Pentingnya Suami Istri Memahami Hukum Perceraian dalam Islam
loading...
A
A
A
Dalam Islam, ppasangan suami-istri hendaknya memahami hukum perceraian , syarat sah, aturan, dan dalil yang mengikutinya agar solusi talak bagi keduanya tetap dalam koridor hukum yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak , ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri.
Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali.
Hukum cerai atau talak adalah boleh dengan beberapa kaidah yang mengaturnya. Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijri, dalam kitab Mukhtasar Al Fiqh Al Islami, talak adalah melepaskani ikatan tali pernikahan dengan perkataan yang jelas dari suami.
Dalil dibolehkannya talak terdapat dalam Al Qur'an dan hadis Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallam. AllahTa’alaberfirman :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
Allah juga berfirman :
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottobradhiyallahu ‘anhumenanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallamlantas bersabda :
“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wajalla.” (HR. Bukhari)
Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Al Mughni menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibrohjuga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.
Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Jika belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.” (HR. Tirmidzi)
Begitu pula AllahTa’alaberfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ….” (QS. Al Ahzab: 49).
Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Seandainya ada sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah, lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.
Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.
Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh. Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).
Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.
Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.
Artinya, Islam telah mengatur talak terjadi dari setiap yang sudah baligh, berakal, dan tidak terpaksa. Talak tidak terjadi dari orang yang terpaksa, orang mabuk yang tidak sadar akan ucapannya, orang marah luar biasa yang tidak sadar ucapannya. Begitu juga talak tidak terjadi pada orang yang lalai, lupa, gila, atau semacamnya.
Hukum talak juga bisa dilakukan :
1. Talak dibolehkan jika memang ada alasan seperti perempuannya kurang baik dan sangat buruk perangainya. Diharamkan talak tanpa ada alasan. Dan dianjurkan dalam kondisi darurat seperti istri merasa tertekan dalam rumah tangganya atau istri sudah membenci suami.
2. Disunahkan talak, bila istri tidak mau salat dan enggan menuruti perintah suami dan tidak mau bertaubat.
3. Haram suami mentalak istri dalam kondisi haidh dan nifas, atau di waktu suci yang dia telah setubuhi. Tidak boleh juga mentalak istri tiga kali talak dalam satu lafazh talak.
4. Talak juga bisa terjadi dengan perkataan suami atau perwakilannya.
Begitulah syariat Islam mengatur talak. Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan pernikahan dengan kasih sayang-Nya. Namun ketika dalam perjalanan antara suami istri terjadi keinginan berpisah, maka dalam kondisi itu Allah mensyariatkan aturan aturan talak.
Wallahu A'lam
Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak , ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri.
Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali.
Hukum cerai atau talak adalah boleh dengan beberapa kaidah yang mengaturnya. Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijri, dalam kitab Mukhtasar Al Fiqh Al Islami, talak adalah melepaskani ikatan tali pernikahan dengan perkataan yang jelas dari suami.
Dalil dibolehkannya talak terdapat dalam Al Qur'an dan hadis Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallam. AllahTa’alaberfirman :
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
Allah juga berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottobradhiyallahu ‘anhumenanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallamlantas bersabda :
“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wajalla.” (HR. Bukhari)
Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Al Mughni menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibrohjuga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
Syarat Sah Talak
Para ulama membagi syarat sahnya talak ketika memenuhi unsur yang terkait suami yang mentalak, istri yang ditalak, dan berkaitan dengan kondisi sebelum talak.Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.
Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Jika belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.” (HR. Tirmidzi)
Begitu pula AllahTa’alaberfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ….” (QS. Al Ahzab: 49).
Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Seandainya ada sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah, lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.
Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.
Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh. Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).
Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.
Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.
Artinya, Islam telah mengatur talak terjadi dari setiap yang sudah baligh, berakal, dan tidak terpaksa. Talak tidak terjadi dari orang yang terpaksa, orang mabuk yang tidak sadar akan ucapannya, orang marah luar biasa yang tidak sadar ucapannya. Begitu juga talak tidak terjadi pada orang yang lalai, lupa, gila, atau semacamnya.
Hukum talak juga bisa dilakukan :
1. Talak dibolehkan jika memang ada alasan seperti perempuannya kurang baik dan sangat buruk perangainya. Diharamkan talak tanpa ada alasan. Dan dianjurkan dalam kondisi darurat seperti istri merasa tertekan dalam rumah tangganya atau istri sudah membenci suami.
2. Disunahkan talak, bila istri tidak mau salat dan enggan menuruti perintah suami dan tidak mau bertaubat.
3. Haram suami mentalak istri dalam kondisi haidh dan nifas, atau di waktu suci yang dia telah setubuhi. Tidak boleh juga mentalak istri tiga kali talak dalam satu lafazh talak.
4. Talak juga bisa terjadi dengan perkataan suami atau perwakilannya.
Begitulah syariat Islam mengatur talak. Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan pernikahan dengan kasih sayang-Nya. Namun ketika dalam perjalanan antara suami istri terjadi keinginan berpisah, maka dalam kondisi itu Allah mensyariatkan aturan aturan talak.
Wallahu A'lam
(wid)