Kisah Carla Memeluk Islam Sangat Mengagumkan
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Ada sebuah kisah nyata yang sering saya sampaikan di berbagai tempat dan kesempatan. Kisah seorang muallaf, wanita Hispanic keturunan Colombia. Kisahnya tidak saja menjadi motivasi untuk kita. Sekaligus menjadi cambuk untuk mengokohkan iman akan "Qudrah Ilahi" yang pasti berlaku.
Carla namanya. Baru berumur sekitaran 22 tahunan. Orang tuanya datang ke Amerika di saat Carla masih berumur 4-5 tahunan. Sehingga baik bahasa maupun budayanya lebih dominan American ketimbang Hispanic. Karena masalah legalitas di Amerika Carla yang cukup pintar ini hanya bisa bekerja sebagai cashier di sebuah grocery (pertokoan) di New York.
Suatu sore beberapa saat menjelang Maghrib tiba-tiba security masjid mengantar seorang Wanita muda ke kantor. Security hanya menyampaikan singkat: "she wants to know about Islam".
Saya seperti biasa menyambutnya dengan seramah mungkin. Sebab saya sangat yakin Dakwah banyak ditentukan oleh persepsi awal dari seseorang tentang Islam. Dan Islam akan pertama kali dikenal dari interaksi orang dengan orang Islam.
"Hi, welcome", sapa saya.
"Thank you", jawabnya nampak grogi.
"What is your name?", tanya saya.
"Hi I am Carla", jawabnya.
Karena Carla nampak gugup saya berusaha meyakinkan jika di Islam tidak dikenal orang suci (holy man). Nampaknya Carla terpengaruh dengan tradisi Katolik yang menganggap seorang pendeta sebagai orang suci. Dan karenanya dia nampak sangat berhati-hati bahkan gugup.
"Carla, you look worried". Saya tidak katakan 'afraid' atau ketakutan.
"Oh no", jawabnya singkat.
"Is there anything I can do for you today?", tanya saya kembali.
"I have been thinking to become Moslim".
Umumnya non Muslim di Amerika menyebut Muslim dengan "Moslem". Bahkan kadang dengan penyebutan yang tidak tepat "Moz-lim". Akhirnya kata itu mengandung konotasi buruk dalam bahasa Arab: orang zholim.
"Oh…so you wanted to become a Muslim?" tanyaku lagi.
"Yes," jawabnya.
Saya agak terkejut. Selain karena masih muda yang biasanya tahunya hura-hura Carla juga nampak belum tahu sama sekali tentang Islam. Maklum pekerjaannya sebagai cashier di sebuah toko tidak memberi ruang untuk belajar hal lain.
"Did you study about Islam? Did you read about it?" saya ingin memastikan.
"No. But I have a friend," katanya.
"What happens with your friend?" tanya saya.
Awalnya saya kira teman dia adalah seorang pria. Mungkin lagi pacaran dengan seorang pria Muslim, dan ini sering terjadi. Tapi setelah bertanya lebih jauh ternyata teman Carla itu adalah seorang Wanita juga.
Saya tidak ingin menuliskan Dialog kita lagi. Tapi inti kisahnya adalah Carla tertarik masuk Islam, bukan belajar Islam, tapi karena teman kerjanya di toko tersebut.
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Ada sebuah kisah nyata yang sering saya sampaikan di berbagai tempat dan kesempatan. Kisah seorang muallaf, wanita Hispanic keturunan Colombia. Kisahnya tidak saja menjadi motivasi untuk kita. Sekaligus menjadi cambuk untuk mengokohkan iman akan "Qudrah Ilahi" yang pasti berlaku.
Carla namanya. Baru berumur sekitaran 22 tahunan. Orang tuanya datang ke Amerika di saat Carla masih berumur 4-5 tahunan. Sehingga baik bahasa maupun budayanya lebih dominan American ketimbang Hispanic. Karena masalah legalitas di Amerika Carla yang cukup pintar ini hanya bisa bekerja sebagai cashier di sebuah grocery (pertokoan) di New York.
Suatu sore beberapa saat menjelang Maghrib tiba-tiba security masjid mengantar seorang Wanita muda ke kantor. Security hanya menyampaikan singkat: "she wants to know about Islam".
Saya seperti biasa menyambutnya dengan seramah mungkin. Sebab saya sangat yakin Dakwah banyak ditentukan oleh persepsi awal dari seseorang tentang Islam. Dan Islam akan pertama kali dikenal dari interaksi orang dengan orang Islam.
"Hi, welcome", sapa saya.
"Thank you", jawabnya nampak grogi.
"What is your name?", tanya saya.
"Hi I am Carla", jawabnya.
Karena Carla nampak gugup saya berusaha meyakinkan jika di Islam tidak dikenal orang suci (holy man). Nampaknya Carla terpengaruh dengan tradisi Katolik yang menganggap seorang pendeta sebagai orang suci. Dan karenanya dia nampak sangat berhati-hati bahkan gugup.
"Carla, you look worried". Saya tidak katakan 'afraid' atau ketakutan.
"Oh no", jawabnya singkat.
"Is there anything I can do for you today?", tanya saya kembali.
"I have been thinking to become Moslim".
Umumnya non Muslim di Amerika menyebut Muslim dengan "Moslem". Bahkan kadang dengan penyebutan yang tidak tepat "Moz-lim". Akhirnya kata itu mengandung konotasi buruk dalam bahasa Arab: orang zholim.
"Oh…so you wanted to become a Muslim?" tanyaku lagi.
"Yes," jawabnya.
Saya agak terkejut. Selain karena masih muda yang biasanya tahunya hura-hura Carla juga nampak belum tahu sama sekali tentang Islam. Maklum pekerjaannya sebagai cashier di sebuah toko tidak memberi ruang untuk belajar hal lain.
"Did you study about Islam? Did you read about it?" saya ingin memastikan.
"No. But I have a friend," katanya.
"What happens with your friend?" tanya saya.
Awalnya saya kira teman dia adalah seorang pria. Mungkin lagi pacaran dengan seorang pria Muslim, dan ini sering terjadi. Tapi setelah bertanya lebih jauh ternyata teman Carla itu adalah seorang Wanita juga.
Saya tidak ingin menuliskan Dialog kita lagi. Tapi inti kisahnya adalah Carla tertarik masuk Islam, bukan belajar Islam, tapi karena teman kerjanya di toko tersebut.