Melayani suami
A
A
A
Tanya :
Seorang teman bertanya bahwa suaminya kerja malam, pulangnya pagi. Biasanya hubungan seksual bisa dilakukan pada siang hari. Tapi pada bulan Ramadan sang suami tetap mengajaknya melakukan hubungan, terpaksa isteri melayani demi mentaati suami yang juga harus ditaati. Bagaimana ini ustadz?
Jawab :
Isteri memang harus mentaati suami, tapi ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tentu lebih tinggi. Berpuasa Ramadan adalah bukti ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena tidak boleh melayani suami untuk hubungan seksual saat siang hari pada bulan Ramadan.
Bila bersenggama dilakukan pada siang hari, maka hal ini tidak hanya membatalkan puasa, tapi juga ada sanksi yang harus dijalankan, dalam suatu hadits dijelaskan:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ, قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟. قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ.قَالَ: هَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. ثُمَّ جَلَسَ فَأْتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ. قَالَ: تَصَدَّ بِهَذَا. قَالَ: فَهَلْ عَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَوَاللهِ مَا بَيْنَ لاَ بَتَيْهَا أَهْلَ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ وَ قَالَ: إِذْهَبْ
فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, katanya: “celaka saya yang Rasulullah”. Nabi bertanya: “Apakah yang mencelakakan engkau?”. Jawab laki-laki itu: “Saya telah bersenggama dengan isteriku pada siang hari Ramadan, Rasulullah SAW bersabda: “Sanggupkah engkau memerdekakan hamba sahaya?”. Jawab laki-laki itu: “Tidak”.
Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kuatkah engkau berpuasa dua bulan beruturut-turut?”. Jawab laki-laki itu: “Tidak”. Kata Rasulullah: “adakah engkau mempunyai makanan guna memberi makan enam puluh orang miskin?”. Jawab laki-laki itu: “Tidak”. Kemudian laki-laki itu duduk.
Maka diberikan orang kepada Nabi SAW sebakul besar berisi kurma, Rasulullah SAW berkata: “Sedekahkanlah kurma ini”. Kata laki-laki itu: “Kepada siapa? Kepada orang yang lebih miskin dari saya?. Demi Allah, tidak ada penduduk kampung ini yang lebih membutuhkan kepada makanan selain dari kami sekeluarga”. Nabi SAW tertawa sehingga terlihat gigi taringnya dan berkata: “Pulanglah, berikanlah kurma itu kepada ahli rumahmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa suami tidak boleh mengajak melakukan hubungan seksual dengan isterinya pada siang hari Ramadan dan bila isteri tidak mau melayani, jangan dianggap isteri tidak taat pada suami, tapi berbanggalah kepadanya karena dia lebih taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Demikian jawaban singkat pengasuh.
Dosa
Ketika manusia melakukan suatu perbuatan, maka ada nilai pahala atau dosa yang akan diperolehnya. Bila ia melakukan sesuatu yang diperintah dan dibenarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka seseorang akan mendapatkan pahala, sedang bila melakukan yang sebaliknya, maka ia mendapatkan nilai dosa. Karena itu dosa didefinisikan sebagai melakukan sesuatu yang dilarang atau melakukan sesuatu yang melanggar syariat Islam, demikian yang dikutip dari buku Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1 halaman 281.
Di Dalam Alqur’an, seperti yang penulis kemukakan dalam buku Kunci Ampunan Dosa, ada beberapa istilah untuk menyebut dosa. Pertama, junah yang berasal dari kata janaha yang berarti condong, cenderung dan berpihak. Kata janah berarti sesuatu yang berada di samping. Kalau diterapkan pada burung berarti sayap; diterapkan pada manusia berarti tangan, ketiak, lambung, lengan; diterapkan pada ikan berarti sirip.
Bisa juga diterapkan pada kapal, lembah, dan sebagainya. Junah berarti penyimpangan dari kebenaran, dosa, bahkan semua dosa dapat dimasukkan di dalam pengertian junah. Diartikan demikian karena dosa cenderung membuat manusia menyeleweng dari kebenaran (lihat Ensiklopedia Alqur’an, jilid I, hal 402-403). Dosa dengan kata junah disebutkan dalam firman Allah swt: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhanmu (QS Al Baqarah [2]:198).
Kedua, dzanb yang berasal dari kata dzanaba yang pada mulanya berarti akhir dari sesuatu atau sesuatu yang ikut. Ekor binatang disebut dengan dzanab, karena ekor merupakan akhir dari keseluruhan badannya dan selalu ikut kemana saja binatang itu pergi. Orang yang mengikuti orang lain disebut dengan al madzanib karena ia datang terakhir dan mengikuti teman-temannya. Kata itu juga berarti saluran air, karena airnya mengalir mengikuti saluran tersebut.
Agaknya dari sini pulalah istilah dosa disebut dengan dzanb karena dosa itu merupakan akibat yang timbul dari suatu perbuatan yang melanggar ajaran agama dan akan mengikuti/menyertai pelakunya hingga hari kiamat. Ar Raghib Al Asfahani mendefinisikan dosa dengan ”setiap perbuatan yang mengantar pelakunya menderita karena akibatnya”. ((lihat Ensiklopedia Al-Qur’an, jilid I, hal 185-186).
Dosa dengan kata dzanb disebutkan dalam firman Allah SWT: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (QS Ali Imran [3]:135).
Ketiga, dosa dengan kata itsm yang pada mulanya bermakna berbuat salah atau perbuatan yang tidak halal. Suatu perbuatan disebut dosa apabila melakukan kesalahan dari ketentuan hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (QS Al Baqarah [2]:188)
Di dalam ayat lain Allah SWT menyebutkan akibat yang akan menimpa diri pelaku dosa hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata (QS An Nisa [4]:111-112).
Keempat, wizr, Adapun dosa dengan kata wizr bermakna berat. Hal ini karena dosa adalah sesuatu yang berat untuk dipikul oleh manusia kelak dikemudian hari, demikian M. Quraish Shihab dalam tafsirnya. Bahkan jangankan di akhirat kelak, di dunia ini saja dosa sudah terasa berat untuk dipikul oleh para pelakunya. Kata wizr untuk menyebut dosa terdapat dalam firman Allah SWT: Katakanlah: “apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhan mulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan (QS Al An’am [6]:164).
Dengan demkian, suatu perbuatan yang melanggar aqidah, syariat dan akhlak Islam akan mendapatkan nilai dosa, baik dalam kaitan dengan hubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama makhluk-Nya, yakni manusia, binatang dan lingkungan hidup.
Seorang teman bertanya bahwa suaminya kerja malam, pulangnya pagi. Biasanya hubungan seksual bisa dilakukan pada siang hari. Tapi pada bulan Ramadan sang suami tetap mengajaknya melakukan hubungan, terpaksa isteri melayani demi mentaati suami yang juga harus ditaati. Bagaimana ini ustadz?
Jawab :
Isteri memang harus mentaati suami, tapi ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tentu lebih tinggi. Berpuasa Ramadan adalah bukti ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena tidak boleh melayani suami untuk hubungan seksual saat siang hari pada bulan Ramadan.
Bila bersenggama dilakukan pada siang hari, maka hal ini tidak hanya membatalkan puasa, tapi juga ada sanksi yang harus dijalankan, dalam suatu hadits dijelaskan:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ, قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟. قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ.قَالَ: هَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. ثُمَّ جَلَسَ فَأْتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ. قَالَ: تَصَدَّ بِهَذَا. قَالَ: فَهَلْ عَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَوَاللهِ مَا بَيْنَ لاَ بَتَيْهَا أَهْلَ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ وَ قَالَ: إِذْهَبْ
فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, katanya: “celaka saya yang Rasulullah”. Nabi bertanya: “Apakah yang mencelakakan engkau?”. Jawab laki-laki itu: “Saya telah bersenggama dengan isteriku pada siang hari Ramadan, Rasulullah SAW bersabda: “Sanggupkah engkau memerdekakan hamba sahaya?”. Jawab laki-laki itu: “Tidak”.
Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kuatkah engkau berpuasa dua bulan beruturut-turut?”. Jawab laki-laki itu: “Tidak”. Kata Rasulullah: “adakah engkau mempunyai makanan guna memberi makan enam puluh orang miskin?”. Jawab laki-laki itu: “Tidak”. Kemudian laki-laki itu duduk.
Maka diberikan orang kepada Nabi SAW sebakul besar berisi kurma, Rasulullah SAW berkata: “Sedekahkanlah kurma ini”. Kata laki-laki itu: “Kepada siapa? Kepada orang yang lebih miskin dari saya?. Demi Allah, tidak ada penduduk kampung ini yang lebih membutuhkan kepada makanan selain dari kami sekeluarga”. Nabi SAW tertawa sehingga terlihat gigi taringnya dan berkata: “Pulanglah, berikanlah kurma itu kepada ahli rumahmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa suami tidak boleh mengajak melakukan hubungan seksual dengan isterinya pada siang hari Ramadan dan bila isteri tidak mau melayani, jangan dianggap isteri tidak taat pada suami, tapi berbanggalah kepadanya karena dia lebih taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Demikian jawaban singkat pengasuh.
Dosa
Ketika manusia melakukan suatu perbuatan, maka ada nilai pahala atau dosa yang akan diperolehnya. Bila ia melakukan sesuatu yang diperintah dan dibenarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka seseorang akan mendapatkan pahala, sedang bila melakukan yang sebaliknya, maka ia mendapatkan nilai dosa. Karena itu dosa didefinisikan sebagai melakukan sesuatu yang dilarang atau melakukan sesuatu yang melanggar syariat Islam, demikian yang dikutip dari buku Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1 halaman 281.
Di Dalam Alqur’an, seperti yang penulis kemukakan dalam buku Kunci Ampunan Dosa, ada beberapa istilah untuk menyebut dosa. Pertama, junah yang berasal dari kata janaha yang berarti condong, cenderung dan berpihak. Kata janah berarti sesuatu yang berada di samping. Kalau diterapkan pada burung berarti sayap; diterapkan pada manusia berarti tangan, ketiak, lambung, lengan; diterapkan pada ikan berarti sirip.
Bisa juga diterapkan pada kapal, lembah, dan sebagainya. Junah berarti penyimpangan dari kebenaran, dosa, bahkan semua dosa dapat dimasukkan di dalam pengertian junah. Diartikan demikian karena dosa cenderung membuat manusia menyeleweng dari kebenaran (lihat Ensiklopedia Alqur’an, jilid I, hal 402-403). Dosa dengan kata junah disebutkan dalam firman Allah swt: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhanmu (QS Al Baqarah [2]:198).
Kedua, dzanb yang berasal dari kata dzanaba yang pada mulanya berarti akhir dari sesuatu atau sesuatu yang ikut. Ekor binatang disebut dengan dzanab, karena ekor merupakan akhir dari keseluruhan badannya dan selalu ikut kemana saja binatang itu pergi. Orang yang mengikuti orang lain disebut dengan al madzanib karena ia datang terakhir dan mengikuti teman-temannya. Kata itu juga berarti saluran air, karena airnya mengalir mengikuti saluran tersebut.
Agaknya dari sini pulalah istilah dosa disebut dengan dzanb karena dosa itu merupakan akibat yang timbul dari suatu perbuatan yang melanggar ajaran agama dan akan mengikuti/menyertai pelakunya hingga hari kiamat. Ar Raghib Al Asfahani mendefinisikan dosa dengan ”setiap perbuatan yang mengantar pelakunya menderita karena akibatnya”. ((lihat Ensiklopedia Al-Qur’an, jilid I, hal 185-186).
Dosa dengan kata dzanb disebutkan dalam firman Allah SWT: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (QS Ali Imran [3]:135).
Ketiga, dosa dengan kata itsm yang pada mulanya bermakna berbuat salah atau perbuatan yang tidak halal. Suatu perbuatan disebut dosa apabila melakukan kesalahan dari ketentuan hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (QS Al Baqarah [2]:188)
Di dalam ayat lain Allah SWT menyebutkan akibat yang akan menimpa diri pelaku dosa hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata (QS An Nisa [4]:111-112).
Keempat, wizr, Adapun dosa dengan kata wizr bermakna berat. Hal ini karena dosa adalah sesuatu yang berat untuk dipikul oleh manusia kelak dikemudian hari, demikian M. Quraish Shihab dalam tafsirnya. Bahkan jangankan di akhirat kelak, di dunia ini saja dosa sudah terasa berat untuk dipikul oleh para pelakunya. Kata wizr untuk menyebut dosa terdapat dalam firman Allah SWT: Katakanlah: “apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhan mulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan (QS Al An’am [6]:164).
Dengan demkian, suatu perbuatan yang melanggar aqidah, syariat dan akhlak Islam akan mendapatkan nilai dosa, baik dalam kaitan dengan hubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama makhluk-Nya, yakni manusia, binatang dan lingkungan hidup.
(nfl)