Batasan Darurat Dibolehkannya Muslim Mengonsumsi Makanan Haram
Minggu, 07 Juli 2024 - 07:49 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan semua binatang yang diharamkan dalam al-Quran adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal.
Allah SWT befirman: "Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." ( QS al-An'am : 119)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." ( QS al-Baqarah : 173)
Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan.
Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekadarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu.
"Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan," katanya.
Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm:
"Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan.
Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang zalim).
Seperti firman Allah:
"Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum Allah." ( QS al-Hujurat : 9)
Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.
Allah SWT befirman: "Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." ( QS al-An'am : 119)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." ( QS al-Baqarah : 173)
Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan.
Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekadarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu.
"Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan," katanya.
Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm:
"Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan.
Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang zalim).
Seperti firman Allah:
"Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum Allah." ( QS al-Hujurat : 9)
Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.
(mhy)