Ustaz Abdul Somad Beberkan Alasan Mengapa Indonesia Tak Punya Mufti
loading...
A
A
A
Dai kondang yang juga ahli Hadis dan Fiqih Ustaz Abdul Somad (UAS) menjelaskan mengapa Indonesia tidak punya Mufti. Berbeda dengan negara berpenduduk muslim lainnya yang memiliki Mufti seperti Mesir, Arab Saudi, Malaysia, Suriah, Yaman, Brunei Darussalam dan lainnya.
Mufti adalah pemberi fatwa untuk memutuskan masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Tugas Mufti adalah menerapkan syariat sekaligus menjawab persoalan-persoalan seputar hukum Islam yang berkembang di suatu masyarakat
Adapun syarat untuk menjadi Mufti adalah ulama yang menguasai ilmu ushul fikih, fikih dan syariat Islam serta memiliki sifat mulia. Seperti diketahui Ijtihad para ulama merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam.
Berikut penjelasan UAS dikuti dari Kanal IG @ustadzabdulsomad_official, kemarin:
"Salah satu kelebihan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah menguasai urusan dunia dan akhirat. Beliau pemimpin dunia, beliau juga pemimpin urusan agama.
Setelah Rasulullah wafat, urusan dunia dan agama itu dilanjutkan para Khulafa' Rasyidun: Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhum ajma'in. Sampai akhirnya kesultanan dipimpin oleh orang yang ahli mengurus urusan pemerintahan, tapi merasa tidak ahli agama, maka diangkatlah Mufti yang secara bahasa berarti ahli fatwa.
Mufti memiliki otoritas dalam mengeluarkan pendapat atau fatwa dalam masalah agama Islam. Tradisi itu sampai ke Nusantara. Kerajaan Aceh memiliki seorang Mufti yang masyhur bernama Syaikh Nuruddin ar-Raniri (wafat 1658). Beliau menulis Kitab as-Shirath al-Mustaqim.
Kitab tersebut disyarah (penjelasan) oleh Mufti Kesultanan Banjar Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (wafat 1812) dalam Kitab berjudul Sabilal-Muhtadin. Ternyata, muslim minoritas di Thailand pun memiliki mufti bergelar Shiekhul Islam atau Grand Mufti. Sedangkan mufti muslim di Moscow saat ini adalah Ildar Hazrat Alyautdinov.
Mengapa Indonesia tidak punya mufti? Banyak alasan. Salah satu diantaranya, mungkin, karena ormas lebih tua dari negara. Muhammadiyah (1912), Nahdhatul-Ulama (1926), Perti (1930), Al-Washliyah (1930), dll. Jalan tengah, solusi, maka masing-masing ormas mengutus utusan-utusan tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam MUI itu sendiri ada satu komisi bernama Komisi Fatwa yang bertugas mengeluarkan fatwa terkait keummatan."
Mengenai Mufti ini, mantan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin mengatakan bahwa di Indonesia, fatwa masih dibutuhkan. Suatu permasalahan mungkin saja tidak terpecahkan sehingga membuat ummat bisa mengalami kebingungan.
Di situlah ummat membutuhkan seorang Mufti, yakni seseorang yang menguasai ilmu secara mendalam. Di Indonesia, fatwa itu tidak dibuat mufti melainkan oleh MUI. Menurut ulama yang kini menjabat Wapres RI ini, Indonesia sulit menemukan mufti perorangan yang mempunyai daya terima yang luas.
Artinya, seseorang yang diterima oleh mayoritas kelompok Muslim di Indonesia. Karena itu di Indonesia lebih dikenal fatwa yang ditetapkan secara kolektif, melalui majelis ulama Indonesia. Di MUI ada namanya Komisi Fatwa yang beranggotakan puluhan orang, bahkan dalam laman resmi MUI jumlahnya 52 orang. Demikian penjelasan KH Ma'ruf Amin dilansir dari portal hukumonline.
Mufti adalah pemberi fatwa untuk memutuskan masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Tugas Mufti adalah menerapkan syariat sekaligus menjawab persoalan-persoalan seputar hukum Islam yang berkembang di suatu masyarakat
Adapun syarat untuk menjadi Mufti adalah ulama yang menguasai ilmu ushul fikih, fikih dan syariat Islam serta memiliki sifat mulia. Seperti diketahui Ijtihad para ulama merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam.
Berikut penjelasan UAS dikuti dari Kanal IG @ustadzabdulsomad_official, kemarin:
"Salah satu kelebihan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah menguasai urusan dunia dan akhirat. Beliau pemimpin dunia, beliau juga pemimpin urusan agama.
Setelah Rasulullah wafat, urusan dunia dan agama itu dilanjutkan para Khulafa' Rasyidun: Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhum ajma'in. Sampai akhirnya kesultanan dipimpin oleh orang yang ahli mengurus urusan pemerintahan, tapi merasa tidak ahli agama, maka diangkatlah Mufti yang secara bahasa berarti ahli fatwa.
Mufti memiliki otoritas dalam mengeluarkan pendapat atau fatwa dalam masalah agama Islam. Tradisi itu sampai ke Nusantara. Kerajaan Aceh memiliki seorang Mufti yang masyhur bernama Syaikh Nuruddin ar-Raniri (wafat 1658). Beliau menulis Kitab as-Shirath al-Mustaqim.
Kitab tersebut disyarah (penjelasan) oleh Mufti Kesultanan Banjar Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (wafat 1812) dalam Kitab berjudul Sabilal-Muhtadin. Ternyata, muslim minoritas di Thailand pun memiliki mufti bergelar Shiekhul Islam atau Grand Mufti. Sedangkan mufti muslim di Moscow saat ini adalah Ildar Hazrat Alyautdinov.
Mengapa Indonesia tidak punya mufti? Banyak alasan. Salah satu diantaranya, mungkin, karena ormas lebih tua dari negara. Muhammadiyah (1912), Nahdhatul-Ulama (1926), Perti (1930), Al-Washliyah (1930), dll. Jalan tengah, solusi, maka masing-masing ormas mengutus utusan-utusan tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam MUI itu sendiri ada satu komisi bernama Komisi Fatwa yang bertugas mengeluarkan fatwa terkait keummatan."
Mengenai Mufti ini, mantan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin mengatakan bahwa di Indonesia, fatwa masih dibutuhkan. Suatu permasalahan mungkin saja tidak terpecahkan sehingga membuat ummat bisa mengalami kebingungan.
Di situlah ummat membutuhkan seorang Mufti, yakni seseorang yang menguasai ilmu secara mendalam. Di Indonesia, fatwa itu tidak dibuat mufti melainkan oleh MUI. Menurut ulama yang kini menjabat Wapres RI ini, Indonesia sulit menemukan mufti perorangan yang mempunyai daya terima yang luas.
Artinya, seseorang yang diterima oleh mayoritas kelompok Muslim di Indonesia. Karena itu di Indonesia lebih dikenal fatwa yang ditetapkan secara kolektif, melalui majelis ulama Indonesia. Di MUI ada namanya Komisi Fatwa yang beranggotakan puluhan orang, bahkan dalam laman resmi MUI jumlahnya 52 orang. Demikian penjelasan KH Ma'ruf Amin dilansir dari portal hukumonline.
(rhs)