Ilmu Fikih: Kisah Harun Ar-Rasyid Meminta Abu Yusuf Menulis Buku Sistem Perpajakan
Selasa, 24 September 2024 - 17:21 WIB
PADAmasa Dinasti Abbasiyah (131-415 H [750-974 M]) usaha penyusunan sistematik ilmu fikih dan kodifikasinya berkembang menjadi seperti yang sebagian besar bertahan sampai sekarang.
"Ketidakpuasan umum kepada ketidakacuhan orang-orang Umayyah dalam soal-soal keagamaan telah ikut mendorong meletus dan berhasilnya Revolusi Abbasiyah yang didukung oleh para agamawan itu," tulis Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam buku berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" (Paramadina, 1992).
Meskipun dalam banyak hal, seperti sikap memihak kepada golongan Sunni , kata Cak Nur, kaum Abbasiyah tak berbeda dari kaum Umayyah , tapi yang tersebut terdahulu itu menunjukkan minat yang lebih besar kepada hal-hal khusus keagamaan. Ini menciptakan suasana yang baik untuk pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya ilmu fikih.
Pada masa peralihan dari dinasti Umayyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana fiqih yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran (mazhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah.
Akan tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan ilmu fiqih, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]).
Menurut Cak Nur, pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]).
Harun al-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang al-kharaj (semacam sistem perpajakan) menurut hukum Islam (fiqih).
Abu Yusuf memenuhinya, tetapi buku yang ditulisnya dengan nama Kitab al-Kharaj itu menjadi lebih dari sekadar membahas soal perpajakan, melainkan telah menjelma menjadi usaha penyusunan sistematik dan kodifikasi ilmu fiqih yang banyak ditiru atau dicontoh oleh ahli-ahli yang datang kemudian.
Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj menyajikan kembali sistem hukum yang dipraktikkan di zaman Umayyah, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan (64-85 H [685-705 M]), yang dalam memerintah berusaha meneladani praktik Khalifah Umar ibn al-Khattab.
Mungkin karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut 'Ali (kaum Syiah), kaum Umayyah di Damaskus banyak menaruh simpati kepada 'Umar ibn al-Khattab, dan mengaku bahwa dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya mereka meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul yang kedua itu.
Oleh karena itu Kitab al-Kharaj banyak mengisahkan kembali kebijaksanaan Khalifah 'Umar, yang agaknya juga dikagumi oleh Harun al-Rasyid sendiri.
Dalam pengantar untuk karyanya itu, Abu Yusuf dengan tegas dan tandas menasihati dan memperingatkan Harun al-Rasyid untuk menjalankan amanat pemerintahannya dengan adil, seperti yang telah dilakukan oleh ' Umar bin Khattab .
Berikut salah satu kutipan dari Kitab al-Kharaj (Kairo: al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1382 H) karya Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim tersebut:
"... Sesungguhnya Amir al-Mu'minin --semoga Allah Ta'ala meneguhkannya-- telah meminta kepadaku untuk menulis sebuah buku yang komprehensif dan meminta agar aku menjelaskan untuknya hal-hal yang ia tanyakan kepadaku dari perkara yang hendak ia amalkan, serta agar aku menafsirkan dan menjabarkannya. Maka benar-benar telah aku jelaskan hal itu semua dan kujabarkan.
Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya Allah --segala puji bagi-Nya-- telah meletakkan di atas suatu perkara yang besar pahalanya adalah sebesar-besar pahala, dan siksanya adalah sebesar-besar siksa.
Allah telah meletakkan padamu urusan umat ini, maka engkau di waktu pagi maupun petang membangun untuk orang banyak yang Allah telah menitipkan mereka itu kepadamu, mempercayakan mereka kepadamu, menguji kamu dengan mereka itu, dan menyerahkan kepadamu urusan mereka itu.
Dan suatu bangunan tetap saja --jika didasarkan kepada selain takwa-- akan dirusakkan Allah dari sendi-sendinya kemudian merobohkannya menimpa orang yang membangunnya sendiri dan orang lain yang membantunya. Maka janganlah sekali-sekali menyia-nyiakan urusan umat dan rakyat yang telah dibebankan Allah kepadamu ini, sebab kekuatan berbuat itu terjadi hanya seizin Allah ..."
"Ketidakpuasan umum kepada ketidakacuhan orang-orang Umayyah dalam soal-soal keagamaan telah ikut mendorong meletus dan berhasilnya Revolusi Abbasiyah yang didukung oleh para agamawan itu," tulis Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam buku berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" (Paramadina, 1992).
Meskipun dalam banyak hal, seperti sikap memihak kepada golongan Sunni , kata Cak Nur, kaum Abbasiyah tak berbeda dari kaum Umayyah , tapi yang tersebut terdahulu itu menunjukkan minat yang lebih besar kepada hal-hal khusus keagamaan. Ini menciptakan suasana yang baik untuk pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya ilmu fikih.
Pada masa peralihan dari dinasti Umayyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana fiqih yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran (mazhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah.
Akan tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan ilmu fiqih, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]).
Menurut Cak Nur, pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]).
Harun al-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang al-kharaj (semacam sistem perpajakan) menurut hukum Islam (fiqih).
Abu Yusuf memenuhinya, tetapi buku yang ditulisnya dengan nama Kitab al-Kharaj itu menjadi lebih dari sekadar membahas soal perpajakan, melainkan telah menjelma menjadi usaha penyusunan sistematik dan kodifikasi ilmu fiqih yang banyak ditiru atau dicontoh oleh ahli-ahli yang datang kemudian.
Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj menyajikan kembali sistem hukum yang dipraktikkan di zaman Umayyah, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan (64-85 H [685-705 M]), yang dalam memerintah berusaha meneladani praktik Khalifah Umar ibn al-Khattab.
Mungkin karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut 'Ali (kaum Syiah), kaum Umayyah di Damaskus banyak menaruh simpati kepada 'Umar ibn al-Khattab, dan mengaku bahwa dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya mereka meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul yang kedua itu.
Oleh karena itu Kitab al-Kharaj banyak mengisahkan kembali kebijaksanaan Khalifah 'Umar, yang agaknya juga dikagumi oleh Harun al-Rasyid sendiri.
Dalam pengantar untuk karyanya itu, Abu Yusuf dengan tegas dan tandas menasihati dan memperingatkan Harun al-Rasyid untuk menjalankan amanat pemerintahannya dengan adil, seperti yang telah dilakukan oleh ' Umar bin Khattab .
Berikut salah satu kutipan dari Kitab al-Kharaj (Kairo: al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1382 H) karya Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim tersebut:
"... Sesungguhnya Amir al-Mu'minin --semoga Allah Ta'ala meneguhkannya-- telah meminta kepadaku untuk menulis sebuah buku yang komprehensif dan meminta agar aku menjelaskan untuknya hal-hal yang ia tanyakan kepadaku dari perkara yang hendak ia amalkan, serta agar aku menafsirkan dan menjabarkannya. Maka benar-benar telah aku jelaskan hal itu semua dan kujabarkan.
Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya Allah --segala puji bagi-Nya-- telah meletakkan di atas suatu perkara yang besar pahalanya adalah sebesar-besar pahala, dan siksanya adalah sebesar-besar siksa.
Allah telah meletakkan padamu urusan umat ini, maka engkau di waktu pagi maupun petang membangun untuk orang banyak yang Allah telah menitipkan mereka itu kepadamu, mempercayakan mereka kepadamu, menguji kamu dengan mereka itu, dan menyerahkan kepadamu urusan mereka itu.
Dan suatu bangunan tetap saja --jika didasarkan kepada selain takwa-- akan dirusakkan Allah dari sendi-sendinya kemudian merobohkannya menimpa orang yang membangunnya sendiri dan orang lain yang membantunya. Maka janganlah sekali-sekali menyia-nyiakan urusan umat dan rakyat yang telah dibebankan Allah kepadamu ini, sebab kekuatan berbuat itu terjadi hanya seizin Allah ..."
(mhy)