Pemuda Tajir Itu Memilih Memeluk Islam dan Menjadi Miskin
loading...
A
A
A
PEMUDA ganteng nan tajir itu bernama Mush’ab bin Umair. Dia adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kepemudaannya dengan kalimat: “Seorang warga kota Mekkah yang mempunyai nama paling harum”.
Mush’ab dari keluarga berkecukupan. Biasa hidup mewah dan manja. Menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekkah mengenai Muhammad al-Amin. Seorang Nabi yang diutus Allah SWT sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai dai yang mengajak ummat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Mush’ab Ibnu Umair mendengar desas-desus bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di rumah Arqam bin Abil Arqam. Satu tempat di bukit Shafa, dengan harapan jauh dari gangguan gerombolan Quraisy.
Pemuda ini penasaran dengan kabar itu. Ia pun mencari tahu dengan mata kepalanya sendiri. Akhirnya pada suatu senja ia memutuskan pergi ke rumah Arqam. Pada saat Mush’ab mengambil tempat duduk, Rasulullah SAW tengah membacakan ayat-ayat al-Quran. Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah. Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru. Ia merasakan dirinya terbang karena gembira.
Rasulullah SAW mengulurkan tangannya dan dengan penuh kasih sayang mengurut dada pemuda itu. Mush’ab merasakan keteduhan yang dalam. Pemuda ini pun akhirnya menyatakan diri masuk Islam.
Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana yang tegang seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi-sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia salat seperti Nabi Muhammad SAW.
Tokoh-tokoh Quraish pun penasaran. Didatangilah rumah Mush’ab. Di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekkah yang berkumpul di rumahnya, Mush’ab membacakan ayat-ayat al-Quran. Mush’ab bermaksud mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.
Sang ibu mencoba membungkam mulut putranya dengan tamparan keras. Namun tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai begitu melihat nur pada diri buah hatinya. Sang ibu menyaksikan wajah anaknya yang berseri dan berwibawa.
Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab batal memukul dan menyakiti putranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan para tokoh Quraish yang menuhankan berhala-berhalanya. Selanjutnya dibawalah sang buah hati itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung.
Mush’ab masih tinggal di dalam kerangkeng sampai beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi.
Ia tinggal di sana bersama kaum Muhajirin. Tak berapa lama ia pulang ke Mekkah. Namun balik lagi ke Habsyi atas titah Rasulullah.
Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan tak juga berhenti. la telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola hidup yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa sahabat yang sedang duduk bersama Rasulullah SAW. Begitu mereka memandang Mush’ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata. Sementara beberapa orang lainnya matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal. Padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka ketika sebelum masuk Islam, Mush’ab tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau semerbak mewangi.
Rasulullah pun menatapnya dengan pandangan penuh arti. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman.
Rasulullah mengatakan, “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.
Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan.
Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.
Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran pihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari pihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”.
Mush’ab dari keluarga berkecukupan. Biasa hidup mewah dan manja. Menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekkah mengenai Muhammad al-Amin. Seorang Nabi yang diutus Allah SWT sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai dai yang mengajak ummat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Mush’ab Ibnu Umair mendengar desas-desus bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di rumah Arqam bin Abil Arqam. Satu tempat di bukit Shafa, dengan harapan jauh dari gangguan gerombolan Quraisy.
Pemuda ini penasaran dengan kabar itu. Ia pun mencari tahu dengan mata kepalanya sendiri. Akhirnya pada suatu senja ia memutuskan pergi ke rumah Arqam. Pada saat Mush’ab mengambil tempat duduk, Rasulullah SAW tengah membacakan ayat-ayat al-Quran. Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah. Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru. Ia merasakan dirinya terbang karena gembira.
Rasulullah SAW mengulurkan tangannya dan dengan penuh kasih sayang mengurut dada pemuda itu. Mush’ab merasakan keteduhan yang dalam. Pemuda ini pun akhirnya menyatakan diri masuk Islam.
Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana yang tegang seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi-sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia salat seperti Nabi Muhammad SAW.
Tokoh-tokoh Quraish pun penasaran. Didatangilah rumah Mush’ab. Di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekkah yang berkumpul di rumahnya, Mush’ab membacakan ayat-ayat al-Quran. Mush’ab bermaksud mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.
Sang ibu mencoba membungkam mulut putranya dengan tamparan keras. Namun tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai begitu melihat nur pada diri buah hatinya. Sang ibu menyaksikan wajah anaknya yang berseri dan berwibawa.
Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab batal memukul dan menyakiti putranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan para tokoh Quraish yang menuhankan berhala-berhalanya. Selanjutnya dibawalah sang buah hati itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung.
Mush’ab masih tinggal di dalam kerangkeng sampai beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi.
Ia tinggal di sana bersama kaum Muhajirin. Tak berapa lama ia pulang ke Mekkah. Namun balik lagi ke Habsyi atas titah Rasulullah.
Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan tak juga berhenti. la telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola hidup yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa sahabat yang sedang duduk bersama Rasulullah SAW. Begitu mereka memandang Mush’ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata. Sementara beberapa orang lainnya matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal. Padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka ketika sebelum masuk Islam, Mush’ab tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau semerbak mewangi.
Rasulullah pun menatapnya dengan pandangan penuh arti. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman.
Rasulullah mengatakan, “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.
Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan.
Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.
Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran pihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari pihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”.