3 Versi Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 115
Kamis, 08 Desember 2022 - 19:37 WIB
Kiai Haji Masdar Farid Mas'udi menjelaskan sumber pengetahuan tentang asbab al-nuzul diperoleh dari penuturan para Sahabat Nabi . Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan Kerasulan Beliau, yaitu berita-berita Hadis. Karena itu bersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih dan dha'if; serta otentik dan palsunya.
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Konsep Abab Al-Nuzul, Relevansinya bagi Pandangan Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan", Rais Syuriyah PBNU ini menjelaskan semua ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik hadis (ilmu tajrih dan ta'dil) para ahli.
"Seperti halnya persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis," jelasnya.
Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman dalam QS al-Baqarah ayat 115. Allah SWT berfirman:
وَلِلّٰهِ الۡمَشۡرِقُ وَالۡمَغۡرِبُ ۚ فَاَيۡنَمَا تُوَلُّوۡا فَثَمَّ وَجۡهُ اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ
Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. ( QS Al-Baqarah : 115)
Berdasarkan penuturan Jabil ibn 'Abd-Allah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi lain tentang sebab turunnya firman terrsebut, sehingga implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda.
Pertama, berdasarkan penuturan Abd 'l-Lah ibn 'Umar, seseorang boleh melakukan sholat sunnah kemanapun di atas kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap ke manapun dalam keadaan darurat, apalagi jika sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnah, tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai sholat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertakwa kepada-Nya.
Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid al-Haram di Mekkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut sebenarnya nilai sholat itu.
Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia. Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan.
Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar dan jauh di antara seluruh umat Islam di dunia dalam hal sholat dan peribadatan lain.
Menurut Kiai Masdar, dalam agama lain, perbedaan sangat terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte.
Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu demikian pentingnya, kata Kiai Masdar, namun berdasarkan firman Allah yang menegaskan bahwa kemanapun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Mekkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna.
Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang.
Kedua, berdasarkan penuturan 'Abd 'l-Lah ibn 'Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan shalat jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim.
Najasyi adalah raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum muslim dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penyiksaan kaum musyrik Mekkah.
Perlakuan yang amat simpatik kepada kaum muslim dan sikapnya yang penuh pengertian kepada ajaran Islam yang menyebabkan turunnya firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat umat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum muslim ialah "mereka yang berkata, "Kami adalah orang-orang Nasrani" ( QS al-Maidah/6 :82).
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Konsep Abab Al-Nuzul, Relevansinya bagi Pandangan Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan", Rais Syuriyah PBNU ini menjelaskan semua ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik hadis (ilmu tajrih dan ta'dil) para ahli.
"Seperti halnya persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis," jelasnya.
Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman dalam QS al-Baqarah ayat 115. Allah SWT berfirman:
وَلِلّٰهِ الۡمَشۡرِقُ وَالۡمَغۡرِبُ ۚ فَاَيۡنَمَا تُوَلُّوۡا فَثَمَّ وَجۡهُ اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ
Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. ( QS Al-Baqarah : 115)
Berdasarkan penuturan Jabil ibn 'Abd-Allah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi lain tentang sebab turunnya firman terrsebut, sehingga implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda.
Pertama, berdasarkan penuturan Abd 'l-Lah ibn 'Umar, seseorang boleh melakukan sholat sunnah kemanapun di atas kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap ke manapun dalam keadaan darurat, apalagi jika sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnah, tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai sholat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertakwa kepada-Nya.
Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid al-Haram di Mekkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut sebenarnya nilai sholat itu.
Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia. Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan.
Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar dan jauh di antara seluruh umat Islam di dunia dalam hal sholat dan peribadatan lain.
Menurut Kiai Masdar, dalam agama lain, perbedaan sangat terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte.
Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu demikian pentingnya, kata Kiai Masdar, namun berdasarkan firman Allah yang menegaskan bahwa kemanapun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Mekkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna.
Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang.
Kedua, berdasarkan penuturan 'Abd 'l-Lah ibn 'Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan shalat jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim.
Najasyi adalah raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum muslim dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penyiksaan kaum musyrik Mekkah.
Perlakuan yang amat simpatik kepada kaum muslim dan sikapnya yang penuh pengertian kepada ajaran Islam yang menyebabkan turunnya firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat umat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum muslim ialah "mereka yang berkata, "Kami adalah orang-orang Nasrani" ( QS al-Maidah/6 :82).