Penyakit Ananiah, Obatnya Ibadah yang Ikhsan dan Khusyuk
loading...
A
A
A
Ananiah artinya adalah sikap yang egois, mementingkan kepentingan diri sendiri abai pada kepentingan orang lain di sekitar. Ananiah ini berbahaya sebab bisa berkembang menjadi penyakit hati lainnya seperti takabur, bakhil, hasad dan sebagainya.
Muhammad Imaduddin Abdulrahim (wafat 2008) dalam buku Kuliah Tauhid (1980) menjelaskan sikap mementingkan diri ini memang sudah ada benihnya pada setiap pribadi.
Sikap ini tumbuh di dalam perjuangan "to be or not to be", atau perebutan hidup atau mati ketika manusia masih berbentuk spermatozoa yang memperebutkan satu-satunya ovum yang tersedia di dalam rahim ibu tadi.
Memang tidak bisa disangkal, menurut Imad, bahwa manusia tidak akan mungkin lahir ke muka bumi ini jika ia tidak mendahulukan dirinya dari yang lain.
Demi mendapatkan wujudnya, spermatozoa tadi telah terpaksa mendahulukan dirinya ketimbang sperma lain, yang seyogianya akan menjadi saudara kembarnya sedarah sedaging seandainya di rahim ibu ketika itu tersedia lebih dari satu ovum. Namun situasi telah memaksanya mendahulukan dirinya, jika tidak maka ia akan hilang tanpa dikenang (lam yakun syaian mazkuuran QS al-Ikhsan/76 :1).
Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Memanglah manusia ini dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique. Perangai mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang perlu, jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan diri ini pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan batasnya. Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas diakui sepenuhnya oleh Allah SWT.
Hak mementingkan atau mendahulukan kepentingan diri ini dianjurkan Allah agar disalurkan kepada usaha lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dengan 'ibadah yang lebih banyak dan lebih ikhlash. Usaha meningkatkan kualitas iman sedemikian sehingga mencapai tingkat taqwa yang istiqamah sangatlah digalakkan oleh Rasulullah SAW, dan diulang-ulang di dalam al-Qur'an .
Di samping itu kita pun diwajibkan pula menghormati hak individu orang lain. Misalnya di dalam al-Qur'an diterangkan, bahwa jika akan berkunjung ke rumah orang lain, maka kita diharamkan memasuki rumah orang itu sebelum mendapat izin terlebih dahulu dari penghuni rumah.
Caranya minta izin itu ialah dengan memberi salam, dan menunggu jawaban. Jika sesudah tiga kali memberi salam tidak juga mendapat jawaban, maka itu tanda bahwa kita tidak diterima oleh yang punya rumah, maka kita wajib membatalkan niat akan berkunjung itu. Ini salah satu hukum yang menjamin kemerdekaan dan hak individu.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuki rumah yang bukan rumahmu, kecuali sesudah mendapat izin dari, dan sesudah mengucapkan salaam kepada penghuninya. Hal ini terbaik bagi kamu jika kamu mengerti. Sekiranya tidak Kamu dapati seorang pria pun di dalamnya, maka jangan kamu masuki sampai kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu 'pergilah' maka hendaklah kamu pergi; yang demikian itu lebih bersih buat kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tindak tandukmu." ( QS An-Nur : 27-28)
Kenyataan lain yang harus pula diakui oleh manusia ialah, bahwa ia tak mungkin hidup sendiri di muka bumi ini. Setiap orang membutuhkan yang lainnya. Oleh karena itu Allah telah rnenciptakan hukum yang menentukan batas-batas antara pemenuhan kepentingan diri terhadap kepentingan bersama (masyarakat) secara seimbang dan serasi (harmonis).
Kita lahir sebagai individu, dan akan mati sebagai individu. Di dalam masa hidup yang kita tempuh di antara lahir dan mati itu kita akan terikat oleh ketentuan-ketentuan bermasyarakat, yang tak mungkin pula kita abaikan demi kelestarian hidup bersama itu.
Batas-batas antara kedua kepentingan ini akan sangat sukar jika harus ditentukan oleh manusia sendiri, karena setiap diri akan cenderung lebih mendahulukan kepentingan dirinya terhadap kepentingan orang lain.
Baca juga: Bagaimana Anak Menghadapi Dua Orang Tua yang Musyrik?
Setiap orang cenderung akan berpikir subyektif apabila menyangkut kepentingan dirinya. Oleh karena itulah, maka peranan hukum Allah, Yang Maha Mengetahui akan leka-liku jiwa manusia, dalam hal ini mutlak perlu.
Menurut Imadudin, orang yang belum stabil sikap pribadinya cenderung mengabaikan ketentuan Allah ini, karena kurang yakinnya ia akan keperluannya. Maka ia menempuh jalan pintas, yang berupa ananiah tadi, demi memenuhi kebutuhannya akan kestabilan pribadi. Namun di sini pulalah terletak kegagalannya.
Muhammad Imaduddin Abdulrahim (wafat 2008) dalam buku Kuliah Tauhid (1980) menjelaskan sikap mementingkan diri ini memang sudah ada benihnya pada setiap pribadi.
Sikap ini tumbuh di dalam perjuangan "to be or not to be", atau perebutan hidup atau mati ketika manusia masih berbentuk spermatozoa yang memperebutkan satu-satunya ovum yang tersedia di dalam rahim ibu tadi.
Memang tidak bisa disangkal, menurut Imad, bahwa manusia tidak akan mungkin lahir ke muka bumi ini jika ia tidak mendahulukan dirinya dari yang lain.
Demi mendapatkan wujudnya, spermatozoa tadi telah terpaksa mendahulukan dirinya ketimbang sperma lain, yang seyogianya akan menjadi saudara kembarnya sedarah sedaging seandainya di rahim ibu ketika itu tersedia lebih dari satu ovum. Namun situasi telah memaksanya mendahulukan dirinya, jika tidak maka ia akan hilang tanpa dikenang (lam yakun syaian mazkuuran QS al-Ikhsan/76 :1).
ہَلۡ اَتٰی عَلَی الۡاِنۡسَانِ حِیۡنٌ مِّنَ الدَّہۡرِ لَمۡ یَکُنۡ شَیۡئًا مَّذۡکُوۡرًا
Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Memanglah manusia ini dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique. Perangai mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang perlu, jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan diri ini pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan batasnya. Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas diakui sepenuhnya oleh Allah SWT.
Hak mementingkan atau mendahulukan kepentingan diri ini dianjurkan Allah agar disalurkan kepada usaha lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dengan 'ibadah yang lebih banyak dan lebih ikhlash. Usaha meningkatkan kualitas iman sedemikian sehingga mencapai tingkat taqwa yang istiqamah sangatlah digalakkan oleh Rasulullah SAW, dan diulang-ulang di dalam al-Qur'an .
Di samping itu kita pun diwajibkan pula menghormati hak individu orang lain. Misalnya di dalam al-Qur'an diterangkan, bahwa jika akan berkunjung ke rumah orang lain, maka kita diharamkan memasuki rumah orang itu sebelum mendapat izin terlebih dahulu dari penghuni rumah.
Caranya minta izin itu ialah dengan memberi salam, dan menunggu jawaban. Jika sesudah tiga kali memberi salam tidak juga mendapat jawaban, maka itu tanda bahwa kita tidak diterima oleh yang punya rumah, maka kita wajib membatalkan niat akan berkunjung itu. Ini salah satu hukum yang menjamin kemerdekaan dan hak individu.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا۟ وَتُسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuki rumah yang bukan rumahmu, kecuali sesudah mendapat izin dari, dan sesudah mengucapkan salaam kepada penghuninya. Hal ini terbaik bagi kamu jika kamu mengerti. Sekiranya tidak Kamu dapati seorang pria pun di dalamnya, maka jangan kamu masuki sampai kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu 'pergilah' maka hendaklah kamu pergi; yang demikian itu lebih bersih buat kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tindak tandukmu." ( QS An-Nur : 27-28)
Kenyataan lain yang harus pula diakui oleh manusia ialah, bahwa ia tak mungkin hidup sendiri di muka bumi ini. Setiap orang membutuhkan yang lainnya. Oleh karena itu Allah telah rnenciptakan hukum yang menentukan batas-batas antara pemenuhan kepentingan diri terhadap kepentingan bersama (masyarakat) secara seimbang dan serasi (harmonis).
Kita lahir sebagai individu, dan akan mati sebagai individu. Di dalam masa hidup yang kita tempuh di antara lahir dan mati itu kita akan terikat oleh ketentuan-ketentuan bermasyarakat, yang tak mungkin pula kita abaikan demi kelestarian hidup bersama itu.
Batas-batas antara kedua kepentingan ini akan sangat sukar jika harus ditentukan oleh manusia sendiri, karena setiap diri akan cenderung lebih mendahulukan kepentingan dirinya terhadap kepentingan orang lain.
Baca juga: Bagaimana Anak Menghadapi Dua Orang Tua yang Musyrik?
Setiap orang cenderung akan berpikir subyektif apabila menyangkut kepentingan dirinya. Oleh karena itulah, maka peranan hukum Allah, Yang Maha Mengetahui akan leka-liku jiwa manusia, dalam hal ini mutlak perlu.
Menurut Imadudin, orang yang belum stabil sikap pribadinya cenderung mengabaikan ketentuan Allah ini, karena kurang yakinnya ia akan keperluannya. Maka ia menempuh jalan pintas, yang berupa ananiah tadi, demi memenuhi kebutuhannya akan kestabilan pribadi. Namun di sini pulalah terletak kegagalannya.