Kisah Habib Luthfi Bin Yahya dan Sebutir Nasi
Minggu, 18 April 2021 - 15:33 WIB
Kisah ulama kharismatik Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya ini boleh jadi pelajaran berharga bagi yang mencintai akhlak dan menjunjung tinggi adab para kaum sholihin. Berikut ceritanya diposting oleh Dawuh Habib Muhammad Lutfi Bin Hasyim Bin Yahyalewat media sosialnya, 14 April 2021.
Dalam perjalanan mencari ilmu, Habib Lutfi Bin Yahya berjumpa dengan seorang Kiyai Sepuh. Romo, Habib muda terheran saat menyaksikan akhlak Kiyai sepuh yang mengambil butiran nasi yang terjatuh saat sedang dhahar (makan), untuk dikembalikan ke piring dan dimakan kembali.
Baca Juga: Cara Makan Rasulullah yang Patut Diteladani (4)
"Kenapa harus diambil, Yai. Kan cuma nasi sebutir," ujar Habib Luthfi.
"Lho, jangan dilihat sebutir nasinya, Yik. Apa kamu bisa bikin nasi sebutir ini, bahkan seper seribu menir saja?"
Terdiamlah Romo Habib muda. Kiyai sepuh melanjutkan, "Ketahuilah, Yik. Pada saat kita makan nasi, Allah telah menyatukan banyak sekali peran. Mulai dari mencangkul, menggaru, meluku, menanam benih, memupuk, menjaga hama hingga memanen ada jasa banyak sekali hamba Allah di sana."
"Ketika ada satu butir nasi, atau menir sekalipun yang jatuh, ambillah. Jangan mentang-mentang kita masih banyak cadangan nasi. Itu bentuk dari takabur dan Allah tidak suka dengan manusia yang takabur. Selama jatuh tidak kotor dan tidak membawa mudhorot bagi kesehatan kita, ambillah, satukanlah dengan nasi lainnya, sebagai bagian syukur kita."
Romo Habib muda pun menyimak lebih dalam. "Karena itulah ketika akan makan, diajarkan doa: "Allahumma barik lana. Bukan 'Allahumma barik li', walau sedang makan sendirian."
"Kalimat Lana" itu maknanya untuk semuanya, mulai petani, pedagang, pengangkut, pemasak hingga penyaji, semuanya termaktub dalam doa tersebut. Jadi doa itu merupakan ucapan syukur serta mendoakan semua orang yg berperan dlm kehadiran nasi yang kita makan."
"Dan satu lagi, mengapa wong makan kok ada doa: "Waqinaa 'Adzaaban Nar. Apa hubungan makan dengan neraka? Kan gak nyambung."
"Inggih Yai. Kok bisa ya?" tanya Habib Luthfi.
"Begini, Yik. Kita makan ini hanya wasilah. Yang memberi kenyang itu Allah. Kalau kita makan dan menganggap bahwa yang mengenyangkan kita adalah makanan yang kita makan, maka takutlah, itu akan menjatuhkan kita dalam kemusyrikan. Dosa terbesar bagi orang beriman."
"Bayangkan saja, Yik. Jika kita makan dan minum tapi tidak hilang rasa lapar dan dahaga kita karena tidak dikehendaki Allah, apalah jadinya?"
Dalam perjalanan mencari ilmu, Habib Lutfi Bin Yahya berjumpa dengan seorang Kiyai Sepuh. Romo, Habib muda terheran saat menyaksikan akhlak Kiyai sepuh yang mengambil butiran nasi yang terjatuh saat sedang dhahar (makan), untuk dikembalikan ke piring dan dimakan kembali.
Baca Juga: Cara Makan Rasulullah yang Patut Diteladani (4)
"Kenapa harus diambil, Yai. Kan cuma nasi sebutir," ujar Habib Luthfi.
"Lho, jangan dilihat sebutir nasinya, Yik. Apa kamu bisa bikin nasi sebutir ini, bahkan seper seribu menir saja?"
Terdiamlah Romo Habib muda. Kiyai sepuh melanjutkan, "Ketahuilah, Yik. Pada saat kita makan nasi, Allah telah menyatukan banyak sekali peran. Mulai dari mencangkul, menggaru, meluku, menanam benih, memupuk, menjaga hama hingga memanen ada jasa banyak sekali hamba Allah di sana."
"Ketika ada satu butir nasi, atau menir sekalipun yang jatuh, ambillah. Jangan mentang-mentang kita masih banyak cadangan nasi. Itu bentuk dari takabur dan Allah tidak suka dengan manusia yang takabur. Selama jatuh tidak kotor dan tidak membawa mudhorot bagi kesehatan kita, ambillah, satukanlah dengan nasi lainnya, sebagai bagian syukur kita."
Romo Habib muda pun menyimak lebih dalam. "Karena itulah ketika akan makan, diajarkan doa: "Allahumma barik lana. Bukan 'Allahumma barik li', walau sedang makan sendirian."
"Kalimat Lana" itu maknanya untuk semuanya, mulai petani, pedagang, pengangkut, pemasak hingga penyaji, semuanya termaktub dalam doa tersebut. Jadi doa itu merupakan ucapan syukur serta mendoakan semua orang yg berperan dlm kehadiran nasi yang kita makan."
"Dan satu lagi, mengapa wong makan kok ada doa: "Waqinaa 'Adzaaban Nar. Apa hubungan makan dengan neraka? Kan gak nyambung."
"Inggih Yai. Kok bisa ya?" tanya Habib Luthfi.
"Begini, Yik. Kita makan ini hanya wasilah. Yang memberi kenyang itu Allah. Kalau kita makan dan menganggap bahwa yang mengenyangkan kita adalah makanan yang kita makan, maka takutlah, itu akan menjatuhkan kita dalam kemusyrikan. Dosa terbesar bagi orang beriman."
"Bayangkan saja, Yik. Jika kita makan dan minum tapi tidak hilang rasa lapar dan dahaga kita karena tidak dikehendaki Allah, apalah jadinya?"
(rhs)