Pelakor Viral Lagi, Hati-hati Muslimah Dosanya Sangat Mengerikan
Kamis, 06 Januari 2022 - 12:56 WIB
Di jagat media sosial, lagi viral sebuah tayangan sinetron yang mengharu biru, karena rusaknya sebuah rumah tangga karena kehadiran seorang wanita perebut suami orang ( pelakor ). Bagi seorang istri sah, kehadiran pelakor jelas-jelas sangat menyakitkan dan merusak keharmonisan rumah tangganya. Bagaimana sebenarnya pandangan syariat tentang kehadiran pelakor ini?
Dalam Islam, di antara usaha setan yang paling dahsyat dalam menggoda manusia adalah memisahkan seorang suami dan istrinya, menumbuhkan kebencian setelah kecintaan , menanamkan rasa jauh setelah dekat dan merusak hubungan baik antara keduanya. Agar masing-masing mendapatkan apa yang dimauinya dan merasa egois dengan pasangannya. Jadi setan akan berusaha dengan segala kemampuannya dengan tangan dan kakinya untuk menjerumuskan mereka.
Dari Jabir radhiyallahu'anhu diriwiayatkan bahwa ia berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian dia mengutus bela tentaranya. Maka yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang paling besar menebar fitnah. Salah satu dari mereka akan datang, lalu berkata " Aku telah mengerjakan demikian dan demikian. Iblis berkata,"Kamu belum mengerjakan sesuatu". Perawi berkata,"Kemudian datang lagi salah satu dari mereka dan berkata," Aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku mampu memisahkan antara dirinya dengan istrinya". Perawi berkata lagi, "Akhirnya dia didekatkan kepada iblis, lalu iblis berkata,"Bagus Engkau". Perawi berkata, Iblis pun merangkul dan memeluknya". (Shahih Muslim)
Yang patut disayangkan adalah ada sebagian wanita yang menduduki peran setan dalam perselisihan antara suami dan istri ini. Bahkan ada yang sampai merusak hubungan baik antara suami dan istri dengan cara membeberkan segala aib dan kekurangannya, kelemahannya, buruknya kepemimpinannya, membanding-bandingkan dengan yang lain, membuat kebohongan, menyebarkan fitnah, membuat-buat cerita bohong, perkara kecil sebesar biji sawi menjadi kubah, dan perkara yang remeh menjadi besar, lebih besar daripada gunung yang tinggi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata Rasulullah bersabda :
"Bukan termasuk golongan kami sesorang yang menghancurkan hubungan baik antara istri dengan suaminya, atau antara seorang budak dengan tuannya," (Shahih Abu Dawud(II/410) (1906).
Hadis di atas menunjukan bahwa merebut atau merusak hubungan antara istri dan suaminya atau sebaliknya merusak hubungan suami dengan istrinya, tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan, Rasul mengancam bahwa orang yang merusak pasangan suami istri itu sebagai bukan bagian dari Islam. Jangankan merebut suami atau istri orang lain, meminang pinangan orang lain saja tidak dibolehkan. Rasulullah melarang seorang laki-laki meminang pinangan orang lain, kecuali kalau sudah jelas laki-laki tersebut sudah memutuskan pinangannya. (HR: Ahmad).
Dengan bahasa lain, upaya merusak keharmonisan rumah tangga orang lain bukanlah jalan hidup yang disyariatkan oleh agama Islam karena upaya destruktif ini berlawanan arah dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Sementara pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, Rasulullah SAW dengan lugas melarang perempuan untuk menuntut seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan maksud menguasai apa yang menjadi hak istrinya selama ini.
Berikut ini kami kutip hadits riwayat Imam At-Tirmidzi:
Artinya: Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda: Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya. (HR Tirmidzi).
Ulama berbeda pendapat perihal siapa perempuan yang dimaksud. Sebagian ulama memahami bahwa perempuan itu adalah pihak ketiga yang ingin merebut suami orang lain. Pandangan ini dikemukakan oleh Imam An-Nawawi.
Sementara ulama lain memaknai perempuan dalam hadis ini sebagai salah seorang istri dari pria yang melakukan poligami. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibnu Abdil Bar.
Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Al-Mubarakfuri dalam Syarah Jami’ At-Tirmidzi berikut ini:
"Imam An-Nawawi berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bagi seorang perempuan (pihak ketiga) untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya agar lelaki itu menalak istrinya dan menikahi perempuan pihak ketiga ini. Ibnu Abdil Bar memaknai kata ‘saudaranya’ sebagai istri madu suaminya. Menurutnya, ini bagian dari fiqih di mana seorang perempuan tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istri selain dirinya agar hanya ia seorang diri yang menjadi istri suaminya.
Kata Al-Hafiz, makna ini mungkin lahir dari riwayat dengan redaksi, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya.’ Sedangkan riwayat yang memakai redaksi syarat, yaitu dengan ungkapan ‘Seorang perempuan tidak sepatutnya mensyaratkan perceraian saudaranya untuk membalik tumpah isi nampannya,’ jelas bahwa perempuan di sini adalah perempuan yang menjadi pihak ketiga. Pengertian ini diperkuat dengan redaksi, ‘agar ia (pihak ketiga) dapat menikah’, yaitu menikah dengan dengan suami saudaranya itu tanpa mensyaratkan lelaki tersebut menceraikan istri-istri sebelum dirinya. (Lihat M Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 369).
Dari pelbagai keterangan ini, kita mendapat gambaran bahwa agama mengharamkan upaya perempuan (pihak ketiga) merebut suami orang lain baik dengan maksud menguasai harta atau dengan maksud menikah dengan suami orang lain meski tanpa syarat menceraikan istri sebelumnya.
Dalam Islam, di antara usaha setan yang paling dahsyat dalam menggoda manusia adalah memisahkan seorang suami dan istrinya, menumbuhkan kebencian setelah kecintaan , menanamkan rasa jauh setelah dekat dan merusak hubungan baik antara keduanya. Agar masing-masing mendapatkan apa yang dimauinya dan merasa egois dengan pasangannya. Jadi setan akan berusaha dengan segala kemampuannya dengan tangan dan kakinya untuk menjerumuskan mereka.
Dari Jabir radhiyallahu'anhu diriwiayatkan bahwa ia berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian dia mengutus bela tentaranya. Maka yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang paling besar menebar fitnah. Salah satu dari mereka akan datang, lalu berkata " Aku telah mengerjakan demikian dan demikian. Iblis berkata,"Kamu belum mengerjakan sesuatu". Perawi berkata,"Kemudian datang lagi salah satu dari mereka dan berkata," Aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku mampu memisahkan antara dirinya dengan istrinya". Perawi berkata lagi, "Akhirnya dia didekatkan kepada iblis, lalu iblis berkata,"Bagus Engkau". Perawi berkata, Iblis pun merangkul dan memeluknya". (Shahih Muslim)
Yang patut disayangkan adalah ada sebagian wanita yang menduduki peran setan dalam perselisihan antara suami dan istri ini. Bahkan ada yang sampai merusak hubungan baik antara suami dan istri dengan cara membeberkan segala aib dan kekurangannya, kelemahannya, buruknya kepemimpinannya, membanding-bandingkan dengan yang lain, membuat kebohongan, menyebarkan fitnah, membuat-buat cerita bohong, perkara kecil sebesar biji sawi menjadi kubah, dan perkara yang remeh menjadi besar, lebih besar daripada gunung yang tinggi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata Rasulullah bersabda :
"Bukan termasuk golongan kami sesorang yang menghancurkan hubungan baik antara istri dengan suaminya, atau antara seorang budak dengan tuannya," (Shahih Abu Dawud(II/410) (1906).
Hadis di atas menunjukan bahwa merebut atau merusak hubungan antara istri dan suaminya atau sebaliknya merusak hubungan suami dengan istrinya, tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan, Rasul mengancam bahwa orang yang merusak pasangan suami istri itu sebagai bukan bagian dari Islam. Jangankan merebut suami atau istri orang lain, meminang pinangan orang lain saja tidak dibolehkan. Rasulullah melarang seorang laki-laki meminang pinangan orang lain, kecuali kalau sudah jelas laki-laki tersebut sudah memutuskan pinangannya. (HR: Ahmad).
Dengan bahasa lain, upaya merusak keharmonisan rumah tangga orang lain bukanlah jalan hidup yang disyariatkan oleh agama Islam karena upaya destruktif ini berlawanan arah dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Sementara pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, Rasulullah SAW dengan lugas melarang perempuan untuk menuntut seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan maksud menguasai apa yang menjadi hak istrinya selama ini.
Berikut ini kami kutip hadits riwayat Imam At-Tirmidzi:
عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
Artinya: Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda: Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya. (HR Tirmidzi).
Ulama berbeda pendapat perihal siapa perempuan yang dimaksud. Sebagian ulama memahami bahwa perempuan itu adalah pihak ketiga yang ingin merebut suami orang lain. Pandangan ini dikemukakan oleh Imam An-Nawawi.
Sementara ulama lain memaknai perempuan dalam hadis ini sebagai salah seorang istri dari pria yang melakukan poligami. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibnu Abdil Bar.
Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Al-Mubarakfuri dalam Syarah Jami’ At-Tirmidzi berikut ini:
"Imam An-Nawawi berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bagi seorang perempuan (pihak ketiga) untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya agar lelaki itu menalak istrinya dan menikahi perempuan pihak ketiga ini. Ibnu Abdil Bar memaknai kata ‘saudaranya’ sebagai istri madu suaminya. Menurutnya, ini bagian dari fiqih di mana seorang perempuan tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istri selain dirinya agar hanya ia seorang diri yang menjadi istri suaminya.
Kata Al-Hafiz, makna ini mungkin lahir dari riwayat dengan redaksi, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya.’ Sedangkan riwayat yang memakai redaksi syarat, yaitu dengan ungkapan ‘Seorang perempuan tidak sepatutnya mensyaratkan perceraian saudaranya untuk membalik tumpah isi nampannya,’ jelas bahwa perempuan di sini adalah perempuan yang menjadi pihak ketiga. Pengertian ini diperkuat dengan redaksi, ‘agar ia (pihak ketiga) dapat menikah’, yaitu menikah dengan dengan suami saudaranya itu tanpa mensyaratkan lelaki tersebut menceraikan istri-istri sebelum dirinya. (Lihat M Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 369).
Dari pelbagai keterangan ini, kita mendapat gambaran bahwa agama mengharamkan upaya perempuan (pihak ketiga) merebut suami orang lain baik dengan maksud menguasai harta atau dengan maksud menikah dengan suami orang lain meski tanpa syarat menceraikan istri sebelumnya.
Lihat Juga :