Konflik Aliran Pemikiran di Era Khalifah Utsman bin Affan
loading...
A
A
A
PADA masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan , perluasan wilayah dan dakwah Islam tetap terjadi kendati banyak pemberontakan serta munculnya aliran-aliran pikiran baru.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) disebutkan boleh dikatakan jika tidak karena timbulnya aliran-aliran pikiran ini umat Islam dahulu mampu bergerak lebih jauh dari itu, dan dapat mencapai kemenangan lebih banyak daripada yang sudah mereka peroleh saat itu.
Pengaruh aliran-aliran pikiran ini tidak terbatas hanya pada letusan yang luar biasa kerasnya, tetapi sudah meluas sampai kepada kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan.
Banyak orang yang lalu mengarahkan segala perhatiannya pada Kedaulatan Islam dan pada sejarah Islam umumnya setelah itu.
Oleh karenanya, studi mengenai aliran-aliran pikiran dan faktor-faktor itu terasa penting sekali untuk memahami perkembangan politik dan kegolongan (sektarianisme) yang kemudian ikut menentukan terjadinya peristiwa-peristiwa, yang dampaknya masih kuat terasa sampai sekarang.
Ketidakpuasan Banu Hasyim
Faktor pertama, ialah adanya persaingan keras antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah yang memang sudah berakar sejak seratus tahun sebelum kedatangan Rasulullah.
Sesudah ajaran Nabi terasa mantap, segala persaingan itu pun segera terkubur, dan orang di seluruh Semenanjung masuk berbondong-bondong ke dalam agama Allah ini.
Sesudah Nabi berpulang ke rahmatullah, kecenderungan pada kekhalifahan ini mulai terlintas dalam pikiran Banu Hasyim, bahwa merekalah yang harus menjadi ahli waris Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.
Akan tetapi pikiran demikian ini muncul masih agak malu-malu, yang dalam kehidupan negara samasekali tak berpengaruh di masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sesudah pasukan Muslimin membebaskan Persia, Syam dan Mesir, dan setelah itu Umar terbunuh, persaingan itu mulai muncul ke permukaan dan fanatisme kegolongan pun muncul. Hal ini terjadi saat pembaiatan (pelantikan) Utsman.
Masih terdapat sumber-sumber yang berbeda tentang sikap Ali mengenai pelantikan ini. Tetapi semua sepakat tentang ketidakpuasan Banu Hasyim serta pandangan mereka mengenai hal ini, yang mengingatkan kita pada kata-kata Umar bin Khattab kepada Ibn Abbas:
"Orang tidak senang menggabungkan kenabian dan kekhalifahan semua pada kalian. Itu sudah menjadi pilihan Quraisy sendiri, dan sudah tepat sekali."
Juga kata-kata Ali bin Abi Thalib ini setelah pelantikan Utsman: "Orang melihat kepada Quraisy dan Quraisy melihat kepada keluarganya dengan mengatakan: Kalau Banu Hasyim sudah menguasai kalian, kalian tidak akan pernah lepas dari mereka, juga Quraisy yang lain tidak dapat saling bergantian di antara kalian."
Dominasi Quraisy
Menurut Haekal, ketidaksenangan Banu Hasyim menyerahkan kekhalifahan kepada pihak Banu Umayyah mempunyai dampak yang dalam sekali terhadap pemerintahan Utsman.
Juga ketidaksenangan kabilah-kabilah Arab di luar Quraisy atas kekuasaan Quraisy berdampak demikian.
Kaum Muhajirin dan Ansar serta kaum veteran pembebasan yang sudah meninggalkan Makkah dan Madinah sudah menetap di Syam. Mereka yang meninggalkan Yaman dan Najd atau kabilah-kabilah Arab yang lain di selatan dan timur Semenanjung pergi ke Irak dan menetap di sana.
Tatkala para penanggung jawab di masa ketiga khalifah yang mula-mula itu dari tokoh-tokoh Makkah dan Madinah, yang lain telah pula mulai bertanya-tanya:
"Apa kelebihan mereka atas kita, padahal andil mereka tidak lebih besar daripada andil kita dalam pembebasan dan dalam pembentukan Kedaulatan Islam?"
"Benar, mereka memang lebih dulu daripada kita dalam Islam. Kalau alasan orang yang lebih dulu itu akan dijadikan pembenaran untuk menjadikan kekhalifahan di tangan Quraisy, mengapa hak monopoli juga merupakan pembenaran untuk segala kedudukan negara?"
"Islam tidak membuat orang Arab lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa. Bagaimana pula pendapat kita dengan mereka yang tinggal di Basrah dan di Kufah yang juga orang Arab yang tidak berbeda dengan orang Hijaz, Makkah dan Madinah!"
Monopoli semacam itu hanya akan mendorong segolongan orang Arab ingin berkuasa atas golongan yang lain, cara-cara penguasaan yang tidak diakui oleh Islam dan tidak disukai oleh Nabi, pembawa risalah ini.
Bukankah Zaid bin Harisah, seorang bekas budak yang dibeli oleh Khadijah Ummulmukminin lalu dimerdekakan, oleh Rasulullah ditempatkan sebagai orang yang lebih mulia dari kebanyakan orang Kuraisy dan kaum Muhajirin dan Ansar?
Bagaimana orang-orang Najd dan yang lain, yang sudah begitu besar jasanya dalam usaha pembebasan akan ditempatkan di belakang, sementara yang akan ditampilkan adalah orang-orang Makkah dan Madinah? Ini adalah suatu kezaliman.
Orang yang merdeka tidak akan rela melakukannya. Perlakuan superioritas yang akan ditampik oleh jiwa Arab yang sejak berabad-abad sudah biasa hidup sama rata dan hidup bebas kemudian oleh Islam ditambah dengan kepercayaan yang memperkuat persamaan dan kebebasan itu!
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) disebutkan boleh dikatakan jika tidak karena timbulnya aliran-aliran pikiran ini umat Islam dahulu mampu bergerak lebih jauh dari itu, dan dapat mencapai kemenangan lebih banyak daripada yang sudah mereka peroleh saat itu.
Pengaruh aliran-aliran pikiran ini tidak terbatas hanya pada letusan yang luar biasa kerasnya, tetapi sudah meluas sampai kepada kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan.
Banyak orang yang lalu mengarahkan segala perhatiannya pada Kedaulatan Islam dan pada sejarah Islam umumnya setelah itu.
Oleh karenanya, studi mengenai aliran-aliran pikiran dan faktor-faktor itu terasa penting sekali untuk memahami perkembangan politik dan kegolongan (sektarianisme) yang kemudian ikut menentukan terjadinya peristiwa-peristiwa, yang dampaknya masih kuat terasa sampai sekarang.
Ketidakpuasan Banu Hasyim
Faktor pertama, ialah adanya persaingan keras antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah yang memang sudah berakar sejak seratus tahun sebelum kedatangan Rasulullah.
Sesudah ajaran Nabi terasa mantap, segala persaingan itu pun segera terkubur, dan orang di seluruh Semenanjung masuk berbondong-bondong ke dalam agama Allah ini.
Sesudah Nabi berpulang ke rahmatullah, kecenderungan pada kekhalifahan ini mulai terlintas dalam pikiran Banu Hasyim, bahwa merekalah yang harus menjadi ahli waris Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.
Akan tetapi pikiran demikian ini muncul masih agak malu-malu, yang dalam kehidupan negara samasekali tak berpengaruh di masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sesudah pasukan Muslimin membebaskan Persia, Syam dan Mesir, dan setelah itu Umar terbunuh, persaingan itu mulai muncul ke permukaan dan fanatisme kegolongan pun muncul. Hal ini terjadi saat pembaiatan (pelantikan) Utsman.
Masih terdapat sumber-sumber yang berbeda tentang sikap Ali mengenai pelantikan ini. Tetapi semua sepakat tentang ketidakpuasan Banu Hasyim serta pandangan mereka mengenai hal ini, yang mengingatkan kita pada kata-kata Umar bin Khattab kepada Ibn Abbas:
"Orang tidak senang menggabungkan kenabian dan kekhalifahan semua pada kalian. Itu sudah menjadi pilihan Quraisy sendiri, dan sudah tepat sekali."
Juga kata-kata Ali bin Abi Thalib ini setelah pelantikan Utsman: "Orang melihat kepada Quraisy dan Quraisy melihat kepada keluarganya dengan mengatakan: Kalau Banu Hasyim sudah menguasai kalian, kalian tidak akan pernah lepas dari mereka, juga Quraisy yang lain tidak dapat saling bergantian di antara kalian."
Dominasi Quraisy
Menurut Haekal, ketidaksenangan Banu Hasyim menyerahkan kekhalifahan kepada pihak Banu Umayyah mempunyai dampak yang dalam sekali terhadap pemerintahan Utsman.
Juga ketidaksenangan kabilah-kabilah Arab di luar Quraisy atas kekuasaan Quraisy berdampak demikian.
Kaum Muhajirin dan Ansar serta kaum veteran pembebasan yang sudah meninggalkan Makkah dan Madinah sudah menetap di Syam. Mereka yang meninggalkan Yaman dan Najd atau kabilah-kabilah Arab yang lain di selatan dan timur Semenanjung pergi ke Irak dan menetap di sana.
Tatkala para penanggung jawab di masa ketiga khalifah yang mula-mula itu dari tokoh-tokoh Makkah dan Madinah, yang lain telah pula mulai bertanya-tanya:
"Apa kelebihan mereka atas kita, padahal andil mereka tidak lebih besar daripada andil kita dalam pembebasan dan dalam pembentukan Kedaulatan Islam?"
"Benar, mereka memang lebih dulu daripada kita dalam Islam. Kalau alasan orang yang lebih dulu itu akan dijadikan pembenaran untuk menjadikan kekhalifahan di tangan Quraisy, mengapa hak monopoli juga merupakan pembenaran untuk segala kedudukan negara?"
"Islam tidak membuat orang Arab lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa. Bagaimana pula pendapat kita dengan mereka yang tinggal di Basrah dan di Kufah yang juga orang Arab yang tidak berbeda dengan orang Hijaz, Makkah dan Madinah!"
Monopoli semacam itu hanya akan mendorong segolongan orang Arab ingin berkuasa atas golongan yang lain, cara-cara penguasaan yang tidak diakui oleh Islam dan tidak disukai oleh Nabi, pembawa risalah ini.
Bukankah Zaid bin Harisah, seorang bekas budak yang dibeli oleh Khadijah Ummulmukminin lalu dimerdekakan, oleh Rasulullah ditempatkan sebagai orang yang lebih mulia dari kebanyakan orang Kuraisy dan kaum Muhajirin dan Ansar?
Bagaimana orang-orang Najd dan yang lain, yang sudah begitu besar jasanya dalam usaha pembebasan akan ditempatkan di belakang, sementara yang akan ditampilkan adalah orang-orang Makkah dan Madinah? Ini adalah suatu kezaliman.
Orang yang merdeka tidak akan rela melakukannya. Perlakuan superioritas yang akan ditampik oleh jiwa Arab yang sejak berabad-abad sudah biasa hidup sama rata dan hidup bebas kemudian oleh Islam ditambah dengan kepercayaan yang memperkuat persamaan dan kebebasan itu!
(mhy)