Kapan Lebaran? Ini Dalil Mengapa NU Selalu Ikuti Keputusan Pemerintah

Selasa, 26 April 2022 - 14:52 WIB
NU menyerahkan hak itsbat kepada pemerintah sebagai waliyul amri. Foto/Ilustrasi: Ist
Suatu ketika kiai yang ahli falak, KH Ma'sum Ali Jombang menabuh bedug bertalu-talu di masjid sebagai tanda bahwa Idul Fitri telah datang. Mendengar itu, KH Hasyim Asy’ari kaget bukan kepalang. “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedugan duluan?” tegur KH Hasyim Asy’ari kepada menantunya itu.

KH Ma'sum Ali ahli yang juga menulis kitab tentang falak . Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi/melihat hilal)-nya sendiri.



Nah, sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Ma'sum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu. Hanya saja, apa yang dilakukan Kiai Ma'sum ini tidak disetujui Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Mendapat teguran dari mertuanya itu, Kiai Maksum segera menjawab dengan tawadhu (hormat). “Inggih (iya) romo kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”



“Soal keyakinan ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” jelas Kiai Hasyim Asy’ari.

“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (dikabarkan), Romo?” tanya Kiai Ma'sum.

“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.

“Inggih Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya.

Kisah "lebaran mertua dan menantu" ini disampaikan salah seorang ulama ahli falak, KH Ahmad Ghazalie Masroeri, sebagaimana dilansir laman Nahdlatul Ulama.



Abdul Mun’im (2017) mencatat, pendirian Kiai Hasyim Asy’ari itu kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.

Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.

Di situlah para ulama pesantren berupaya mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena walau bagaimana pun, ulama sebagai warga negara punya kewajiban menaati ulil amri. Namun demikian, ulama juga mempunyai peran penting dalam mengingatkan dan mengkritik kebijakan penguasa yang mengabaikan kepentingan rakyat.

Kitab Kuning

Sejatinya, pondok pesantren telah banyak melahirkan ulama ahli falak yang dapat menghitung masa setiap tahunnya melalui hisab maupun rukyat. Beberapa literatur kitab kuning yang membahas detail tentang ilmu falak juga dipelajari di pesantren. Bahkan di perguruan tinggi.

Meskipun mempunyai kepakaran dalam ilmu perhitungan bulan dan matahari, ulama NU dalam wadah Lembaga Falakiyah tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah keputusan, melainkan kabar (ikhbar). Karena wilayah keputusan ada di tangan pemerintah yang sah.

Di antara ulama falak dari pesantren yang masyhur ialah KHR Ahmad Dahlan Al-Falaki Al Tarmasi (adik kandung Syekh Mahfuzh al-Tarmasi), KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi Kudus, KH Ma’sum Ali Jombang, KHR Ma’mun Nawawi Cibogo-Cibarusah Bekasi, KH Zubair Umar Salatiga, KH Misbachul Munir Magelang, KH Ahmad Ghazalie Masroeri, KH Muhammad Manshur atau Guru Manshur Jakarta, KH Noor Ahmad, KH Ghozali Muhammad, dan lainnya.

Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
cover top ayah
لَقَدۡ كَفَرَ الَّذِيۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الۡمَسِيۡحُ ابۡنُ مَرۡيَمَ‌ ؕ وَقَالَ الۡمَسِيۡحُ يٰبَنِىۡۤ اِسۡرَآءِيۡلَ اعۡبُدُوا اللّٰهَ رَبِّىۡ وَرَبَّكُمۡ‌ ؕ اِنَّهٗ مَنۡ يُّشۡرِكۡ بِاللّٰهِ فَقَدۡ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِ الۡجَـنَّةَ وَمَاۡوٰٮهُ النَّارُ‌ ؕ وَمَا لِلظّٰلِمِيۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ
Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam. Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zhalim itu.

(QS. Al-Maidah Ayat 72)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More