolah-olah Muslim tak sama dengan umat manusia lain, yang juga dimotivasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan masalah-masalah sosial. Banyak orang mengira, satu-satunya yang mendorong tindakan mereka adalah agama.
Sebenarnya analisis itu juga bisa dibalik. Tengoklah Hitler yang mengaku dirinya Kristen yang taat. Dia pikir, yang dikerjakannya adalah perbuatan yang dianjurkan oleh agama Kristen. Padahal yang dilakukan adalah perbuatan keji. Memang ada usaha untuk menjaga jarak antara perbuatannya dengan ajaran Kristen, karena tentu saja yang dilakukan Hitler lama sekali bukan tindakan yang dapat diterima oleh nilai-nilai Kristen.
Pada suatu masa, bangsa-bangsa Arab pernah menaklukkan Afrika Utara hingga Spanyol. Mereka memerintah hingga tujuh abad lamanya. Belakangan, Turki muncul dan menjadi ancaman bagi Eropa Timur. Jadi, saya pikir Eropa selalu sadar akan adanya sejumlah kelompok Muslim yang datang dari kiri kanannya. Dan tentu saja, bangsa-bangsa Muslim itu melakukan ekspansi tak lebih karena kepentingan pertumbuhan yang normal saja bagi sebuah kerajaan.
Patut dicatat bahwa penaklukan yang dilakukan oleh negeri-negeri Arab sama sekali bukan perang untuk memaksa rakyat untuk pindah agama, melainkan karena kepentingan politik. Namun banyak orang yang mengaitkannya dengan Islam, seraya menyebut-nyebut istilah "Tentara Islam".
Mereka pikir satu-satunya motivasi orang-orang Arab dan Turki ketika itu adalah agama, tanpa menyadari bahwa mereka juga sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya, yang punya kepentingan politik. Mereka juga ingin kekayaan, sebagaimana kerajaan-kerajaan Eropa menginginkannya. Kalau ada peluang untuk ekspansi, mereka akan melakukannya.