Siapa yang Mengamalkan Istighfar Ini Termasuk Ahli Surga
Rabu, 06 Januari 2021 - 11:29 WIB
Banyak jalan menuju surga salah satunya dengan memperbanyak dzikir dan istighfar (permohonan ampun). Allah Ta'ala menjanjikan surga bagi mereka yang istiqamah mengamalkan kalimat sayyidul istighfar (rajanya istighhar).
Allahumma Anta Rabbii La Ilaha Illa Anta Khalaqtanii wa Ana 'Abduka wa Ana 'Ala 'Ahdika wa wa'dika Mastatha'tu A'udzu Bika Min Syarri Ma Shana'tu Abuu-u Laka Bini'matika 'Alayya wa Abuu-u Laka Bidzanbii Faghfirli Fa Innahu La Yaghfirudz-Dzunuba Illaa Anta.
(Baca Juga: Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?)
Keutamaan
Al-Habib Quraisy Baharun menjelaskan keutamaan (fadhillah) Sayyidul Istighfar sebagaimana dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam satu hadisnya:
"Barangsiapa yang membacanya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk dari penghuni surga. Dan jika ia membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk dari penghuni surga." (HR Al-Bukhari)
Penjelasan Hadis
Ibin Abdirrahman Al-Bassam rahimahullah menjelaskan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menamakan isi hadis yang agung ini dengan "Sayyidul Istighfar" karena terkandung dalam hadis ini berbagai makna taubat dan merendahkan diri, yang hal tersebut tidak terdapat dalam hadis-hadis lainnya, yang juga mengandung makna taubat dan istighfar.
Imam ath-Thibiy rahimahullah berkata, "Doa ini mengandung makna-makna taubat secara menyeluruh maka digunakanlah istilah "sayyid", yang pada asalnya, sayyid itu artinya induk atau pimpinan yang dituju dalam semua keperluan dan semua urusan kembali kepadanya."
"Allahumma Anta Rabbi, Laa Ilaha Illa Anta" (Yaa Allah, Engkau adalah Rabb-ku, Tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau). Mengandung penetapan akan rububiyah dan uluhiyah Allah, serta menunjukkan bahwa si hamba menghinakan diri dan tunduk dihadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Khalaqtani" (Engkau telah menciptakan aku) merupakan pengakuan dari hamba, bahwa Allah adalah Rabb yang menciptakannya, dan tidak ada pencipta selain-Nya.
"Wa ana abduka" (dan aku adalah hamba-Mu) yakni hamba-Mu, baik secara kauni maupun syar'i. Secara kauni, Allah berhak melakukan apa saja terhadap hamba, berdasarkan kehendak-Nya. Adapun secara syar'i, si hamba menegakkan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
"Wa ana 'ala ahdika wa wa'dika" (Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu).
"Perjanjian-Mu" maknanya komitmen dengan beramal, sebab Allah telah mengambil perjanjian dengan manusia dengan diberikan kepada mereka ilmu dan akal serta diutus kepada mereka para Rasul, agar mereka beriman dan beribadah kepada-Nya, sehingga konsekuensinya adalah amalan saleh.
"Janji-Mu" maknanya, aku percaya akan balasan pahala yang Engkau janjikan, atas amalan sholeh, sehingga ini konseskuensinya adalah keimanan.
"Mastatho'tu" (sesuai kemampuanku), yakni mentaati-Mu berdasarkan kemampuan yang aku miliki. Sebab Allah Ta'ala tidaklah membebani hamba-Nya, kecuali berdasarkan kemampuan si hamba.
"Audzu bika min syarri ma shona'tu" (Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku), yakni aku berlindung dan berpegang dengan-Mu, akan akibat buruk dari dosaku. Karena sesungguhnya semua dosa merupakan keburukan dan berhak mendapatkan hukuman, kecuali yang dimaafkan oleh Allah Azza wa Jalla.
"Abuu-u laka bini'matika 'alayya" (Aku mengakui akan nikmat-Mu kepadaku). Hal ini merupakan bentuk pengkhususan akan kesyukuran dan mengenali berbagai nikmat Allah 'Azza wa Jalla. Kandungannya adalah kewajiban bersyukur atas nikmat dan berlepas diri dari kufur nikmat.
"Wa abuu-u laka bidzanbi" (dan aku mengakui dosaku kepada-Mu), yakni pengakuan akan seluruh dosa dan kesalahan, baik bentuknya melakukan hal yang dilarang ataupun kekurangan dalam mengerjakan kewajiban, hal ini akan membuka jalan menuju kepada taubat, dan meraih ampunan Allah Ta'ala.
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْت
Allahumma Anta Rabbii La Ilaha Illa Anta Khalaqtanii wa Ana 'Abduka wa Ana 'Ala 'Ahdika wa wa'dika Mastatha'tu A'udzu Bika Min Syarri Ma Shana'tu Abuu-u Laka Bini'matika 'Alayya wa Abuu-u Laka Bidzanbii Faghfirli Fa Innahu La Yaghfirudz-Dzunuba Illaa Anta.
(Baca Juga: Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?)
Keutamaan
Al-Habib Quraisy Baharun menjelaskan keutamaan (fadhillah) Sayyidul Istighfar sebagaimana dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam satu hadisnya:
"Barangsiapa yang membacanya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk dari penghuni surga. Dan jika ia membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk dari penghuni surga." (HR Al-Bukhari)
Penjelasan Hadis
Ibin Abdirrahman Al-Bassam rahimahullah menjelaskan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menamakan isi hadis yang agung ini dengan "Sayyidul Istighfar" karena terkandung dalam hadis ini berbagai makna taubat dan merendahkan diri, yang hal tersebut tidak terdapat dalam hadis-hadis lainnya, yang juga mengandung makna taubat dan istighfar.
Imam ath-Thibiy rahimahullah berkata, "Doa ini mengandung makna-makna taubat secara menyeluruh maka digunakanlah istilah "sayyid", yang pada asalnya, sayyid itu artinya induk atau pimpinan yang dituju dalam semua keperluan dan semua urusan kembali kepadanya."
"Allahumma Anta Rabbi, Laa Ilaha Illa Anta" (Yaa Allah, Engkau adalah Rabb-ku, Tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau). Mengandung penetapan akan rububiyah dan uluhiyah Allah, serta menunjukkan bahwa si hamba menghinakan diri dan tunduk dihadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Khalaqtani" (Engkau telah menciptakan aku) merupakan pengakuan dari hamba, bahwa Allah adalah Rabb yang menciptakannya, dan tidak ada pencipta selain-Nya.
"Wa ana abduka" (dan aku adalah hamba-Mu) yakni hamba-Mu, baik secara kauni maupun syar'i. Secara kauni, Allah berhak melakukan apa saja terhadap hamba, berdasarkan kehendak-Nya. Adapun secara syar'i, si hamba menegakkan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
"Wa ana 'ala ahdika wa wa'dika" (Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu).
"Perjanjian-Mu" maknanya komitmen dengan beramal, sebab Allah telah mengambil perjanjian dengan manusia dengan diberikan kepada mereka ilmu dan akal serta diutus kepada mereka para Rasul, agar mereka beriman dan beribadah kepada-Nya, sehingga konsekuensinya adalah amalan saleh.
"Janji-Mu" maknanya, aku percaya akan balasan pahala yang Engkau janjikan, atas amalan sholeh, sehingga ini konseskuensinya adalah keimanan.
"Mastatho'tu" (sesuai kemampuanku), yakni mentaati-Mu berdasarkan kemampuan yang aku miliki. Sebab Allah Ta'ala tidaklah membebani hamba-Nya, kecuali berdasarkan kemampuan si hamba.
"Audzu bika min syarri ma shona'tu" (Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku), yakni aku berlindung dan berpegang dengan-Mu, akan akibat buruk dari dosaku. Karena sesungguhnya semua dosa merupakan keburukan dan berhak mendapatkan hukuman, kecuali yang dimaafkan oleh Allah Azza wa Jalla.
"Abuu-u laka bini'matika 'alayya" (Aku mengakui akan nikmat-Mu kepadaku). Hal ini merupakan bentuk pengkhususan akan kesyukuran dan mengenali berbagai nikmat Allah 'Azza wa Jalla. Kandungannya adalah kewajiban bersyukur atas nikmat dan berlepas diri dari kufur nikmat.
"Wa abuu-u laka bidzanbi" (dan aku mengakui dosaku kepada-Mu), yakni pengakuan akan seluruh dosa dan kesalahan, baik bentuknya melakukan hal yang dilarang ataupun kekurangan dalam mengerjakan kewajiban, hal ini akan membuka jalan menuju kepada taubat, dan meraih ampunan Allah Ta'ala.