Kelola emosi di bulan suci
A
A
A
RASANYA sulit mengelola emosi manakala melihat kelakuan anak yang tak bisa diatur. Belum lagi menghadapi si bungsu yang juga menguras habis kesabaran. Padahal, bukankah berpuasa dituntut untuk menahan segala hawa nafsu?
Siang hari itu Mirna dibuat pusing dengan ulah putranya, Rakha, yang berusia delapan tahun. Dia uring-uringan minta dibelikan game terbaru dan menolak mengganti seragam sekolahnya sebelum keinginannya tercapai. Mirna sendiri sudah coba membujuk, namun tak membuahkan hasil. Pada waktu yang sama, Leticia rewel, tidak mau makan dan hanya ingin bermain. Habis sudah kesabaran ibu rumah tangga ini. “Kesal sekali saya, mana saya belum masak untuk berbuka. Mau marah, tapi lagi puasa, jadi serba salah,” ujarnya.
Ilustrasi semacam ini bisa jadi sedikit banyak menggambarkan Anda. Pada bulan biasa saja tampaknya sudah repot mengelola emosi saat menghadapi anak, apalagi pada bulan puasa. Sang kakak bertingkah, si adik pun tak mau kalahnya berperangai. Menghadapi kejadian seperti ini, Dra Ratih Andjayani Ibrahim MM menekankan pentingnya mengelola emosi secara tepat.
“Berikan Anda waktu sejenak atau time out untuk keluar dari masalah pada saat itu. Kasih anak kepada pengasuh, ayahnya, orangtua, atau mertua, sementara Anda mengatur emosi,” kata psikolog ini dalam kesempatan peluncuran Modul Raising A Life-Ready Generation, Dancow Parenting Center di Hotel Kempinski beberapa waktu silam.
Dengan cara ini, Anda justru tidak memperlihatkan kemarahan di depan anak. Sebab, jika sudah dihinggapi emosi, orangtua bisa ringan tangan kepada sang anak ataupun berteriak di depannya. Hal ini justru tidak baik. Sebab, anak di samping merasa takut, juga berpeluang meniru kebiasaan buruk tersebut.
Seperti dikatakan Ratih, pada usia emas atau golden period, anak layaknya busa yang mempunyai kemampuan menyerap tinggi. Dia akan bereksplorasi dan mengimitasi orang terdekatnya. Itulah pentingnya bagi orangtua untuk menahan amarah ketika berhadapan dengan anak.
Nah, dengan mengelola emosi, Anda sekaligus menjadi teladan bagi anak. Anak bisa melihat orangtua tetap tenang dan tidak merusak atau melempar barang misalnya. Idealnya bukan hanya orangtua yang harus menjaga emosi.
Orang di sekitar anak, termasuk pengasuh pun, harus menunjukkan contoh yang baik kepada anak. Jangan sampai kita sudah berusaha menjadi teladan sebaik mungkin, di sisi lain anak mendapat pengaruh buruk dari pengasuh. Maka itu, pada kesempatan yang sama Dr Soedjatmiko SpA(K) menerangkan perlunya memiliki pengasuh yang baik secara psikologis.
“Pengasuh harus bisa menjadi parent karena apa pun perilakunya bakal ditiru oleh anak. Pengasuh harus dipastikan memiliki sikap yang baik. Tidak berkata kasar dan memiliki perilaku yang baik dan sopan,” kata Soedjatmiko.
Dilanjutkannya, seorang pengasuh juga sebaiknya memiliki kemampuan parenting yang baik. Dia harus bisa memberikan stimulasi-stimulasi kepada anak. “Jika pengasuh tidak aktif, maka anak pun bisa jadi lamban terstimulasi, perkembangannya pun bisa jadi terhambat. Jadi, dia harus punya kemampuan merangsang potensi-potensi anak,” tambahnya. Pasalnya, mereka yang akan banyak menghabiskan waktu bersama anak, apalagi bagi ibu yang juga bekerja.
Yang tak kalah penting, memilih pengasuh juga harus memperhatikan kesehatan fisik. Bebas dari penyakit menular, mulai dari kulit, saluran napas, dan gangguan pencernaan. Paling sering ditemukan adalah pengasuh dengan penyakit infeksi saluran napas atau ISPA yang bisa ditularkan kepada bayi.
“Yang kita takutkan, salah satunya TBC. Karena jika dia TBC, dengan batuk, ngomong, ataupun dengan bersin, bisa menular. Maka idealnya, asisten rumah tangga, pengasuh, atau baby sitter harus diperiksa kesehatannya dulu. Takutnya ada penyakit yang bisa ditularkan kepada bayi dan anak-anak kita lainnya,” tutup Soedjatmiko.
Siang hari itu Mirna dibuat pusing dengan ulah putranya, Rakha, yang berusia delapan tahun. Dia uring-uringan minta dibelikan game terbaru dan menolak mengganti seragam sekolahnya sebelum keinginannya tercapai. Mirna sendiri sudah coba membujuk, namun tak membuahkan hasil. Pada waktu yang sama, Leticia rewel, tidak mau makan dan hanya ingin bermain. Habis sudah kesabaran ibu rumah tangga ini. “Kesal sekali saya, mana saya belum masak untuk berbuka. Mau marah, tapi lagi puasa, jadi serba salah,” ujarnya.
Ilustrasi semacam ini bisa jadi sedikit banyak menggambarkan Anda. Pada bulan biasa saja tampaknya sudah repot mengelola emosi saat menghadapi anak, apalagi pada bulan puasa. Sang kakak bertingkah, si adik pun tak mau kalahnya berperangai. Menghadapi kejadian seperti ini, Dra Ratih Andjayani Ibrahim MM menekankan pentingnya mengelola emosi secara tepat.
“Berikan Anda waktu sejenak atau time out untuk keluar dari masalah pada saat itu. Kasih anak kepada pengasuh, ayahnya, orangtua, atau mertua, sementara Anda mengatur emosi,” kata psikolog ini dalam kesempatan peluncuran Modul Raising A Life-Ready Generation, Dancow Parenting Center di Hotel Kempinski beberapa waktu silam.
Dengan cara ini, Anda justru tidak memperlihatkan kemarahan di depan anak. Sebab, jika sudah dihinggapi emosi, orangtua bisa ringan tangan kepada sang anak ataupun berteriak di depannya. Hal ini justru tidak baik. Sebab, anak di samping merasa takut, juga berpeluang meniru kebiasaan buruk tersebut.
Seperti dikatakan Ratih, pada usia emas atau golden period, anak layaknya busa yang mempunyai kemampuan menyerap tinggi. Dia akan bereksplorasi dan mengimitasi orang terdekatnya. Itulah pentingnya bagi orangtua untuk menahan amarah ketika berhadapan dengan anak.
Nah, dengan mengelola emosi, Anda sekaligus menjadi teladan bagi anak. Anak bisa melihat orangtua tetap tenang dan tidak merusak atau melempar barang misalnya. Idealnya bukan hanya orangtua yang harus menjaga emosi.
Orang di sekitar anak, termasuk pengasuh pun, harus menunjukkan contoh yang baik kepada anak. Jangan sampai kita sudah berusaha menjadi teladan sebaik mungkin, di sisi lain anak mendapat pengaruh buruk dari pengasuh. Maka itu, pada kesempatan yang sama Dr Soedjatmiko SpA(K) menerangkan perlunya memiliki pengasuh yang baik secara psikologis.
“Pengasuh harus bisa menjadi parent karena apa pun perilakunya bakal ditiru oleh anak. Pengasuh harus dipastikan memiliki sikap yang baik. Tidak berkata kasar dan memiliki perilaku yang baik dan sopan,” kata Soedjatmiko.
Dilanjutkannya, seorang pengasuh juga sebaiknya memiliki kemampuan parenting yang baik. Dia harus bisa memberikan stimulasi-stimulasi kepada anak. “Jika pengasuh tidak aktif, maka anak pun bisa jadi lamban terstimulasi, perkembangannya pun bisa jadi terhambat. Jadi, dia harus punya kemampuan merangsang potensi-potensi anak,” tambahnya. Pasalnya, mereka yang akan banyak menghabiskan waktu bersama anak, apalagi bagi ibu yang juga bekerja.
Yang tak kalah penting, memilih pengasuh juga harus memperhatikan kesehatan fisik. Bebas dari penyakit menular, mulai dari kulit, saluran napas, dan gangguan pencernaan. Paling sering ditemukan adalah pengasuh dengan penyakit infeksi saluran napas atau ISPA yang bisa ditularkan kepada bayi.
“Yang kita takutkan, salah satunya TBC. Karena jika dia TBC, dengan batuk, ngomong, ataupun dengan bersin, bisa menular. Maka idealnya, asisten rumah tangga, pengasuh, atau baby sitter harus diperiksa kesehatannya dulu. Takutnya ada penyakit yang bisa ditularkan kepada bayi dan anak-anak kita lainnya,” tutup Soedjatmiko.
(hyk)