Subhanallah, Dia Bagaikan Bulan Purnama di Malam yang Gelap
loading...
A
A
A
SUATU hari Tsabit bin Ibrahim berjalan di pinggiran kota Kufah yang panas. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar dari sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit.
Tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel itu. Hem ... enak. Akan tetapi baru setengahnya dimakan, Tsabit berhenti mengunyah. Ia seakan tersadar akan sesuatu.
Astagfirullah... Ia tersadar bahwa buah itu bukan miliknya. Tsabit menganggap perlu izin pemilik kebun apel sebelum memakan buah itu. Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya. Ia ingin meminta pemilik kebun apel agar menghalalkan buah yang telah dimakannya itu.
Di dalam kebun ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya".
"Aku bukan pemilik kebun ini. Aku pembantu yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya," jawab laki-laki itu.
"Di mana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini," ujar Tsabit dengan nada menyesal.
Pengurus kebun itu memberitahukan, apabila ingin pergi ke rumah majikannya maka harus menempuh perjalanan sehari semalam.
Tsabit bin Ibrahim tidak peduli. Ia bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seizin pemiliknya," katanya.
Rasulullah SAW, kata Tsabit, sudah memperingatkan kita lewat sabdanya. "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Tsabit lalu pergi ke rumah pemilik kebun itu. Rumah yang sangat jauh. Ia berjalan sehari semalam tanpa merasa letih. Setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Seorang lelaki tua membuka pintu. Tsabit memberi salam dengan sopan, seraya berkata, "Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu?"
Lelaki tua itu mengamatinya Tsabit dengan cermat. "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat," ujar lelaki tua itu tiba-tiba.
Tsabit terhenyak dan merasa khawatir.. Ia takut tidak bisa memenuhi syarat yang diminta pemilik kebun apel. "Apa syarat itu tuan?" ucap Tsabit kemudian.
Lelaki tua itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku!"
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami tidak yakin akan maksud dan tujuan lelaki itu. "Apakah hanya karena aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?" tanya Tsabit penuh keheranan.
Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia gadis yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"
Tentu saja Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?
Tanpa menghiraukan kebingungan Tasbit lelaki tua itu menandaskan, "Selain syarat itu, aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan!"
Tak ada jalan lain bagi Tsabit. Ia kemudian menjawab, "Baiklah. Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya," ujarnya.
"Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ’alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala," tambah Tsabit kemudian.
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Dalam akad nikah, pemilik kebun itu menghadirkan dua orang saksi. Dan usai akad nikah, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya.
Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga.
"Assalamu'alaikum..." Tsabit mengucapkan salam.
Tak dinyana sama sekali, gadis yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik.
Ketika Tsabit masuk, istrinya mengulurkan tangan menyambutnya. Sekali lagi Tsabit terkejut. Istrinya ternyata melihat. Tidak buta.
"Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula," Tsabit membatin.
Tsabit berpikir, mengapa ayah gadis ini menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan kenyataan? Setelah Tsabit duduk di samping istrinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?"
"Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab wanita itu.
"Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli," ucap Tsabit.
"Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah,” jawab istrinya. “Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya sang istri itu kepada suaminya.
Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Dengan lembut sang istri menjelaskan, "Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat salehah dan wanita yang memelihara dirinya.
Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".
Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.
Tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel itu. Hem ... enak. Akan tetapi baru setengahnya dimakan, Tsabit berhenti mengunyah. Ia seakan tersadar akan sesuatu.
Astagfirullah... Ia tersadar bahwa buah itu bukan miliknya. Tsabit menganggap perlu izin pemilik kebun apel sebelum memakan buah itu. Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya. Ia ingin meminta pemilik kebun apel agar menghalalkan buah yang telah dimakannya itu.
Di dalam kebun ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya".
"Aku bukan pemilik kebun ini. Aku pembantu yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya," jawab laki-laki itu.
"Di mana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini," ujar Tsabit dengan nada menyesal.
Pengurus kebun itu memberitahukan, apabila ingin pergi ke rumah majikannya maka harus menempuh perjalanan sehari semalam.
Tsabit bin Ibrahim tidak peduli. Ia bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seizin pemiliknya," katanya.
Rasulullah SAW, kata Tsabit, sudah memperingatkan kita lewat sabdanya. "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Tsabit lalu pergi ke rumah pemilik kebun itu. Rumah yang sangat jauh. Ia berjalan sehari semalam tanpa merasa letih. Setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Seorang lelaki tua membuka pintu. Tsabit memberi salam dengan sopan, seraya berkata, "Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu?"
Lelaki tua itu mengamatinya Tsabit dengan cermat. "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat," ujar lelaki tua itu tiba-tiba.
Tsabit terhenyak dan merasa khawatir.. Ia takut tidak bisa memenuhi syarat yang diminta pemilik kebun apel. "Apa syarat itu tuan?" ucap Tsabit kemudian.
Lelaki tua itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku!"
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami tidak yakin akan maksud dan tujuan lelaki itu. "Apakah hanya karena aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?" tanya Tsabit penuh keheranan.
Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia gadis yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"
Tentu saja Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?
Tanpa menghiraukan kebingungan Tasbit lelaki tua itu menandaskan, "Selain syarat itu, aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan!"
Tak ada jalan lain bagi Tsabit. Ia kemudian menjawab, "Baiklah. Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya," ujarnya.
"Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ’alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala," tambah Tsabit kemudian.
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Dalam akad nikah, pemilik kebun itu menghadirkan dua orang saksi. Dan usai akad nikah, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya.
Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga.
"Assalamu'alaikum..." Tsabit mengucapkan salam.
Tak dinyana sama sekali, gadis yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik.
Ketika Tsabit masuk, istrinya mengulurkan tangan menyambutnya. Sekali lagi Tsabit terkejut. Istrinya ternyata melihat. Tidak buta.
"Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula," Tsabit membatin.
Tsabit berpikir, mengapa ayah gadis ini menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan kenyataan? Setelah Tsabit duduk di samping istrinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?"
"Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab wanita itu.
"Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli," ucap Tsabit.
"Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah,” jawab istrinya. “Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya sang istri itu kepada suaminya.
Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Dengan lembut sang istri menjelaskan, "Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat salehah dan wanita yang memelihara dirinya.
Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".
Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.
(mhy)