Apakah Boleh Dana Zakat Disalurkan dengan Pinjaman?
A
A
A
Pertanyaan:
Ustaz apakah boleh dana zakat disalurkan dengan sistem pinjaman (Al Qordhul Hasan)?
Raka–Jakarta
Jawaban:
Allah SWT telah menjelaskan asnaf (kelompok-kelompok) yang berhak atas dana zakat, dalam firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil, orang-orang yang diikat hati mereka (muallaf), untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS Attaubah: 60).
Dalam ayat tersebut, terdapat 8 asnaf yang berhak atas dana zakat yaitu: Faqir, Miskin, Amil, Muallaf, Firriqob (hamba sahaya yangngin memerdekakan dirinya), Ghorimin (orang yang berhutang), Fi Sabilillah (Jihad dan kegiatan di jalan Allah), Ibnu Sabil (yang kehabisan ongkos, atau tertimpa bencana).
Alquran dan hadis tidak menyebutkan secara rinci dan detail tentang sistem atau cara penyaluran zakat. Hanya saja ulama’ mencoba mengambil istinbath dari sejumlah nash (teks) Alquran dan hadis tentang cara tersebut.
Dari sejumlah literature klasik, hampir tidak ditemukan pembahasan tentang penyaluran zakat dengan cara meminjamkan atau Al Qordhul Hasan. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan tidak boleh.
Walaupun Alquran saat menyebutkan asnaf yang berhak menerima zakat, menggunakan huruf laam yang berarti littamlik (untuk kepemilikan), namun dalam ilmu Fikih, kepemilikan tidak selamanya berarti tamlikul ‘ain (kepemilikan benda), namun juga dalam bentuk tamliikul manfa’ah (kepemilikan manfaat).
Sejumlah ulama’ kontemporer membolehkan penyaluran zakat dalam bentuk pinjaman atau Al Qordhul Hasan. Mereka antara lain: Syekh Abu Zahroh, Khollaf, Hasan Khan, DR Muhammad Humaidullah Al Haidar Abadi, DR Syauqi Ismail Syihatah, DR Yusuf Qordhowi dan sejumlah ulama’ lainnya. Dalil mereka adalah Qiyas, atau Qiyas Jali.
Qiyas Jali dinamakan juga dengan Qiyas min Babi Aula, yaitu menganalogikan hukum yang belum ada dalilnya secara tekstual dengan hukum yang sudah ada dalilnya dari Alquran atau Sunah atau Ijma’, di mana hukum yang belum ada dalilnya justru lebih utama atau lebih kuat dibandingkan hukum yang sudah ada dalilnya.
Contohnya, Alquran tidak melarang memukul orangtua, namun Alquran melarang mengatakan kepada orangtua dengan kata ah, bukan berarti memukul dibolehkan, melainkan memukul justru lebih dilarang atau diharamkan. Karena jika mengatakan ah saja tidak boleh, apalagi memukul.
Demikian juga dalam konteks penyaluran zakat melalui sistem pinjaman (Al Qordhul Hasan). Jika seandainya orang miskin boleh diberikan cuma-cuma dana zakat untuk mengangkat statusnya dari mustahiq menjadi muzakki, maka jika tujuan terebut dapat tercapai hanya dengan memberikan pinjaman maka itu jelas lebih dibolehkan.
Jika dana zakat dapat diberikan kepada satu orang, maka jika dana yang sama dapat dimanfaatkan oleh lebih dari satu orang lebih dibolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh, Rasulullah SAW bersabda:
“Makanan dua orang (lebih baik) jika mencukupi tiga orang, dan makanan 3 orang (lebih baik) jika mencukupi empat orang”. (HR Turmudzi, menurutnya hadits itu adalah Hasan Shohih).
Dalam riwayat Ibnu Umar dan Jabir, ada tambahan “Makanan empat orang (lebih baik) jika mencukupi delapan orang”. (HR Turmudzi, Kitab Ath’imah (makanan), bab makanan satu orang cukup untuk dua orang, jilid 4 hal. 235-236).
Dr Syauqi Ismail Syihatah, Anggota Dewan Syariah Internasional untuk Zakat,dalam bukunya “Tandzim wa Muhaaabatuz Zakaah fit Tathbiiqil Mu’aashir” (Manajemen Zakat Modern) menyebutkan:
“Bahwa jika seorang yang berhutang (Ghorimin) boleh diberikan dana zakat untuk membayarkan hutangnya kepada lembaga ([perbankan) lain, maka jika ia diberikan pinjaman dari dana zakat lebih dibolehkan untuk diberikan, mengingat uang pinjaman tersebut, akan kembali lagi ke lembaga zakat”. (hal 297).
Disamping itu, menyalurkan dana zakat melalui pinjaman tanpa bunga (Al Qordhul Hasan) membantu dalam proses penerapan sistem pinjaman non ribawi yang diinginkan Islam. Hal ini tentunya dapat dikatagorikan dalam asnaf Fi Sabilillah yaitu upaya menjaga dan melestarikan ajaran Islam di kalangan umat Islam.
Namun yang dibolehkan menerapkan system pinjaman ini hanyalah lembaga zakat. Muzakki tidak dibenarkan meminjamkan zakat yang harus ia keluarkan. Karena kewajibannya adalah mengeluarkan zakat tersebut dan menyerahkannya kepada lembaga zakat. Sementara lembaga zakat, dibolehkan menyalurkan dana zakat tersebut dengan sistem pinjaman dengan syarat :
a. Dana zakat yang dipinjamkan tersebut bukan untuk kebutuhan konsumsi (istihlaki), seperti menutupi kebutuhan pangan, biaya pengobatan dan biaya sekolah, melainkan untuk investasi atau modal usaha yang diharapkan akan memberikan keuntungan dan memotivasi si peminjam untuk mendapat keuntungan yang sebanyak mungkin agar mampu mengembalikan pinjamannnya.
b. Jika si peminjam ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya, maka yang bersangkutan harus dibebaskan dari kewajibannya mengembalikan pinjaman tersebut.
Wallahu a’lam
Tanya jawab oleh Ustaz Dr HM Yusuf Siddik MA
Dewan Syariah LAZNAS BSM Jakarta
Dialog Ramadan ini disponsori oleh Lembaga Amil Zakat Nasional Bangun Sejahtera Mitra Umat (LAZNAS BSM).
Ustaz apakah boleh dana zakat disalurkan dengan sistem pinjaman (Al Qordhul Hasan)?
Raka–Jakarta
Jawaban:
Allah SWT telah menjelaskan asnaf (kelompok-kelompok) yang berhak atas dana zakat, dalam firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil, orang-orang yang diikat hati mereka (muallaf), untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS Attaubah: 60).
Dalam ayat tersebut, terdapat 8 asnaf yang berhak atas dana zakat yaitu: Faqir, Miskin, Amil, Muallaf, Firriqob (hamba sahaya yangngin memerdekakan dirinya), Ghorimin (orang yang berhutang), Fi Sabilillah (Jihad dan kegiatan di jalan Allah), Ibnu Sabil (yang kehabisan ongkos, atau tertimpa bencana).
Alquran dan hadis tidak menyebutkan secara rinci dan detail tentang sistem atau cara penyaluran zakat. Hanya saja ulama’ mencoba mengambil istinbath dari sejumlah nash (teks) Alquran dan hadis tentang cara tersebut.
Dari sejumlah literature klasik, hampir tidak ditemukan pembahasan tentang penyaluran zakat dengan cara meminjamkan atau Al Qordhul Hasan. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan tidak boleh.
Walaupun Alquran saat menyebutkan asnaf yang berhak menerima zakat, menggunakan huruf laam yang berarti littamlik (untuk kepemilikan), namun dalam ilmu Fikih, kepemilikan tidak selamanya berarti tamlikul ‘ain (kepemilikan benda), namun juga dalam bentuk tamliikul manfa’ah (kepemilikan manfaat).
Sejumlah ulama’ kontemporer membolehkan penyaluran zakat dalam bentuk pinjaman atau Al Qordhul Hasan. Mereka antara lain: Syekh Abu Zahroh, Khollaf, Hasan Khan, DR Muhammad Humaidullah Al Haidar Abadi, DR Syauqi Ismail Syihatah, DR Yusuf Qordhowi dan sejumlah ulama’ lainnya. Dalil mereka adalah Qiyas, atau Qiyas Jali.
Qiyas Jali dinamakan juga dengan Qiyas min Babi Aula, yaitu menganalogikan hukum yang belum ada dalilnya secara tekstual dengan hukum yang sudah ada dalilnya dari Alquran atau Sunah atau Ijma’, di mana hukum yang belum ada dalilnya justru lebih utama atau lebih kuat dibandingkan hukum yang sudah ada dalilnya.
Contohnya, Alquran tidak melarang memukul orangtua, namun Alquran melarang mengatakan kepada orangtua dengan kata ah, bukan berarti memukul dibolehkan, melainkan memukul justru lebih dilarang atau diharamkan. Karena jika mengatakan ah saja tidak boleh, apalagi memukul.
Demikian juga dalam konteks penyaluran zakat melalui sistem pinjaman (Al Qordhul Hasan). Jika seandainya orang miskin boleh diberikan cuma-cuma dana zakat untuk mengangkat statusnya dari mustahiq menjadi muzakki, maka jika tujuan terebut dapat tercapai hanya dengan memberikan pinjaman maka itu jelas lebih dibolehkan.
Jika dana zakat dapat diberikan kepada satu orang, maka jika dana yang sama dapat dimanfaatkan oleh lebih dari satu orang lebih dibolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh, Rasulullah SAW bersabda:
“Makanan dua orang (lebih baik) jika mencukupi tiga orang, dan makanan 3 orang (lebih baik) jika mencukupi empat orang”. (HR Turmudzi, menurutnya hadits itu adalah Hasan Shohih).
Dalam riwayat Ibnu Umar dan Jabir, ada tambahan “Makanan empat orang (lebih baik) jika mencukupi delapan orang”. (HR Turmudzi, Kitab Ath’imah (makanan), bab makanan satu orang cukup untuk dua orang, jilid 4 hal. 235-236).
Dr Syauqi Ismail Syihatah, Anggota Dewan Syariah Internasional untuk Zakat,dalam bukunya “Tandzim wa Muhaaabatuz Zakaah fit Tathbiiqil Mu’aashir” (Manajemen Zakat Modern) menyebutkan:
“Bahwa jika seorang yang berhutang (Ghorimin) boleh diberikan dana zakat untuk membayarkan hutangnya kepada lembaga ([perbankan) lain, maka jika ia diberikan pinjaman dari dana zakat lebih dibolehkan untuk diberikan, mengingat uang pinjaman tersebut, akan kembali lagi ke lembaga zakat”. (hal 297).
Disamping itu, menyalurkan dana zakat melalui pinjaman tanpa bunga (Al Qordhul Hasan) membantu dalam proses penerapan sistem pinjaman non ribawi yang diinginkan Islam. Hal ini tentunya dapat dikatagorikan dalam asnaf Fi Sabilillah yaitu upaya menjaga dan melestarikan ajaran Islam di kalangan umat Islam.
Namun yang dibolehkan menerapkan system pinjaman ini hanyalah lembaga zakat. Muzakki tidak dibenarkan meminjamkan zakat yang harus ia keluarkan. Karena kewajibannya adalah mengeluarkan zakat tersebut dan menyerahkannya kepada lembaga zakat. Sementara lembaga zakat, dibolehkan menyalurkan dana zakat tersebut dengan sistem pinjaman dengan syarat :
a. Dana zakat yang dipinjamkan tersebut bukan untuk kebutuhan konsumsi (istihlaki), seperti menutupi kebutuhan pangan, biaya pengobatan dan biaya sekolah, melainkan untuk investasi atau modal usaha yang diharapkan akan memberikan keuntungan dan memotivasi si peminjam untuk mendapat keuntungan yang sebanyak mungkin agar mampu mengembalikan pinjamannnya.
b. Jika si peminjam ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya, maka yang bersangkutan harus dibebaskan dari kewajibannya mengembalikan pinjaman tersebut.
Wallahu a’lam
Tanya jawab oleh Ustaz Dr HM Yusuf Siddik MA
Dewan Syariah LAZNAS BSM Jakarta
Dialog Ramadan ini disponsori oleh Lembaga Amil Zakat Nasional Bangun Sejahtera Mitra Umat (LAZNAS BSM).
(maf)