Hati-hati Belajar Agama Tidak Akan Sempurna Tanpa Guru

Senin, 05 Oktober 2020 - 09:30 WIB
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
Ustaz Miftah el-Banjary

Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an

Pepatah Arab mengatakan, "Wa innamal 'ilmu bitta'allum. Ilmu itu harus berguru." Pepatah ini sudah menjadi pakem bagi siapa saja yang ingin alim, ingin berilmu , harus berguru. Sebab ilmu tidak akan hasil sempurna kecuali memiliki seorang guru, seorang murabbi.

Hari ini banyak orang yang merasa berilmu hanya dengan membaca artikel di Google, belajar agama di Youtube, berguru di media sosial. Lalu merasa lebih berilmu dari orang yang duduk puluhan tahun membaca kitab di hadapan seorang guru. ( )

Al-Qur'an menegaskan:



هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ

"Tidak akan pernah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu pengetahuan..." (QS az-Zumar: Ayat 9)

Menguasai keilmuan agama yang layak disebut alim itu tidak semudah membuka website dan PDF atau membaca buku-buku terjemahan. Perlu puluhan tahun menghapal matan-matan kitab kuning. Tanya saja para tuan guru, kiyai, ustaz-ustaz pesantren itu bagaimana perjuangan mereka.

Ironisnya, ada orang belum pernah baca kitab, belum punya sanad keilmuan, mengklaim anti mazhab, anti fatwa, anti maulid, anti tahlil, anti bid'ah, anti ziarah kubur sebagainya. Bahkan, sekiranya dipaparkan pendapat para imam semisal Imam Suyuthi, Imam Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Nawawi, para ulama terdahulu yang tidak diragukan lagi hujjah serta pemahaman mereka terhadap teks-teks Al-Qur'an dan hadits, mereka menolak disebabkan kejahilannya.

Ada baiknya tidak saling menuding dan menyalahkan selama persoalan itu masih dalam perdebatan para ulama. Tentu, setiap perdebatan para ulama terkait persoalan khilafiyyah bukan menjadi ranah orang awam ikut mencela serta membid'ahkannya, bukan?

Sayangnya, para penuntut ilmu bermazhab Googliyyah ini, seringkali ketika diminta menjelaskan karya para ulama dari literatur klasik (Arab gundul, tanpa harakat) kebanyakan mingkem, tidak mampu menjelaskan dengan berbagai alasan. Bahkan tidak tahu apa itu ilmu Nahwu dan Sharaf, Manthiq, Balaghah, Dilalah belum dipelajari, apalagi dikuasai.

Sebuah dalil itu tidak ujug-ujug ada begitu saja. Tidak cukup melahirkan sebuah pendalilan dari terjemahannya Al-Qur'an semata. Terjemahan itu hanya alih bahasa untuk mendekatkan pemahaman, bukan makna hakiki. Prosesnya panjang. (Baca Juga: 15 Ilmu Ini Harus Dikuasai Jika Ingin Menafsirkan Al-Qur'an)

Untuk mengetahui sebuah makna suatu kata, perlu mempelajari dahulu ilmu Dilalah atau ilmu semantik Arab. Untuk mengetahui makna dilalah, harus masuk dulu pada analisa dilalah mu'jamiyyah (semantik makna kamus), baru dilalah nahwiyyah, sharfiyyahhinggasiyaqiyyah. Kebetulan ini bidang kajian saya dan saya mengajarkan ini.

Seperti kata Quru dalam Al-Qur'an dia bermakna ganda. Quru bisa berarti suci, Quru bisa berarti haid. Maknanya mengandung ambigiutas. Sama kata "Kafara" bisa bermakna keluar dari iman, bisa juga menghapuskan dosa.

Nah, pemaknaan secara semantik yang beragam ini nanti akan memunculkan berbagai intepretasi dan tafsiran dari berbagai para mufasir. Maka oleh karena itu, mengapa ada banyak ragam kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama kita sejak abad pertama, pertengahan hingga modern ini. Fenomena ini tidak pernah sunyi dan terhenti.

Untuk menentukan sebuah pendalilan yang melahirkan istinbath/ketetapan hukum juga tidak sederhana. Seseorang perlu memahami apa itu istilah Ushuli, seperti Am, Khas, Muaqayyad, Muthlak, Sharih, Mujmal, dan lain sebagainya.

Begitu pula dalam pendalilan dari sebuah hadis, perlu memahami dan menguasai, apa itu istilah: Asbabul Wurud, Tarajim, Rijalul Hadits, Tsiqqah, Mudallas, Mardud, dan sebagainya.

( )

Para Fuqaha membagi dasar hukum syariat itu hanya ada pada landasan Halal, Haram, Wajib, Sunnah, Makruh, Mubah. Tidak ada kategori hukum itu dikenal istilah hukum Bid'ah. Tidak ada dalam literatur Fiqh seperti demikian itu. Silakan dikaji dan didalami.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Yang pertama kali yang dihisab (dihitung) dari perbuatan seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika sempurna ia beruntung dan jika tidak sempurna, maka Allah Azza wa Jalla berfirman, Lihatlah apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat sunnah? Bila didapati ia memiliki amalan shalat sunnah, maka Dia berfirman Lengkapilah shalat wajibnya yang kurang dengan shalat sunnahnya

(HR. Nasa'i No. 463)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More