Syaban Bulan Arwah dan Konsep Roh Imam Al-Ghazali

Kamis, 02 Maret 2023 - 17:22 WIB
Salah satu tradisi ruwahan adalah nyadran. Foto/Ilustrasi: inilahjogja
Bulan Syaban menempati posisi yang cukup penting bagi masyarakat Islam Jawa. Sebagian mereka menyebut bulan Syaban dengan nama Ruwah. Di bulan ini ada tradisi ruwahan. Mereka menggelar ruwahan dan nyadran. Tradisi ini menggabungkan konsep kepercayaan adat dengan ajaran agama Islam.

Ruwahan merupakan tradisi kebudayaan Jawa untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan nyadran adalah rangkaian budayanya, mulai dari pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan kenduri.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menjelaskan Syaban disebut Ruwah di masyarakat Jawa berasal dari kosakata Arab, yakni 'arwah'. Selanjutnya istilah ini berdasarkan penuturan lisan Jawa menjadi ‘Ruwah'.

“Saya masih ingat betul ketika Mbah Moen mengajar dan di antara yang diterangkan itu mengapa Syaban disebut Ruwah, Ruwah itu dari Bahasa Arab arwah, terus dijawakan menjadi Ruwah," tutur Gus Baha, dikutip dari kanal Kalam-Kajian Islam dalam jaringan Youtube.





Lantas Gus Baha juga menjelaskan bulan Syaban sebagai bulan 'arwah' ini berkaitan dengan tradisi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa yang mengunjungi makam-makam untuk mendoakan arwah para leluhur.

Aktivitas ruwahan lainnya kirim doa, dan bersedekah. Mereka, yang meninggal, yang menjadi tujuan utama ruwahan juga tidak terkhusus pada kerabat saja, melainkan para ulama dan wali yang dianggap suci.

Menurut Gus Baha, tradisi ini bermula dari tradisi Yaman yang setiap tahunnya pada bulan ini mengadakan haul Nabi Hud. Sehingga kiai-kiai Jawa mengirimkan doa ketika bulan Sya’ban atau bulan Ruwah. Maka muncullah istilah tradisi ruwah atau ruwahan, yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.

“Karena di antara tradisi di Indonesia mengikuti Yaman. Dan di Yaman itu ada khoulnya Nabiyullah Hud dan itu pada waktu Sya’ban. Sehingga kiai-kiai Jawa kalau kirim doa itu dibarengkan pas Sya’ban atau Ruwah,” terang Gus Baha.

Konsep Imam al-Ghazali

Berbeda dalam pemahaman masyarakat muslim Jawa, Imam Al-Ghazali dalam Al-Araba‘in fi Ushul al-Din memahami roh sebagai al-jauhar al-‘arif al-mudrik min al-insan.



Dalam struktur penyusun kehidupan manusia, roh (unsur batin) ini menurut Al-Ghazali memiliki posisi yang lebih penting ketimbang jasad (unsur fisik). Hal ini sebagaimana telah diisyaratkan dalam surah Shad [38] ayat 71-72 dan surah Al-isra’ [17] ayat 85, sekira Allah menyandarkan keberadaan roh kepada-Nya.

إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوْحِيْ.

Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya.”

قُلْ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ

Katakanlah (Muhammad): “Roh itu termasuk urusan Tuhanku.””

Implementasi roh dalam pemaknaan ini oleh Al-Ghazali dipahami dengan adanya aktivitas tazkiyah al-nafs atau pembersihan hati, seperti telah disebutkan dalam rangkaian surah Asysyams [91] ayat 7-10,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
cover top ayah
مَنۡ كَانَ يُرِيۡدُ الۡحَيٰوةَ الدُّنۡيَا وَ زِيۡنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيۡهِمۡ اَعۡمَالَهُمۡ فِيۡهَا وَهُمۡ فِيۡهَا لَا يُبۡخَسُوۡنَ‏ (١٥) اُولٰٓٮِٕكَ الَّذِيۡنَ لَـيۡسَ لَهُمۡ فِىۡ الۡاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ‌ ‌ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوۡا فِيۡهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوۡا يَعۡمَلُوۡنَ (١٦)
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.

(QS. Hud Ayat 15-16)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More