Pelakor Kian Ngetren, Begini Hukum Perebut Suami Orang
loading...
A
A
A
Pelakor kian ngetren saja. Padahal tindakan perebut suami orang sangat dilarang dalam Islam. Sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW menjelaskan soal itu. Hanya saja, sebelum kita bahas soal hukumnya mari kita mengenal dulu apa itu pelakor.
Istilah pelakor memuncaki trending twitter Rabu (22/2/2022). Sebanyak 1.724 tweet menggunakan istilah itu. Pelakor merupakan akronim dari Perebut Lelaki Orang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Kemdikbud mendefinisikan pelakor sebagai perebut laki orang; sebutan utk perempuan yang menggoda dan merebut suami orang; selingkuhan. Secara sederhana, berdasarkan ini, pelakor merujuk pada perilaku merebut lelaki atau suami orang lain.
Merujuk pada hal ini, maka istilah pelakor merupakan perilaku tercela dan mengarah pada perselingkuhan. Adapun yang dimaksud selingkuh ialah mempunyai hubungan asmara atau percintaan dengan lelaki lain yang telah memiliki pasangan yang sah.
Mengutuk Keras
Terlepas dari trendnya istilah ini, ternyata Islam sangat mengutuk keras perilaku merebut suami orang. Larangan ini tertera dalam beberapa sabda Rasullullah SAW .
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه
Artinya, “Dari Abu Hurairah RA , ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya.” (HR Abu Dawud).
Hadis ini menjelaskan bahwa agama Islam menilai buruk aktivitas tipu daya yang dilakukan seorang lelaki untuk menjauhkan seorang perempuan dari suaminya. Agama mengecam keras pelbagai upaya riil seseorang sekalipun dengan cara memperdaya seorang perempuan dalam rangka merusak hubungan rumah tangganya dengan sang suami.
Kecaman agama ini tidak hanya menyasar lelaki sebagai pihak ketiga dalam rumah tangga.
Islam juga mengecam keras perempuan yang melakukan upaya-upaya serupa dalam rangka merebut hati suami orang lain sebagai penjelasan atas hadis berikut ini:
لَيْسَ مِنَّا) أي من أتباعنا (مَنْ خَبَّبَ) بتشديد الباء الأولى بعد الخاء المعجمة أي خدع وأفسد (امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها) بأن يذكر مساوىء الزوج عند امرأته أو محاسن أجنبي عندها (أَوْ عَبْدًا) أي أفسده (عَلَى سَيِّدِه) بأي نوع من الإفساد وفي معناهما إفساد الزوج على امرأته والجارية على سيدها قال المنذري وأخرجه النسائي
Artinya, “(Bukan bagian dari) pengikut (kami, orang yang menipu) melakukan tipu daya dan merusak kepercayaan (seorang perempuan atas suaminya) misalnya menyebut keburukan seseorang lelaki di hadapan istrinya atau menyebut kelebihan lelaki lain di hadapan istri seseorang (atau seorang budak atas tuannya) dengan cara apa saja yang merusak hubungan keduanya. Semakna dengan ini adalah upaya yang dilakukan untuk merusak hubungan seorang laki-laki terhadap istrinya atau merusak hubungan seorang budak perempuan terhadap tuannya." Al-Mundziri mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan An-Nasai. (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 967).
Keterangan (syarah) hadis di atas cukup jelas bahwa pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga tidak dianggap sebagai pengikut Rasulullah SAW dan umat Islam. Dengan bahasa lain, upaya merusak keharmonisan rumah tangga orang lain bukanlah jalan hidup yang disyariatkan oleh agama Islam karena upaya destruktif ini berlawanan arah dengan tujuan perkawinan itu sendiri.
Sementara pada hadis riwayat Imam At-Tirmidzi, Rasulullah SAW dengan lugas melarang perempuan untuk menuntut seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan maksud menguasai apa yang menjadi hak istrinya selama ini. Berikut hadis riwayat Imam At-Tirmidzi:
عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
Artinya, “Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya.” (HR Tirmidzi).
Ulama berbeda pendapat perihal siapa perempuan yang dimaksud. Sebagian ulama memahami bahwa perempuan itu adalah pihak ketiga yang ingin merebut suami orang lain.
Pandangan ini dikemukakan oleh Imam An-Nawawi. Sementara ulama lain memaknai perempuan dalam hadis ini sebagai salah seorang istri dari pria yang melakukan poligami. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibnu Abdil Bar.
Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Al-Mubarakfuri dalam Syarah Jami’ At-Tirmidzi berikut ini:
Imam An-Nawawi berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bagi seorang perempuan (pihak ketiga) untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya agar lelaki itu menalak istrinya dan menikahi perempuan pihak ketiga ini.
Ibnu Abdil Bar memaknai kata ‘saudaranya’ sebagai istri madu suaminya. Menurutnya, ini bagian dari fiqih di mana seorang perempuan tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istri selain dirinya agar hanya ia seorang diri yang menjadi istri suaminya.
Kata Al-Hafiz, makna ini mungkin lahir dari riwayat dengan redaksi, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya.’
Sedangkan riwayat yang memakai redaksi syarat, yaitu dengan ungkapan ‘Seorang perempuan tidak sepatutnya mensyaratkan perceraian saudaranya untuk membalik tumpah isi nampannya,’ jelas bahwa perempuan di sini adalah perempuan yang menjadi pihak ketiga.
Pengertian ini diperkuat dengan redaksi, ‘agar ia (pihak ketiga) dapat menikah’, yaitu menikah dengan dengan suami saudaranya itu tanpa mensyaratkan lelaki tersebut menceraikan istri-istri sebelum dirinya,” (Lihat M Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 369).
Hukumnya Haram
Dari pelbagai keterangan ini, kita mendapat gambaran bahwa Islam mengharamkan upaya perempuan (pihak ketiga) merebut suami orang lain baik dengan maksud menguasai harta atau dengan maksud menikah dengan suami orang lain meski tanpa syarat menceraikan istri sebelumnya.
Secara umum, kita mendapatkan gambaran bahwa yang dimaksud dengan merebut suami orang lain adalah dilihat dari peran aktif perempuan sebagai pihak ketiga tersebut dengan pelbagai cara menarik hati suami orang lain.
Larangan ini beralasan. Pasalnya, batasan-batasan terkait perkawinan semacam ini bertujuan untuk menata kehidupan sosial melalui penataan rumah tangga pasangan yang harmonis tanpa kehadiran pihak ketiga yang biasanya lebih banyak mengandung mudarat dan masalah.
Tentu saja larangan ini tetap berlaku bagi perempuan pihak ketiga terlepas dari respon suami yang pada dasarnya memang hidung belang yang membuka kesempatan bagi pihak ketiga. Tetapi pada prinsipnya, upaya pihak ketiga baik lelaki (pria idaman lain) maupun perempuan (wanita idaman lain) dalam sebuah rumah tangga dilarang dalam agama.
Istilah pelakor memuncaki trending twitter Rabu (22/2/2022). Sebanyak 1.724 tweet menggunakan istilah itu. Pelakor merupakan akronim dari Perebut Lelaki Orang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Kemdikbud mendefinisikan pelakor sebagai perebut laki orang; sebutan utk perempuan yang menggoda dan merebut suami orang; selingkuhan. Secara sederhana, berdasarkan ini, pelakor merujuk pada perilaku merebut lelaki atau suami orang lain.
Merujuk pada hal ini, maka istilah pelakor merupakan perilaku tercela dan mengarah pada perselingkuhan. Adapun yang dimaksud selingkuh ialah mempunyai hubungan asmara atau percintaan dengan lelaki lain yang telah memiliki pasangan yang sah.
Baca Juga
Mengutuk Keras
Terlepas dari trendnya istilah ini, ternyata Islam sangat mengutuk keras perilaku merebut suami orang. Larangan ini tertera dalam beberapa sabda Rasullullah SAW .
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه
Artinya, “Dari Abu Hurairah RA , ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya.” (HR Abu Dawud).
Hadis ini menjelaskan bahwa agama Islam menilai buruk aktivitas tipu daya yang dilakukan seorang lelaki untuk menjauhkan seorang perempuan dari suaminya. Agama mengecam keras pelbagai upaya riil seseorang sekalipun dengan cara memperdaya seorang perempuan dalam rangka merusak hubungan rumah tangganya dengan sang suami.
Kecaman agama ini tidak hanya menyasar lelaki sebagai pihak ketiga dalam rumah tangga.
Islam juga mengecam keras perempuan yang melakukan upaya-upaya serupa dalam rangka merebut hati suami orang lain sebagai penjelasan atas hadis berikut ini:
لَيْسَ مِنَّا) أي من أتباعنا (مَنْ خَبَّبَ) بتشديد الباء الأولى بعد الخاء المعجمة أي خدع وأفسد (امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها) بأن يذكر مساوىء الزوج عند امرأته أو محاسن أجنبي عندها (أَوْ عَبْدًا) أي أفسده (عَلَى سَيِّدِه) بأي نوع من الإفساد وفي معناهما إفساد الزوج على امرأته والجارية على سيدها قال المنذري وأخرجه النسائي
Artinya, “(Bukan bagian dari) pengikut (kami, orang yang menipu) melakukan tipu daya dan merusak kepercayaan (seorang perempuan atas suaminya) misalnya menyebut keburukan seseorang lelaki di hadapan istrinya atau menyebut kelebihan lelaki lain di hadapan istri seseorang (atau seorang budak atas tuannya) dengan cara apa saja yang merusak hubungan keduanya. Semakna dengan ini adalah upaya yang dilakukan untuk merusak hubungan seorang laki-laki terhadap istrinya atau merusak hubungan seorang budak perempuan terhadap tuannya." Al-Mundziri mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan An-Nasai. (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 967).
Keterangan (syarah) hadis di atas cukup jelas bahwa pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga tidak dianggap sebagai pengikut Rasulullah SAW dan umat Islam. Dengan bahasa lain, upaya merusak keharmonisan rumah tangga orang lain bukanlah jalan hidup yang disyariatkan oleh agama Islam karena upaya destruktif ini berlawanan arah dengan tujuan perkawinan itu sendiri.
Sementara pada hadis riwayat Imam At-Tirmidzi, Rasulullah SAW dengan lugas melarang perempuan untuk menuntut seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan maksud menguasai apa yang menjadi hak istrinya selama ini. Berikut hadis riwayat Imam At-Tirmidzi:
عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
Artinya, “Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya.” (HR Tirmidzi).
Ulama berbeda pendapat perihal siapa perempuan yang dimaksud. Sebagian ulama memahami bahwa perempuan itu adalah pihak ketiga yang ingin merebut suami orang lain.
Pandangan ini dikemukakan oleh Imam An-Nawawi. Sementara ulama lain memaknai perempuan dalam hadis ini sebagai salah seorang istri dari pria yang melakukan poligami. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibnu Abdil Bar.
Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Al-Mubarakfuri dalam Syarah Jami’ At-Tirmidzi berikut ini:
Imam An-Nawawi berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bagi seorang perempuan (pihak ketiga) untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya agar lelaki itu menalak istrinya dan menikahi perempuan pihak ketiga ini.
Ibnu Abdil Bar memaknai kata ‘saudaranya’ sebagai istri madu suaminya. Menurutnya, ini bagian dari fiqih di mana seorang perempuan tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istri selain dirinya agar hanya ia seorang diri yang menjadi istri suaminya.
Kata Al-Hafiz, makna ini mungkin lahir dari riwayat dengan redaksi, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya.’
Sedangkan riwayat yang memakai redaksi syarat, yaitu dengan ungkapan ‘Seorang perempuan tidak sepatutnya mensyaratkan perceraian saudaranya untuk membalik tumpah isi nampannya,’ jelas bahwa perempuan di sini adalah perempuan yang menjadi pihak ketiga.
Pengertian ini diperkuat dengan redaksi, ‘agar ia (pihak ketiga) dapat menikah’, yaitu menikah dengan dengan suami saudaranya itu tanpa mensyaratkan lelaki tersebut menceraikan istri-istri sebelum dirinya,” (Lihat M Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 369).
Hukumnya Haram
Dari pelbagai keterangan ini, kita mendapat gambaran bahwa Islam mengharamkan upaya perempuan (pihak ketiga) merebut suami orang lain baik dengan maksud menguasai harta atau dengan maksud menikah dengan suami orang lain meski tanpa syarat menceraikan istri sebelumnya.
Secara umum, kita mendapatkan gambaran bahwa yang dimaksud dengan merebut suami orang lain adalah dilihat dari peran aktif perempuan sebagai pihak ketiga tersebut dengan pelbagai cara menarik hati suami orang lain.
Larangan ini beralasan. Pasalnya, batasan-batasan terkait perkawinan semacam ini bertujuan untuk menata kehidupan sosial melalui penataan rumah tangga pasangan yang harmonis tanpa kehadiran pihak ketiga yang biasanya lebih banyak mengandung mudarat dan masalah.
Tentu saja larangan ini tetap berlaku bagi perempuan pihak ketiga terlepas dari respon suami yang pada dasarnya memang hidung belang yang membuka kesempatan bagi pihak ketiga. Tetapi pada prinsipnya, upaya pihak ketiga baik lelaki (pria idaman lain) maupun perempuan (wanita idaman lain) dalam sebuah rumah tangga dilarang dalam agama.
(mhy)