Kebangkitan Nasional Jejak Para Negarawan

Rabu, 20 Mei 2020 - 20:50 WIB
loading...
Kebangkitan Nasional Jejak Para Negarawan
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Foto/m.muhammadiyah
A A A
Haedar Nashir
Ketua Umum PP Muhammadiyah

KEBANGKITAN Nasional awal abad ke-20 merupakan tonggak perjuangan Indonesia melawan penjajah untuk kemerdekaan. Pergerakan dengan cara modern, yakni melalui organisasi modern. Setelah era panjang sebelumnya perjuangan melalui perlawanan bersenjata yang menelan jutaan korban rakyat Ibu Pertiwi di seluruh sudut negeri.

Lahir generasi awal pergerakan kebangkitan nasional ditandai kehadiran organisasi Sarikat Dagang Islam (1905), Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), partai politik pertama Indisech Partij (1912), Komite Boemi Poetra (1913), Al-Irsyad (1914), dan lain-lain. Setelah itu generasi kedua Tamansiswa (1922), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan pergerakan lainnya dari pusat sampai daerah-daerah. ( )

Dalam matarantai kebangkitan nasional tersebut lahir Soempah Pemuda 1828 yang monumental. Ada Kongres Perempuan pertama tahun 1928 di mana Aisyiyah sebagai organisasi Islam yang menjadi salah satu pemrakarsa aksi pergerakan perempuan Indonesia tersebut.

Para tokoh pergerakan nasional tampil di awal abad modern itu. Tjokroaminoto, dr. Tjipto Mangunkoeseomo, dr. Soetomo, KH Ahmad Dahlan, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, Ernest Dowwes Dekker, Soekarno, Mohammad Hatta, Semaun, Agus Salim, Ahmad Surkati, dan lain-lain.

Demikian juga para tokoh nasional sesudahnya sperti A Hassan, KH Hasyim Asyari, Mas Mansur, Soedirman, Mohammad Natsir, AR Baswedan, Abdoel Moeis, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, Kahar Moezakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, AA Maramis, Arnold Mononutu, Hamengkubuwono IX, Hamka, Syahrir, dan lain-lain.

Tokoh perempuan nasional Nyai Walidah Dahlan, Siti Hayyinah, Siti Moendjiyah, Dewi Sartika,Martha Christina Tiahahu, SK Tri Murti, Rasuna Said, selain tokoh sebelumnya yakni Tjoet Nyak Dien, Kartini, dan lain-lain.

Pergerakan Islam memberi warna kuat dalam kebangkitan nasional itu. Semangat Boemi Poetra juga menjadi salah satu penanda dari kebangkitan untuk kemerdekaan itu. Kebangkitan pribumi menjadi penting ketika kolonial Belanda makin menginjak dan merampas hak-hak dasar kaum boemipoetra.

Ki Bagus Hadikoesoemo sebagai tokoh Islam tidak kalah jiwa nasionalismenya. Ketua PP Muhammadiyah itu berpidato di sidang BPUPKI jelang kemerdekaan 1944, "Saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang muslim, yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka". Tentang janji pemimpin Ki Bagus menulis:“Janji tidak boleh disalahi terutama oleh para pemimpin, karena namanya akan luntur hilang kehormatan dirinya, dan pemimpinya tak akan dihargai orang. Janganlah boros dengan janji dan kesanggupan, janganlah berjanji kalau tidak yakin dapat menetapi. Menyalahi janji adalah dosa besar dan menetapi janji adalah satu kewajiban.".

Suwardi Suryaningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menulis "Als ik eens Nederlander was" atau "Seandainya aku seorang Belanda", pada tanggal 20 Juli 1913 dia memprotes keras rencana pemerintah Hindia Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia yang saat itu diberi nama Hindia Belanda. Karena tulisan inilah, Suwardi bersama Tjipto Mangunkusumo dihukum dan diasingkan ke Banda dan Bangka, tetapi karena boleh memilih, keduanya akhirnya dibuang ke Negeri Belanda.

Soekarno sebagai tokoh penting, mengingatkan di sidang BPUPKI, tentang Indonesia milik semua. Kata Bung Karno, "Kita hendak mendirikan suatu Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua".

Bung Hatta mengritik keras penguasaan hajat hidup publik oleh sekelompok orang dan agar negara campurtangan menegakkan keadilan dan kemakmuran untuk orang banyak. Menurut Wakil Presiden pertama itu, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di tangan orang-seorang yang menjadi juru-mudi dalam segala tindakan ekonomi. Ekonomi liberal hanya membawa kemerdekaan dan kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum kapitalis. Sedangkan kepentingan orang-seorang didahulukan dari masyarakat. Kata Bung Hatta, “membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka (bebas) dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat.”



Pelajaran penting dari gerakan kebangkitan nasional antara lain kehadiran para tokoh pergerakan yang total dalam memperjuangkan Indonesia meredeka. Jiwa-raga mereka sepenuhnya untuk Indonesia. Bahan ada yang harus dipenjara atau diasingkan. Pengorbanannya untuk rakyat yang masih terjajah luar biasa. Itulah para negarawan kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia, sehingga di kemudian hari diangkat menjadi para Pahlawan Nasional. Pahlwan sejati sang negarwan. Mereka para pemimpin sejati yang visi keindonesiaannya luas dan mendalam. Pergumulannya luar biasa total dalam perjuangan. Mereka juga gemar membaca dan berilmu luas, bukan pemimpin praktisi dan instan.

Ketika hari ini Kebangkitan Nasional diperingati di negeri ini, maka tiru dan ikuti teladan para negarawan Indonesia tercinta itu dengan segenap jiwa-raga oleh seluruh pejabat negara dan elite bangsa dari pusat sampai daerah saat ini. Jadilah para pemangku amanat rakyat yang sesungguhnya, yang membela kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya secara autentik nirpencitraan. Menjadi pemimpin yang benar-benar menghayati dan memahami keindonesiaan luar-dalam.

Jika ditemukan ada sekelompok pihak menguasai Indonesia, tugas petinggi-petinggi negara meluruskannya dengan tangan kekuasaannya, laksana Amirul ketegasan Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab dan komitmen para negarawan Indonesia terdahulu.

Jika benar-benar cinta rakyat dan negara, maka utamakan segala hajat hidup rakyat dan negara sebagai agenda utama lebih dari yang lainnya. Jangan sampai terkalahkan oleh kepentingan asing, segelintir orang atau pihak, dan kepentingan-kepentingan pendek lainnya yang merugikan hajat hidup rakyat dan negara.



Rakyat tidak perlu dininabobokan oleh kembang-gula yang sekilas menyenangkan sesaat, tapi kehilangan hak dan kepentingannya yang lebih besar. Segala perundang-undangan dan kebijakan atasnama negara pun baik di eksekutif maupun legislatif dan yudikatif serta institusi pemerintahan lainnya harus terhindar dari penyalahgunaan dan hanya mengikuti kepentingan tertentu, dengan mengorbankan kepentingan dan masa depan rakyat dan negara Indonesia. Pegang kuat Pancasila dan Konstitusi Dasar secara konsisten, jujur, dan amanah dalam praktik nyata tanpa jargon dan verbalitas retorika. Pancasila jangan dijadikan utopia dan keindahan kata, tetapi niscaya membumi di dunia nyata.

Di tangan para pemangku dan elite negara sungguh tergantung nasib Indonesia sebagaimana telah diperjuangkan dengan nyawa dan pengorbanan oleh para pejuang dan pendiri Republik ini. Jangan bermain-main dan menyepelekan amanat rakyat hanya karena telah memperoleh kuasa rakyat. Sebaliknya mandat rakyat harus menjadi beban dan tanggungjawab moral dan politik yang tinggi di atas segalanya untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat. Dengarkanlah suara dan jeritan nasib rakyat, dengan tulus tanpa kejemawaan tahta. Jika rakyat meminta yang baik, ikutilah dengan rendah hati tanpa merasa diri digdaya. Cintailah rakyat dan negara dengan pengabdian sepenuh jiwa-raga. Itulah komitmen dan marwah para pemangku negeri sebagai negarawan-negarawan sejati!. (m.muhammadiyah)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2310 seconds (0.1#10.140)