Aurat Dilihat Sesama Muslimah, Bagaimana Hukumnya?
Senin, 27 Juli 2020 - 16:03 WIB
Salah satu ajaran Islam yang harus mendapat perhatian kaum muslimin adalah menjaga akhlak . Al-Quran menetapkan bahwa akhlak itu tidak terlepas dari akidah dan syariat. Artinya, Al-Qur'an, akidah, dan syariat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Islam juga mengatur tolok ukur berakhlak adalah berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apa yang dipandang baik oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, pasti baik dalam esensinya. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kepalsuan sebagai kelakuan baik, karena kepalsuan esensinya pasti buruk.
Umat Islam juga harus memahami bahwa Allah Ta'ala selalu menunjukkan kebaikan-Nya. Bahkan Allah memiliki sifat yang terpuji, seperti Al-Qur'an surat Thaha ayat 8 menjelaskan:
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik)." (QS Thaha : 8)
Demikian juga Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad meriwayatkan Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam., Beliau menjawab: “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur'an.”
Dan dalam kaitan syariat menjaga akhlak, umat Islam diwajibkan harus berpenampilan baik (akhlak terpuji). Berpenampilan baik salah satunya adalah berpakaian yang tidak membuka aurat. Para ulama telah bersepakat tentang kewajiban menutup aurat baik dalam salat maupun di luar salat. Menjaga aurat adalah konsekwensi logis dari konsep syariat tentang adab berpakaian dalam bermasyarakat. (Baca juga : Rambut Perempuan dalam Pandangan Syariat )
Soal akhlak berpakaian dan menutup aurat ini sangat penting. Jika dilihat dari banyak kasus seperti pelecehan akhlak, kemesuman, dan perzinahan, maka salah satu sebabnya adalah karena kebebasan wanita memakai pakaian yang tidak sopan. Ajaran Islam sungguh merupakan suatu solusi alternatif yang paling tepat.
Dalam Islam, hakikat pakaian adalah untuk menutup aurat. Yaitu menutup bagian anggota tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Syariat Islam mengatur, hendaknya pakaian tersebut tidak terlalu sempit atau ketat, tidak terlalu tipis atau menerawang, warna bahannya pun tidak boleh terlalu mencolok, dan model pakaian wanita dilarang menyerupai pakaian laki-laki.
Sayangnya, seringkali dalam kehidupan sehari-hari, kita jumpai seorang menampakkan rambutnya atau membuka jilbabnya di hadapan sesama wanita muslimah. Bagaimana sebenarnya hukum menampakkan aurat di depan sesama perempuan ini? Dan apa batas-batas aurat perempuan yang boleh ditampakkannya?
Batasan aurat seorang perempuan kerap dipermasalahkan, sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Batasan aurat perempuan juga turut dibedakan berdasarkan siapa yang melihatnya. Batasan aurat wanita di hadapan suami dengan laki-laki lain yang bukan muhrim jelas berbeda. Begitu juga, antara muhrim dengan nonmuhrim.
Yang boleh melihat aurat perempuan ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala :
﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ﴾
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS an-Nûr : 31)
Semua orang yang disebutkan di dalam ayat tersebut boleh melihat anggota-anggota tubuhperempuanyang termasuk muhrimnya, yakni berupa rambut, leher, tempat gelang tangan (pergelangan tangan), tempat gelang kaki (pergelangan kaki), tempat kalung, dan anggota-anggota tubuh lainnya yang biasa menjadi tempat melekatnya perhiasan. Orang-orang tersebut boleh melihat tempat-tempat perhiasan yang nampak pada perempuan yang termasuk muhrim mereka ketika wanita itu memakai pakaian sehari-hari, yaitu dalam kondisi ketikaperempuan itu membuka baju luarnya.
Imam asy-Syâfi‘î, di dalam Musnad-nya, telah meriwayatkan sebuah hadis dari Zaynab binti Abî Salamah, bahwa :
أَنَّهَا إِرْتَضَعَتْ مِنْ أَسْمَاءِ إِمْرَأَةُ الزُّبَيْرِ، قَالَتْ: فَكُنْتُ أَرَاهُ أَبَّا, وَكاَنَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَأَنَا أُمَشِّطُ رَأْسِيْ, فَيَأْخُذُ بَعْضَ قُرُوْنِ رَأْسِيْ وَيَقُوْلُ: أَقْبِلِيْ عَلَيَّ
"Dia (Zaynab) pernah disusui oleh Asma’, istri Zubayr. Ia berkata, "Karena itu, aku menganggapnya (Zubayr) sebagai bapak. Ia pernah masuk ke ruanganku, sementara aku sedang menyisir rambutku. Lalu ia memegang sebagian ikatan rambutku. Ia lantas berkata, ‘Menghadaplah kepadaku.’”
Juga diriwayatkan bahwa Abû Sufyân pernah memasuki rumah anaknya, yaitu Ummu Habîbah istri Rasulullah SAW ketika Abû Sufyân datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah. Serta-merta Ummu Habîbah menggulung alas tidur Rasulullah SAW agar tidak diduduki oleh Abû Sufyân. Sementara itu, Ummu Habîbah tidak mengenakan hijab. Lalu ia menceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau menyetujuinya dan tidak memerintahkannya agar memakai hijab. Sebab meskipun Abû Sufyân seorang musyrik, tetapi ia adalah mahram Ummu Habîbah”, sesuai apa yang ada di kitab an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy.
Berkaitan dengan aurat perempuan terhadap perempuan, ada dua pendapat fiqhiyah yang masing-masing memiliki aspek istidlal:
Islam juga mengatur tolok ukur berakhlak adalah berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apa yang dipandang baik oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, pasti baik dalam esensinya. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kepalsuan sebagai kelakuan baik, karena kepalsuan esensinya pasti buruk.
Umat Islam juga harus memahami bahwa Allah Ta'ala selalu menunjukkan kebaikan-Nya. Bahkan Allah memiliki sifat yang terpuji, seperti Al-Qur'an surat Thaha ayat 8 menjelaskan:
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik)." (QS Thaha : 8)
Demikian juga Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad meriwayatkan Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam., Beliau menjawab: “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur'an.”
Dan dalam kaitan syariat menjaga akhlak, umat Islam diwajibkan harus berpenampilan baik (akhlak terpuji). Berpenampilan baik salah satunya adalah berpakaian yang tidak membuka aurat. Para ulama telah bersepakat tentang kewajiban menutup aurat baik dalam salat maupun di luar salat. Menjaga aurat adalah konsekwensi logis dari konsep syariat tentang adab berpakaian dalam bermasyarakat. (Baca juga : Rambut Perempuan dalam Pandangan Syariat )
Soal akhlak berpakaian dan menutup aurat ini sangat penting. Jika dilihat dari banyak kasus seperti pelecehan akhlak, kemesuman, dan perzinahan, maka salah satu sebabnya adalah karena kebebasan wanita memakai pakaian yang tidak sopan. Ajaran Islam sungguh merupakan suatu solusi alternatif yang paling tepat.
Dalam Islam, hakikat pakaian adalah untuk menutup aurat. Yaitu menutup bagian anggota tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Syariat Islam mengatur, hendaknya pakaian tersebut tidak terlalu sempit atau ketat, tidak terlalu tipis atau menerawang, warna bahannya pun tidak boleh terlalu mencolok, dan model pakaian wanita dilarang menyerupai pakaian laki-laki.
Sayangnya, seringkali dalam kehidupan sehari-hari, kita jumpai seorang menampakkan rambutnya atau membuka jilbabnya di hadapan sesama wanita muslimah. Bagaimana sebenarnya hukum menampakkan aurat di depan sesama perempuan ini? Dan apa batas-batas aurat perempuan yang boleh ditampakkannya?
Batasan aurat seorang perempuan kerap dipermasalahkan, sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Batasan aurat perempuan juga turut dibedakan berdasarkan siapa yang melihatnya. Batasan aurat wanita di hadapan suami dengan laki-laki lain yang bukan muhrim jelas berbeda. Begitu juga, antara muhrim dengan nonmuhrim.
Yang boleh melihat aurat perempuan ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala :
﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ﴾
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS an-Nûr : 31)
Semua orang yang disebutkan di dalam ayat tersebut boleh melihat anggota-anggota tubuhperempuanyang termasuk muhrimnya, yakni berupa rambut, leher, tempat gelang tangan (pergelangan tangan), tempat gelang kaki (pergelangan kaki), tempat kalung, dan anggota-anggota tubuh lainnya yang biasa menjadi tempat melekatnya perhiasan. Orang-orang tersebut boleh melihat tempat-tempat perhiasan yang nampak pada perempuan yang termasuk muhrim mereka ketika wanita itu memakai pakaian sehari-hari, yaitu dalam kondisi ketikaperempuan itu membuka baju luarnya.
Imam asy-Syâfi‘î, di dalam Musnad-nya, telah meriwayatkan sebuah hadis dari Zaynab binti Abî Salamah, bahwa :
أَنَّهَا إِرْتَضَعَتْ مِنْ أَسْمَاءِ إِمْرَأَةُ الزُّبَيْرِ، قَالَتْ: فَكُنْتُ أَرَاهُ أَبَّا, وَكاَنَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَأَنَا أُمَشِّطُ رَأْسِيْ, فَيَأْخُذُ بَعْضَ قُرُوْنِ رَأْسِيْ وَيَقُوْلُ: أَقْبِلِيْ عَلَيَّ
"Dia (Zaynab) pernah disusui oleh Asma’, istri Zubayr. Ia berkata, "Karena itu, aku menganggapnya (Zubayr) sebagai bapak. Ia pernah masuk ke ruanganku, sementara aku sedang menyisir rambutku. Lalu ia memegang sebagian ikatan rambutku. Ia lantas berkata, ‘Menghadaplah kepadaku.’”
Juga diriwayatkan bahwa Abû Sufyân pernah memasuki rumah anaknya, yaitu Ummu Habîbah istri Rasulullah SAW ketika Abû Sufyân datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah. Serta-merta Ummu Habîbah menggulung alas tidur Rasulullah SAW agar tidak diduduki oleh Abû Sufyân. Sementara itu, Ummu Habîbah tidak mengenakan hijab. Lalu ia menceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau menyetujuinya dan tidak memerintahkannya agar memakai hijab. Sebab meskipun Abû Sufyân seorang musyrik, tetapi ia adalah mahram Ummu Habîbah”, sesuai apa yang ada di kitab an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy.
Berkaitan dengan aurat perempuan terhadap perempuan, ada dua pendapat fiqhiyah yang masing-masing memiliki aspek istidlal: