Aspek Hukum Puasa: Zhahiriyah dan Syi'ah Mewajibkan Berbuka bagi Musafir

Kamis, 14 Maret 2024 - 14:34 WIB
loading...
Aspek Hukum Puasa: Zhahiriyah dan Syiah Mewajibkan Berbuka bagi Musafir
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Muhammad Quraish Shihab menyebut tentang beberapa aspek hukum berkaitan dengan puasa , salah satunya adalah ayat dalam Al-Quran ( QS Al-Baqarah ayat 184) yang berbunyi: "Aw'ala safarin" yang artinya atau dalam perjalanan.

Ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka bila dalam perjalanan, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:

Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

Dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran " Quraish Shihab mengatakan ulama keempat mazhab Sunah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."

Menurut Quraish, kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.



Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.

Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut?

Quraish menjelaskan ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah ra yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan.

Akan tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah SWT. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.

Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut?

Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik.

Nah, bagaimana kalau Ramadan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?

Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5138 seconds (0.1#10.140)