Kisah Sufi Isra' Mikraj: Ketika Sultan Menjadi Orang Buangan
Minggu, 06 Februari 2022 - 09:44 WIB
Tiap ayat dalam Al-Qur'an mempunyai tujuh arti, masing-masing sesuai untuk keadaan pembaca atau pendengar. Kisah ini, seperti juga kisah Sufi lainnya, menekankan ucapan Nabi Muhammad SAW : "Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan tingkat pemahamannya."
Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawwas, adalah: "Tunjukkan hal-hal yang tak dimengerti dengan menggunakan istilah-istilah yang bisa 'dimengerti' oleh khalayak."
Idries Shah dalam bukunya "Tales of The Dervishes" menjelaskan versi kisah berikut ini berasal dari manuskrip berjudul Hu-Nama (Kitab Hu), dalam kumpulan Nawab Sardhana, tertulis tahun 1596. Berikut kisahnya:
Alkisah, seorang Sultan Mesir mengumpulkan orang-orang terpelajar, dan segera saja seperti biasanya, timbullah perdebatan. Pokok persoalannya adalah Mi'raj Nabi Muhammad. Dikatakan, dalam peristiwa tersebut, Nabi dibawa dari tempat tidurnya ke langit tinggi. Selama itu ia melihat surga dan neraka, berbincang dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai pengalaman dain --dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Periuk air yang jatuh dan tertumpah isinya karena pengangkatan ke langit itu belum kosong ketika Nabi pulang.
Beberapa orang yang hadir berpendapat bahwa hal itu mungkin saja terjadi mengingat ukuran waktu di bumi dan di langit tentu saja berbeda. Namun, Sultan menganggapnya tidak masuk akal.
Para bijak mengatakan bahwa segala sesuatu adalah mungkin dengan kekuasaan Tuhan. Penjelasan ini pun tak memuaskan Baginda.
Kabar perdebatan ini akhirnya sampai kepada Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja datang ke istana. Sultan menunjukkan rasa hormat terhadap guru itu, yang berkata, "Saya bermaksud membuktikan sesuatu tanpa menunda lagi: Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan ada hal-hal yang bisa ditunjukkan, yang kiranya menjelaskan peristiwa itu tanpa perlu berspekulasi secara gegabah atau menggunakan penalaran sembarangan dan tak bermutu."
Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Syeh itu minta agar yang satu dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di gunung yang berada di kejauhan tampak olehnya bala tentara beribu-ribu bergerak menyerbu istana. Sultan sangat ketakutan dibuatnya.
"Lupakan saja, itu tidak sungguhan," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela dan membukanya kembali. Kali ini laskar penyerbu itu sudah lenyap.
Ketika dibukanya jendela yang lain, kota di luar istana tampak terbakar api. Sultan berteriak panik.
"Jangan cemas Sultan, tak terjadi apa-apa," kata Syeh. Ketika ia menutup dan kembali membuka jendela itu, tak ada Iagi api yang tampak.
Dari jendeIa ketiga terlihat bajir bandang menuju istana. Dan, banjir itu pun seakan hanya mimpi.
Lalu, jendela keempat dibuka, dan, alih-alih gurun pasir, yang terlihat justru sebuah taman surga. Ketika jendela ditutup dan dibuka lagi, pemandangan itu sudah menguap.
Kemudian, Syeh itu minta dibawakan seember air. Dimintanya pula agar Sultan memasukkan kepalanya ke dalam air sesaat raja.
Setelah melakukan permintaan itu, secara gaib Sultan menemukan dirinya berada di sebuah pantai terpencil, di tempat yang sama sekali asing baginya. Sultan murka betul akan muslihat Syeh itu.
Tak lama kemudian, ia bertemu dengan beberapa penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan dirinya yang sebenamya, ia mengatakan bahwa kapalnya kecelakaan dan membuatnya terdampar di pantai itu.
Mereka memberinya pakaian, dan ia pun berjalan masuk ke sebuah kota. Di sana ada seorang pandai besi yang melihatnya berkelana tanpa tujuan, menanyakan siapa dirinya. "Saya seorang saudagar yang terdampar," jawab Sultan, "saya pun tak punya apa-apa lagi selain beberapa potong pakaian dari penebang kayu yang baik hati."
Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawwas, adalah: "Tunjukkan hal-hal yang tak dimengerti dengan menggunakan istilah-istilah yang bisa 'dimengerti' oleh khalayak."
Idries Shah dalam bukunya "Tales of The Dervishes" menjelaskan versi kisah berikut ini berasal dari manuskrip berjudul Hu-Nama (Kitab Hu), dalam kumpulan Nawab Sardhana, tertulis tahun 1596. Berikut kisahnya:
Alkisah, seorang Sultan Mesir mengumpulkan orang-orang terpelajar, dan segera saja seperti biasanya, timbullah perdebatan. Pokok persoalannya adalah Mi'raj Nabi Muhammad. Dikatakan, dalam peristiwa tersebut, Nabi dibawa dari tempat tidurnya ke langit tinggi. Selama itu ia melihat surga dan neraka, berbincang dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai pengalaman dain --dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Periuk air yang jatuh dan tertumpah isinya karena pengangkatan ke langit itu belum kosong ketika Nabi pulang.
Beberapa orang yang hadir berpendapat bahwa hal itu mungkin saja terjadi mengingat ukuran waktu di bumi dan di langit tentu saja berbeda. Namun, Sultan menganggapnya tidak masuk akal.
Para bijak mengatakan bahwa segala sesuatu adalah mungkin dengan kekuasaan Tuhan. Penjelasan ini pun tak memuaskan Baginda.
Kabar perdebatan ini akhirnya sampai kepada Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja datang ke istana. Sultan menunjukkan rasa hormat terhadap guru itu, yang berkata, "Saya bermaksud membuktikan sesuatu tanpa menunda lagi: Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan ada hal-hal yang bisa ditunjukkan, yang kiranya menjelaskan peristiwa itu tanpa perlu berspekulasi secara gegabah atau menggunakan penalaran sembarangan dan tak bermutu."
Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Syeh itu minta agar yang satu dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di gunung yang berada di kejauhan tampak olehnya bala tentara beribu-ribu bergerak menyerbu istana. Sultan sangat ketakutan dibuatnya.
"Lupakan saja, itu tidak sungguhan," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela dan membukanya kembali. Kali ini laskar penyerbu itu sudah lenyap.
Ketika dibukanya jendela yang lain, kota di luar istana tampak terbakar api. Sultan berteriak panik.
"Jangan cemas Sultan, tak terjadi apa-apa," kata Syeh. Ketika ia menutup dan kembali membuka jendela itu, tak ada Iagi api yang tampak.
Dari jendeIa ketiga terlihat bajir bandang menuju istana. Dan, banjir itu pun seakan hanya mimpi.
Lalu, jendela keempat dibuka, dan, alih-alih gurun pasir, yang terlihat justru sebuah taman surga. Ketika jendela ditutup dan dibuka lagi, pemandangan itu sudah menguap.
Kemudian, Syeh itu minta dibawakan seember air. Dimintanya pula agar Sultan memasukkan kepalanya ke dalam air sesaat raja.
Setelah melakukan permintaan itu, secara gaib Sultan menemukan dirinya berada di sebuah pantai terpencil, di tempat yang sama sekali asing baginya. Sultan murka betul akan muslihat Syeh itu.
Tak lama kemudian, ia bertemu dengan beberapa penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan dirinya yang sebenamya, ia mengatakan bahwa kapalnya kecelakaan dan membuatnya terdampar di pantai itu.
Mereka memberinya pakaian, dan ia pun berjalan masuk ke sebuah kota. Di sana ada seorang pandai besi yang melihatnya berkelana tanpa tujuan, menanyakan siapa dirinya. "Saya seorang saudagar yang terdampar," jawab Sultan, "saya pun tak punya apa-apa lagi selain beberapa potong pakaian dari penebang kayu yang baik hati."