Apakah Lebaran Ikut Pemerintah atau Muhammadiyah?

Senin, 17 April 2023 - 19:17 WIB
loading...
Apakah Lebaran Ikut Pemerintah atau Muhammadiyah?
Apakah lebaran ikut pemerinah atau Muhammadiyah? Foto: Antara
A A A
Apakah Lebaran ikut pemerintah atau Muhammadiyah ? Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah mengumumkan Hari Raya Idul Fitri 2023/1 Syawal 1444 H melalui hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah 1444 H pada Februari lalu. Hasilnya, Muhammadiyah menetapkan Lebaran Idul Fitri atau 1 Syawal 1444 H jatuh pada 21 April 2023.

Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Agama ( Kemenag ) RI hingga saat ini belum mengumumkan kapan Lebaran 2023 atau Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, penentuan kapan Lebaran berdasarkan pada hasil sidang isbat yang biasa digelar menjelang Syawal atau tepatnya pada 29 Ramadhan .

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir memprediksi akan ada perbedaan lebaran antara pemerintah dan Muhammadiyah. Itu sebanya ia meminta negara hadir secara adil dan ihsan dalam memandang dan memberikan fasilitas jika terjadi perbedaan penetapan waktu Hari Raya Idulfitri 1444 H di Indonesia.

“Lebaran Idulfitri boleh berbeda, tetapi kita bisa bersama merayakan dan melaksanakannya. Kalau besok ada perbedaan itu adalah hal yang lumrah karena ini soal ijtihad, sampai nanti kita bersepakat ada kalender Islam global,” kata Haedar, Ahad (16/4) di UMS sebagaimana dikutip laman resmi Muhammadiyah.



Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah mengadakan Sosialisasi Hasil Hisab 1 Syawal dan 1 Zulhijah 1444 H. Sosialisasi ini ditujukan untuk menyampaikan hasil hisab Muhammadiyah terkait awal Syawal, karena besar kemungkinan akan terjadi perbedaan dengan Pemerintah Indonesia.

Acara ini untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep Hisab Hakiki Wujudul Hilal sebagai metode penetapan awal bulan kamariah yang sah secara syar’i, serta menguatkan pelaksanaan ibadah Idul Fitri dan Idul Adha mengikuti hasil hisab Muhammadiyah.

Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar menyampaikan tentang beberapa argumen hisab sebagai metode penentuan awal bulan. Pertama, gerak benda langit bersifat teratur dan eksak. Menurut Arwin, melalui observasi dan penelaahan ilmiah, manusia mampu mengamati fenomena bulan dan matahari. Argumen ini ia sampaikan berdasarkan telaahnya terhadap QS Yunus ayat 5 dan QS Al-Isra’ ayat 12.

Kedua, sifat informatif-imperative ayat-ayat hisab. Firman Allah dalam QS Yunus ayat 5, Al-Isra’ ayat 12, dan Yasin ayat 39 tidak hanya berisi informasi, tetapi juga mendorong untuk melakukan perhitungan terhadap gerak matahari dan bulan. Perhitungan ini berguna karena dapat dijadikan dasar penentuan waktu oleh umat Islam yang diterjemahkan dalam hari, tanggal, bulan, dan tahun.

Ketiga, redaksi hadis faqduru lah diartikan sebagai fahsibu lah (maka hitunglah!).



Kempat, rukyat diartikan sebagai rukyat bil ‘ilmi. Menurut Arwin, betapapun kata derivasi “ra’a” dalam literatur hadis Nabi SAW terkait rukyat bermakna melihat dengan mata, pengertian “ru’yah” itu sendiri secara bahasa dapat pula bermakna melihat secara ilmiah (ilmu). Rukyat bil ‘ilmi sejatinya sinonim dengan hisab.

Kelima, sifat ummy (buta huruf dan angka) sudah hilang. Menurut Arwin, saat ini rukyat bukan kriteria mutlak untuk memastikan masuknya sebuah awal bulan. Zaman Nabi SAW menggunakan rukyat karena masyarakatnya masih belum mampu membaca dan menghitung. ‘Illat ini telah hilang, sehingga rukyat tidak lagi relevan untuk digunakan sebagai metode penentuan awal bulan.

Keenam, Rukyat adalah sarana, bukan tujuan ataupun cara mutlak dalam penentuan awal bulan. Rukyat bukan merupakan bagian dari ibadah puasa, ia hanya bagian dari cara teknis untuk menentukan masuknya awal bulan. Sehingga mengganti rukyat dengan hisab, tidak menghilangkan esensi dari ibadah puasa.

Ketujuh, hisab bersifat qath’i/yaqin, sedangkan rukyat bersifat zhanni.

Kedelapan, analogikan penentuan awal bulan dengan penentuan waktu salat. Jika waktu salat menggunakan hisab, mengapa tidak untuk menentukan awal bulan. “Tidak ada asalan bagi kita untuk tidak menerima hisab dalam penentuan awal-awal bulan hijriah, di antaranya Ramadan, Syawal, dan Zulhijah,” ujar Arwin.



Hasil Hisab 1 Syawal 1444 H

Oman Fathurohman yang menyampaikan makalah berjudul “Hasil hisab 1 Syawal dan 1 Zulhijah 1444 H” menjelaskan cara dan hasil perhitungan awal Syawal dan Zulhijah tahun ini. Tinggi hilal pada awal Syawal di Yogyakarta adalah +01° 47’ 58’’ (sudah wujud). Ketinggian hilal lebih rendah untuk daerah sebelah Timur Yogyakarta, seperti Makassar dan Papua.

Sedangkan daerah di sebelah Barat, antara lain Jakarta, Aceh, dan Arab Saudi ketinggian hilal lebih tinggi. “Karena semakin ke Barat, maka tinggi hilal semakin Tinggi,” pungkas Oman.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1475 seconds (0.1#10.140)