Orang yang Merasa Tawadhu dan Ikhlas Bisa Jadi Bagian dari Riya

Rabu, 29 September 2021 - 13:59 WIB
Imam Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center. Foto/Ist
Imam Shamsi Ali

Presiden Nusantara Foundation,

Imam/Direktur Jamaica Muslim Center

Seringkali kata tawadhu dimaknai dengan ketidak inginan tampil atau menampakkan diri dan karya dalam kebaikan. Padahal, tampaknya atau tampilnya seseorang dalam kebaikan dan karya tidaklah selalu bermakna keangkuhan. Tidak juga selalu bermakna dan dimaknai sebagai riya (show off).

Dalam kebaikan dan karya dua kata sensitif (angkuh dan riya) itu perlu diselami, dihayati, dan disikapi secara jeli dalam penghakiman. Jika tidak, kemungkinan besar kita akan terjatuh ke dalam prilaku keangkuhan (dan riya). Atau sebaliknya terperangkap dalam penghakiman negatif terhadap orang lain yang justru sedang membangun kebaikan dan karya.



Karakter terbalik dari angkuh dan riya adalah tawadhu' dan ikhlas. Keduanya adalah dua karakter manusia yang bernilai tinggi dan (valuable) mulia (noble). Walau memang sering menjadi tipuan yang tidak disadari dalam kehidupan manusia. Masalahnya ada pada perasaan. Orang yang merasa paling tawadhu' justru itu sudah merupakan keangkuhan. Atau seseorang "merasa" ikhlas justru bisa jadi bagian dari riya.

Masalahnya memang perasaan manusia itu sering menipu. Merasa tawadhu, merasa ikhlas, merasa pintar, merasa hebat, merasa mampu, merasa kuat, dan berbagai perasaan telah banyak menipu manusia. Dan karenanya sesungguhnya yang terbaik dalam menyikapi semua itu adalah biarkanlah Dia Yang "Ahkamul Hakimin" (Allah) menghakimi. Karena Dia lebih tahu tentang diri kita dari kita sendiri.

Tawadhu dalam dakwah

Salah satu hal yang menuntut sikap dan karakter tawadhu (pastinya ikhlas) adalah kerja-kerja Dakwah yang kita lakukan. Hal itu penting karena secara prinsip Dakwah itu adalah ajakan kepada nilai (ilaa sabiili Allah). Dan tawadhu adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup manusia. Sehingga ajakan kepada nilai mulia (Dakwah) tapi tidak bernilai mulia (berkarakter) adalah "self paradox" (kontras pada dirinya).

Ketawadhuan dalam dakwah hendaknya bermula dari karakter sang da'i yang mengakui ketidaksempurnaan dan ragam kekurangan dalam berislam. Bahwa Islam itu dalam keyakinan kita sempurna. Tapi manusia yang berusaha mengikutinya, termasuk mereka yang di jalan Dakwah ini (para da'i) jauh dari kesempurnaan.

Kesadaran akan kekurangan kita dalam berislam itu menjadi motivasi untuk kita bermujahadah lagi dalam menambah kwalitas keislaman itu. Yang dengannya akan menjadi jalan untuk meningkatnya kwalitas Dakwah. Karena memang kualitas Dakwah itu ada pada ketauladanan dalam berislam itu sendiri.

Sebaliknya, bahaya dan malapetaka terbesar dalam dakwah ada pada karakter da'i yang angkuh. Merasa sempurna, merasa mampu, merasa superman. Mungkin ini pulalah salah satu makna ketika Rasulullah SAW justru diperintah meminta "Istigfar" di akhir hayatnya. Setelah kesuksesan Dakwah beliau justru diperintah meminta ampun (lihat Surah An-Nasr Al-Qur'an).

Tawadhu dalam dakwah juga ada pada bagaimana melihat "obyek Dakwah" itu sendiri. Bahwa siapapun dan bagaimanapun keadaannya semua orang memiliki sisi kebaikan dalam dirinya. Bahwa pada manusia itu ada jati diri yang paling mendasar yang tidak akan berubah. Itulah fitrah manusia.

Maka da'i yang tawadhu akan melihat semua orang dengan pandangan positif. Tidak menghakimi siapapun karena apapun dan bagaimanapun keadaannya. Tentu hal ini juga berarti bahwa da'i yang tawadhu akan selalu memandang obyek Dakwah dengan mata positif.

Ada sebuah pepatah terkenal yang mengatakan: "Nahnu du'aatun, lasna qudhootun" (kita adalah du'at dan bukan qadhi atau hakim).

Ketawadhuan pada sisi ini (memandang obyek Dakwah dengan mata positif) Sesungguhnya menjadi peringatan kepada Rasulullah SAW berkali-kali dalam Al-Qur'an. Satu contoh di antaranya ketika Allah berfiman: "Sesungguhnya engkau tidak mampu memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau cintai. Tapi Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki".

Ayat ini dan banyak lagi ayat lain Al-Qur'an menggambarkan bahwa konsep hidayah dalam dakwah itu ada di tangan Allah. Ini sekaligus bermakna bahwa kemungkinan untuk seseorang mendapat hidayah itu selalu ada.

Maka di satu sisi seorang da'i akan positif dalam melihat obyek dakwah (orang yang di dakwahi). Di sisi lain pandangan ini akan menjadikannya optimistik dalam menjalankan amanah dakwahnya.

Ketawadhuan (pandangan positif) kepada obyek Dakwah juga menyadarkan kita bahwa Dakwah itu tidak pernah, dan pastinya dilarang agama, untuk memaksakan Dakwah kepada orang lain. "Tidak ada pemaksaan dalam agama." (Al-Baqarah 256) adalah ayat yang sangat masyhur.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
cover top ayah
وَهُوَ الَّذِىۡ جَعَلَـكُمۡ خَلٰٓٮِٕفَ الۡاَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِىۡ مَاۤ اٰتٰٮكُمۡ‌ؕ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيۡعُ الۡعِقَابِ  ۖ وَاِنَّهٗ لَـغَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.

(QS. Al-An'am Ayat 165)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More