Kisah Salman Al-Farisi, Sempat Menjadi Penjaga Api Agama Majusi
loading...
A
A
A
Suatu hari di Kota Madain, sebuah kota yang kini terletak di dekat Al-Ula, Provinsi Madinah di wilayah Hijaz, Arab Saudi. Seorang pria duduk bersama para sahabatnya di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun. Pria itu adalah Salman Al-Farisi . Di kalangan sahabat lainnya ia juga dikenal dan dipanggil dengan nama Abu Abdullah.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" mengisahkan di situ Salman tengah bercerita kepada para sahabat tentang perjalanannya mencari kebenaran. Bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persia, masuk ke dalam agama Nasrani dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam.
Ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya.
Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji,” tutur Salman mulai bercerita.
Menjadi Nasrani
Berikut penuturan Salman selanjutnya:
Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya clan tidak membiarkannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: “Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!”
Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syria”, ujar mereka.
Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya: “Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita”.
Kami pun bersoal jawab melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.
Kepada orang-orang Nasrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana.
Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.
Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar.
Sayang, uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi.
Kemudian uskup itu wafat. Mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya.
Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: “sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?”
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" mengisahkan di situ Salman tengah bercerita kepada para sahabat tentang perjalanannya mencari kebenaran. Bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persia, masuk ke dalam agama Nasrani dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam.
Ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya.
Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji,” tutur Salman mulai bercerita.
Menjadi Nasrani
Berikut penuturan Salman selanjutnya:
Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya clan tidak membiarkannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: “Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!”
Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syria”, ujar mereka.
Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya: “Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita”.
Kami pun bersoal jawab melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.
Kepada orang-orang Nasrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana.
Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.
Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar.
Sayang, uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi.
Kemudian uskup itu wafat. Mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya.
Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: “sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?”