Rasulullah SAW Tidak Akui Umatnya yang Mendukung Pemimpin Zalim
loading...
A
A
A
Dalam Islam, seorang pemimpin harus memiliki moral, akhlak, dan kemampuan yang mumpuni. Ia harus bisa bersikap adil, jujur, dan tidak semena-mena. Pemimpin tidak boleh mencelakai rakyat dan bangsanya. Pemimpin tidak boleh zalim .
Allah SWT berfirman :
”Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”(QS Asysyura : 42).
Rasûlullâh shallallahu alaihi wa sallamﷺ bersabda ;
“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga”. (THR. Tirmidzi, Nasai dan Al Hakim).
Hadis ini menurut Imam al-Tirmidzi kualitasnya shahih (Sunan al-Tirmidzi, hlm. 512). Penilaian serupa juga diberikan oleh Nashiruddin al-Albani dalam beberapa kitabnya, yaitu Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, Shahih wa Dhaʻif Sunan al-Tirmidzi, dan Shahih wa Dhaʻif Sunan al-Nasa’i.
Dan menurut para ulama, hadis tersebut mengandung peringatan kepada umat Islam agar tidak menjadi bagian dari kelompok yang mencintai dan mendukung pemimpin yang zalim (Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Vol. 8, hlm. 8).
Nabi Muhammad SAW bahkan mengancam kelompok yang seperti ini dengan tidak menganggap mereka sebagai golongannya.
Rasulullah juga mengatakan, setiap orang adalah pemimpin dan mereka akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu.
Dalam hadis lain, disebutkan, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Seorang pemimpin adalah abdi atau pelayan bagi anggota kelompoknya (rakyatnya), baik pemimpin perusahaan, masyarakat, keluarga, maupun negara. Dalam sebuah ungkapan, dikatakan, ”Sayyid al-Qawm khaadimuhu.” (Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya). Karena itu, mereka tidak boleh melakukan kezaliman pada orang-orang yang dipimpinnya. Semua kebijakan yang dibuatnya harus mengacu pada kepentingan yang dipimpinnya.
Bila ia mengkhianati amanah yang telah diberikan (rakyat) itu, dosa besar dan azab yang pedih akan ditimpakan kepadanya.
Dalam kitab al-Kaba`ir ini, Adz-Dzahabi juga menyebutkan dosa besar bagi hakim yang zalim. Yakni, memutuskan suatu perkara tanpa memenuhi rasa keadilan sebagaimana ditetapkan (Alquran). ”Allah tidak akan menerima salat seorang pemimpin yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah.”
Hakim itu terdiri atas tiga macam, satu orang di surga dan dua lainnya di neraka. Seorang hakim yang tahu kebenaran dan ia memutuskannya dengan kebenaran itu, ia berada di surga. Sedangkan, hakim lain yang mengetahui kebenaran, namun ia menyimpang dengan sengaja, ia berada di neraka. Dan, seorang hakim yang memutuskan perkara tanpa didasari dengan ilmu, ia berada di neraka.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Namun demikian yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa dalam rangka nahi munkar kepada pemimpin yang dzalim itu juga harus dengan cara yang ma’ruf (baik, bijaksana, adil, proporsional dan tidak melanggar ketentuan, baik agama maupun negara).
Mungkin tidak semua umat Islam dapat atau berani menegur dan menasehati pemimpin yang zalim secara langsung. Namun bukan berarti kemudian umat Islam pasrah atau malah membenarkan kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Dalam hal ini, Rasulullah memberikan arahan bahwa ketika melihat suatu kemunkaran terjadi umat Islam hendaknya berusaha mengubahnya sesuai kemampuan.
Hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ,
Dari Abu Saʻid (diriwayatkan) ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. [HR. al-Nasa’i, Muslim, Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan lain-lain].
Bagi umat Islam yang sedang diamanahi untuk menjadi pemimpin, maka sudah seyogyanya mereka menjadi pemimpin yang adil, jujur, amanah dan berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Pemimpin yang demikian akan dijanjikan oleh Allah balasan pahala yang melimpah, sebagaimana yang diterangkan dalam hadis berikut ini,
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW (diriwayatkan) beliau bersabda, ada tujuh golongan yang Allah melindungi mereka dalam lindungan-Nya pada hari kiamat, di hari ketika tiada perlindungan selain perlindungan-Nya, yaitu; imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seseorang yang senantiasa mengingat Allah saat sendiri sehingga matanya berlinang, seseorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seseorang yang diajak berkencan oleh wanita bangsawan dan rupawan, namun ia menjawab; ‘Saya takut kepada Allah’, serta seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak tahu menahu terhadap amalan tangan kanannya [HR. al-Bukhari].
Wallahu a‘lam
Allah SWT berfirman :
اِنَّمَا السَّبِيۡلُ عَلَى الَّذِيۡنَ يَظۡلِمُوۡنَ النَّاسَ وَ يَبۡغُوۡنَ فِى الۡاَرۡضِ بِغَيۡرِ الۡحَقِّؕ اُولٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ
”Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”(QS Asysyura : 42).
Rasûlullâh shallallahu alaihi wa sallamﷺ bersabda ;
اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،
“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga”. (THR. Tirmidzi, Nasai dan Al Hakim).
Hadis ini menurut Imam al-Tirmidzi kualitasnya shahih (Sunan al-Tirmidzi, hlm. 512). Penilaian serupa juga diberikan oleh Nashiruddin al-Albani dalam beberapa kitabnya, yaitu Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, Shahih wa Dhaʻif Sunan al-Tirmidzi, dan Shahih wa Dhaʻif Sunan al-Nasa’i.
Dan menurut para ulama, hadis tersebut mengandung peringatan kepada umat Islam agar tidak menjadi bagian dari kelompok yang mencintai dan mendukung pemimpin yang zalim (Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Vol. 8, hlm. 8).
Nabi Muhammad SAW bahkan mengancam kelompok yang seperti ini dengan tidak menganggap mereka sebagai golongannya.
Rasulullah juga mengatakan, setiap orang adalah pemimpin dan mereka akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu.
Dalam hadis lain, disebutkan, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Seorang pemimpin adalah abdi atau pelayan bagi anggota kelompoknya (rakyatnya), baik pemimpin perusahaan, masyarakat, keluarga, maupun negara. Dalam sebuah ungkapan, dikatakan, ”Sayyid al-Qawm khaadimuhu.” (Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya). Karena itu, mereka tidak boleh melakukan kezaliman pada orang-orang yang dipimpinnya. Semua kebijakan yang dibuatnya harus mengacu pada kepentingan yang dipimpinnya.
Bila ia mengkhianati amanah yang telah diberikan (rakyat) itu, dosa besar dan azab yang pedih akan ditimpakan kepadanya.
Dalam kitab al-Kaba`ir ini, Adz-Dzahabi juga menyebutkan dosa besar bagi hakim yang zalim. Yakni, memutuskan suatu perkara tanpa memenuhi rasa keadilan sebagaimana ditetapkan (Alquran). ”Allah tidak akan menerima salat seorang pemimpin yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah.”
Hakim itu terdiri atas tiga macam, satu orang di surga dan dua lainnya di neraka. Seorang hakim yang tahu kebenaran dan ia memutuskannya dengan kebenaran itu, ia berada di surga. Sedangkan, hakim lain yang mengetahui kebenaran, namun ia menyimpang dengan sengaja, ia berada di neraka. Dan, seorang hakim yang memutuskan perkara tanpa didasari dengan ilmu, ia berada di neraka.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Bagaimana Sikap yang Dipimpinnya?
Dalam Islam, yang harus dilakukan oleh umat ketika melihat pemimpin yang berlaku zalim adalah menasehati, menegur atau memberi peringatan kepadanya, bukan malah membela mati-matian dan membenarkan segala hal yang dilakukan oleh pemimpin tersebut.Namun demikian yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa dalam rangka nahi munkar kepada pemimpin yang dzalim itu juga harus dengan cara yang ma’ruf (baik, bijaksana, adil, proporsional dan tidak melanggar ketentuan, baik agama maupun negara).
Mungkin tidak semua umat Islam dapat atau berani menegur dan menasehati pemimpin yang zalim secara langsung. Namun bukan berarti kemudian umat Islam pasrah atau malah membenarkan kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Dalam hal ini, Rasulullah memberikan arahan bahwa ketika melihat suatu kemunkaran terjadi umat Islam hendaknya berusaha mengubahnya sesuai kemampuan.
Hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ,
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه النسآئى ومسلم وابن ماجه والترمذى وغيرهم].
Dari Abu Saʻid (diriwayatkan) ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. [HR. al-Nasa’i, Muslim, Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan lain-lain].
Bagi umat Islam yang sedang diamanahi untuk menjadi pemimpin, maka sudah seyogyanya mereka menjadi pemimpin yang adil, jujur, amanah dan berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Pemimpin yang demikian akan dijanjikan oleh Allah balasan pahala yang melimpah, sebagaimana yang diterangkan dalam hadis berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ [رواه البخاري]
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW (diriwayatkan) beliau bersabda, ada tujuh golongan yang Allah melindungi mereka dalam lindungan-Nya pada hari kiamat, di hari ketika tiada perlindungan selain perlindungan-Nya, yaitu; imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seseorang yang senantiasa mengingat Allah saat sendiri sehingga matanya berlinang, seseorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seseorang yang diajak berkencan oleh wanita bangsawan dan rupawan, namun ia menjawab; ‘Saya takut kepada Allah’, serta seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak tahu menahu terhadap amalan tangan kanannya [HR. al-Bukhari].
Wallahu a‘lam
(wid)