Hukum Salat dan Puasa dalam Perjalanan, Begini Penjelasan Syaikh Al-Utsaimin
loading...
A
A
A
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan safar merupakan salah satu sebab bolehnya bahkan menuntut meringkas salat empat raka’at menjadi dua raka’at, baik wajib atau dianjurkan (mandub) menurut perbedaan pendapat yang ada.
"Tetapi yang benar, qashar salat itu dianjurkan, bukan wajib walau dari zahir nas terlihat wajib, sebab di sana sini masih banyak nas lainnya yang menunjukkan tidak wajib," ujar Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam buku berjudul "Fatawa Syekh Muhammad Al-Shaleh Al-Utsaimin" yang dalam edisi Indonesia menjadi "257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin".
Menurutnya, safar yang bisa membolehkan qashar salat , berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka mensyaratkan bahwa jarak qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km. Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu yang penting sesuai dengan adat yang berlaku, sebab syara’ tidak menentukannya. Dalam suatu nadzam disebutkan :
“Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)”.
Dengan demikian, kata Al-Utsaimin, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar salat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya. "Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi bagi yang tengah dalam perjalanan," ujarnya.
Sehubungan dengan hal itu, Al-Utsaimin mengingatkan bagi yang pergi umrah bahwa sebagian di antara mereka biasa melaksanakan umrah di siang hari hingga terasa berat berpuasa sampai-sampai ada yang jatuh pingsan. Jika hal ini terjadi, tentu sangat keliru sebab syara’ menetapkan tak perlu berpuasa dalam kondisi seperti itu.
Jika timbul pertanyaan, apa yang terbaik antara berbuka puasa dan melakukan umrah setibanya di tempat ataukah tetap berpuasa dan tidak melakukan umrah kecuali di malam hari?
Jawabnya: Yang terbaik adalah berbuka puasa dan melakukan umrah di siang hari, sebab Nabi menyegerakan umrah sampai-sampai menghentikan untanya di depan pintu mesjid.
Menurut Al-Utsaimin, itulah yang terjadi pada sebagian orang di suatu negeri atau di beberapa negeri di mana mereka tetap memaksakan berpuasa ketika sakit. Yang katanya menurut mereka sebagai hasil ijtihad, padahal syara’ itu bukan nafsu, tetapi sebagai hidayah. Karena itu, bila yang sakit parah atau yang tengah menempuh perjalanan berat tetap memaksakan diri berpuasa, maka ia bertentangan sunah dan kecintaan Allah, sebab Allah sangat senang bila keringanan-keringanan-Nya dilaksanakan serta Dia tidak senang bila kemaksiatan dikerjakan.
"Tetapi yang benar, qashar salat itu dianjurkan, bukan wajib walau dari zahir nas terlihat wajib, sebab di sana sini masih banyak nas lainnya yang menunjukkan tidak wajib," ujar Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam buku berjudul "Fatawa Syekh Muhammad Al-Shaleh Al-Utsaimin" yang dalam edisi Indonesia menjadi "257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin".
Menurutnya, safar yang bisa membolehkan qashar salat , berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka mensyaratkan bahwa jarak qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km. Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu yang penting sesuai dengan adat yang berlaku, sebab syara’ tidak menentukannya. Dalam suatu nadzam disebutkan :
وَكُلُّ مَا أَتَى وَلَم يُحَدَّد بِالشَّرْع ِكَالْحِرزِ فَبِالْعُرْفِ احْدِد
“Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)”.
Dengan demikian, kata Al-Utsaimin, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar salat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya. "Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi bagi yang tengah dalam perjalanan," ujarnya.
Sehubungan dengan hal itu, Al-Utsaimin mengingatkan bagi yang pergi umrah bahwa sebagian di antara mereka biasa melaksanakan umrah di siang hari hingga terasa berat berpuasa sampai-sampai ada yang jatuh pingsan. Jika hal ini terjadi, tentu sangat keliru sebab syara’ menetapkan tak perlu berpuasa dalam kondisi seperti itu.
Jika timbul pertanyaan, apa yang terbaik antara berbuka puasa dan melakukan umrah setibanya di tempat ataukah tetap berpuasa dan tidak melakukan umrah kecuali di malam hari?
Jawabnya: Yang terbaik adalah berbuka puasa dan melakukan umrah di siang hari, sebab Nabi menyegerakan umrah sampai-sampai menghentikan untanya di depan pintu mesjid.
Menurut Al-Utsaimin, itulah yang terjadi pada sebagian orang di suatu negeri atau di beberapa negeri di mana mereka tetap memaksakan berpuasa ketika sakit. Yang katanya menurut mereka sebagai hasil ijtihad, padahal syara’ itu bukan nafsu, tetapi sebagai hidayah. Karena itu, bila yang sakit parah atau yang tengah menempuh perjalanan berat tetap memaksakan diri berpuasa, maka ia bertentangan sunah dan kecintaan Allah, sebab Allah sangat senang bila keringanan-keringanan-Nya dilaksanakan serta Dia tidak senang bila kemaksiatan dikerjakan.
(mhy)