Ibadah Haji, Modal Sosial untuk Melakukan Perubahan dan Berbuat Baik
Selasa, 11 Juli 2023 - 20:15 WIB
JAKARTA - Jemaah haji dari seluruh dunia mulai kembali ke negaranya masing-masing usai melakukan rukun Islam yang ke-5 di Arab Saudi. Diharapkan, sepulang dari ibadah haji, para jemaah haji dari Indonesia mampu meningkatkan keimanan dan memberikan perubahan sosial di masyarakat setelah ‘digembleng’ secara spiritual di Tanah Suci.
Mantan Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Arief Subhan mengungkapkan adanya budaya menarik terkait haji di Indonesia. Budaya itu yakni adanya identitas sosial yang melekat pada individu yang telah melaksanakan ibadah haji.
Bagi Arief, hal ini merupakan modal sosial yang dimiliki oleh para haji untuk melakukan gerakan perubahan sosial keagamaan dan mengajak masyarakat untuk melakukan hal yang baik.
“Panggilan sebagai Pak Haji, itu merupakan suatu kehormatan. Kalau dihormati, kan otomatis dia punya otoritas. Dia mestinya punya ruang, punya peluang untuk mengajak masyarakat berbuat lebih baik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah ini, Selasa (11/7/2023).
Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk memberikan kontribusi positif terhadap negeri, mengingat banyak para pendahulu bangsa melakukan perubahan sosial setelah menunaikan ibadah haji, maupun belajar agama di Mekkah, Arab Saudi.
Misalnya KH Ahmad Dahlan, setelah pulang dari Mekkah mendirikan organisasi Muhammadiyah. Hal serupa juga dilakukan KH Hasyim Asyari sepulang belajar dari Tanah Suci mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
Selain itu, Peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan ada tiga ajaran Islam yang penting yang terwujud dalam ibadah haji, yakni tauhid, egalitarianisme dan keadilan sosial.
Arief Subhan mengatakan inti dari ibadah haji merupakan tauhid. Di mana para jemaah mengucap takbir dan melaksanakan doa-doa haji untuk mengagungkan Allah SWT.
Tauhid memiliki makna bahwa kita betul-betul mengesakan Tuhan. Hanya percaya, hanya mengerti dan hanya menyembah kepada Allah.
“Kita hanya mengakui adanya kekuatan itu ya, hanya Tuhan Allah itu tiada lainnya. Tauhid itu ajaran yang pertama dan itulah yang pertama kali diajarkan oleh Nabi,” ujar Arief.
Kemudian, egalitarianisme. Dalam Islam, Arief mengatakan, semua berada di strata yang sama, Allah tidak memandang manusia dari sudut pandang sosial maupun materi, kecuali tingkat iman ketakwaannya. Sehingga, Islam tidak membedakan antara satu suku dengan suku yang lain.
Salah satu implikasi atau salah satu model ajaran yang egaliter dari Islam itu terwujud dalam ibadah haji. Setiap individu dalam menunaikan ibadah haji melepaskan semua atribut yang dimiliki, apakah dia orang Indonesia, apakah dia orang Arab Saudi, atau dia orang Afghanistan. Semua dianggap sama.
“Jadi dia melepaskan itu dengan hanya semata-mata menggunakan identitas yang sama (pakaian ihram),” ujarnya.
Sedangkan yang ketiga adalah keadilan sosial. Islam sangat mementingkan keadilan sosial. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat anjuran wajib dan sunnah (volunteer) dalam bersedekah. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pemerataan atau sama rasa sebagai kesatuan umat Islam.
“Kalau yang berbagi sifatnya wajib, itu zakat. Kalau yang volunteer kan infaq. Makanya itu dilakukan karena keadilan sosial itu penting dalam Islam. Dalam bagian dari perayaan haji, contoh yang sederhana, yaitu berbagi hewan daging kurban,” urainya.
Menurut Arief, kesempatan haji, khususnya dalam kewajiban Wukuf di Arafah, merupakan momen penting untuk para jemaah haji melakukan tafakur atau intropeksi diri. Oleh karena itu, setelah ibadah haji para jemaah diharapkan menjadi haji yang mabrur, yang berarti lebih baik dari sebelumnya.
“Wukuf itu kan artinya berhenti ya. Berhenti, bertafakur, merenung tentang hidup, tentang diri, tentang apa yang bisa dilakukan dan seterusnya,” pungkas Arief.
Mantan Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Arief Subhan mengungkapkan adanya budaya menarik terkait haji di Indonesia. Budaya itu yakni adanya identitas sosial yang melekat pada individu yang telah melaksanakan ibadah haji.
Bagi Arief, hal ini merupakan modal sosial yang dimiliki oleh para haji untuk melakukan gerakan perubahan sosial keagamaan dan mengajak masyarakat untuk melakukan hal yang baik.
“Panggilan sebagai Pak Haji, itu merupakan suatu kehormatan. Kalau dihormati, kan otomatis dia punya otoritas. Dia mestinya punya ruang, punya peluang untuk mengajak masyarakat berbuat lebih baik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah ini, Selasa (11/7/2023).
Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk memberikan kontribusi positif terhadap negeri, mengingat banyak para pendahulu bangsa melakukan perubahan sosial setelah menunaikan ibadah haji, maupun belajar agama di Mekkah, Arab Saudi.
Misalnya KH Ahmad Dahlan, setelah pulang dari Mekkah mendirikan organisasi Muhammadiyah. Hal serupa juga dilakukan KH Hasyim Asyari sepulang belajar dari Tanah Suci mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
Selain itu, Peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan ada tiga ajaran Islam yang penting yang terwujud dalam ibadah haji, yakni tauhid, egalitarianisme dan keadilan sosial.
Arief Subhan mengatakan inti dari ibadah haji merupakan tauhid. Di mana para jemaah mengucap takbir dan melaksanakan doa-doa haji untuk mengagungkan Allah SWT.
Tauhid memiliki makna bahwa kita betul-betul mengesakan Tuhan. Hanya percaya, hanya mengerti dan hanya menyembah kepada Allah.
“Kita hanya mengakui adanya kekuatan itu ya, hanya Tuhan Allah itu tiada lainnya. Tauhid itu ajaran yang pertama dan itulah yang pertama kali diajarkan oleh Nabi,” ujar Arief.
Kemudian, egalitarianisme. Dalam Islam, Arief mengatakan, semua berada di strata yang sama, Allah tidak memandang manusia dari sudut pandang sosial maupun materi, kecuali tingkat iman ketakwaannya. Sehingga, Islam tidak membedakan antara satu suku dengan suku yang lain.
Salah satu implikasi atau salah satu model ajaran yang egaliter dari Islam itu terwujud dalam ibadah haji. Setiap individu dalam menunaikan ibadah haji melepaskan semua atribut yang dimiliki, apakah dia orang Indonesia, apakah dia orang Arab Saudi, atau dia orang Afghanistan. Semua dianggap sama.
“Jadi dia melepaskan itu dengan hanya semata-mata menggunakan identitas yang sama (pakaian ihram),” ujarnya.
Sedangkan yang ketiga adalah keadilan sosial. Islam sangat mementingkan keadilan sosial. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat anjuran wajib dan sunnah (volunteer) dalam bersedekah. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pemerataan atau sama rasa sebagai kesatuan umat Islam.
“Kalau yang berbagi sifatnya wajib, itu zakat. Kalau yang volunteer kan infaq. Makanya itu dilakukan karena keadilan sosial itu penting dalam Islam. Dalam bagian dari perayaan haji, contoh yang sederhana, yaitu berbagi hewan daging kurban,” urainya.
Menurut Arief, kesempatan haji, khususnya dalam kewajiban Wukuf di Arafah, merupakan momen penting untuk para jemaah haji melakukan tafakur atau intropeksi diri. Oleh karena itu, setelah ibadah haji para jemaah diharapkan menjadi haji yang mabrur, yang berarti lebih baik dari sebelumnya.
“Wukuf itu kan artinya berhenti ya. Berhenti, bertafakur, merenung tentang hidup, tentang diri, tentang apa yang bisa dilakukan dan seterusnya,” pungkas Arief.
(shf)